Sejak kesadaran bernegara telah terbentuk, butuh waktu yang lama bagi bangsa Indonesia untuk bersatu-utuh dalam satu negara. Bahkan perlu waktu ratusan tahun hingga bangsa-bangsa penjajah yang datang silih berganti, pergi seluruhnya. Tentu saja setelah mereka berhasil merampok sumber daya alam secara serakah, juga memperbudak anak bangsa di negeri ini.
Begitu lamanya kolonialisme
bercokol, tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain watak bangsa
penjajah yang memang imperialis, kolonialisasi juga disokong oleh kultur
feodalisme yang telah mengakar dalam sistem sosial bangsa ini. Kolonialisme
asing dan feodalisme pribumi, menjadi sepasang kekasih yang menyatu untuk menyengsarakan
rakyat Indonesia.
Sejarah bangsa ini, memang tidak
dapat dilepaskan dari sistem sosial yang hirarkis, yang membagi golongan masyarakat
dalam tingkat yang tidak setara. Sebelum Indonesia merdeka sebagai sebuah
negara, sejak dahulu kala, sistem kerajaan yang membagi kelas masyarakat antara
bangsawan dan kawula, telah berlaku di seluruh penjuru tanah air.
Feodalisme kerajaan akhirnya
melahirkan relasi sosial yang tak setara di dalam masyarakat. Ada yang meraja, dan
ada pula yang menghamba. Ada sikap saling mendominasi, atau bahkan memperbudak,
satu sama lain. Dan sistem sosial itu, ternyata mampu dimanfaatkan para
kolonialis untuk melancarkan siasat adu domba kepada anak-anak bangsa ini.
Yang terjadi kemudian, para
penjajah mengkooptasi sistem feodalisme kerajaan menjadi bagian dari sistem
kolonialisme mereka. Para pejabat publik yang dipertuan oleh rakyat, dijadikan
kolega oleh para kolonialis agar turut membantu pelaksanaan agenda-agenda
mereka. Hingga pada perkembangan selanjutnya, pejabat-pejabat pribumi, malah
diangkat oleh para kolonialis.
Akhirnya, terjadilah penjajahan bangsa
terhadap bangsanya sendiri. Atas nama status sosial, pejabat publik pribumi menghamba
kepada para kolonialis. Tak peduli bagaimana sebangsanya diperlakukan, asal secara
pribadi, mereka menikmati prestise yang menggiurkan. Pun, tak peduli jikalau mereka
harus membantai sebangsa sendiri, demi mengamankan tahta pemberian kolonial.
Kegamangan semacam itulah yang
tergambar dalam novel gubahan Pramodya Ananta Toer berjudul Perburuan. Novel
yang diterbitkan tahun 1950, dengan sangat apik, mampu menggambarkan nasib para
pembangkang pada masa pendudukan Jepang. Novel pemenang sayembara Balai
Pustaka, Jakarta, tahun 1949 tersebut, mampu menghadirkan suasana yang mencekam
kala anak-anak bangsa menjadi buruan di tanah airnya sendiri.
Tersebutlah Hardo, sang tokoh utama
dalam novel yang harus menjalani pelarian. Sebagai mantan shidanco (komandan peleton) Peta yang memberontak kepada pemerintah
pendudukan Jepang, ia harus menjadi buronan bangsa asing yang bersekongkol dengan
sebangsanya sendiri, atas nama idealisme perjuangan yang terus ia pegang teguh.
Demi melindungi diri dari endusan
para penjajah, Hardo pun cerdik menyembunyikan diri. Ia harus menyamar sebagai
seorang pengemis agar keberadaannya tak terbaca oleh tentara Jepang dan mata-mata
dari sebangsanya sendiri. Bahkan penyamaran itu harus ia lakukan terhadap siapa pun, termasuk orang terdekatnya sendiri.
Pada satu waku, Hardo muncul di
rumah tunangannya, Ningsih. Ia bertandang sembari menyamarkan idenditasnya. Ia
bertandang secara sembunyi-sembunyi kala calon adik iparnya, Ramli, tengah
menjalani pesta sunatan. Bersama kumpulan pengemis yang mengharap sedekah dari
pejabat yang berhajat, ia hanya kuasa mengamati keadaan dari jauh.
Hingga, Ramli pun membaca jelas
raut wajah Hardo. Dan sebagai lelaki kecil yang sangat merindukan kehadirannya
setelah menghilang dalam pelarian bertahun-tahun, Ramli mendesak ibunya agar
“si pengemis misterius” diajak untuk tinggal serta di rumah. Tapi atas gelagat sang
calon adik iparnya itu, Hardo lekas bergegas pergi dan kembali dalam perlarian.
Di tengah hidup yang tak jelas mana
kawan dan mana lawan itu, sungguh, kepercayaan sangatlah mahal. Tak peduli
penjajah Jepang atau sebangsa sendiri, bahkan orang tua sendiri, memang patut
dicurigai sebagai antek Jepang. Maka wajarlah ketika Lurah Kaliwangan, ayah
Ningisih dan Ramli, juga tak dipercayai Hardo, ketika di malam itu juga, sang
lurah menyusulnya dan meminta agar ia sudi bertandang kembali demi membalas
kerinduan Ramli.
Dan terekamlah sepenggal percakapan
Hardo dengan Lurah Kaliwangan di sebuah jalan pada malam yang gelap, yang
menampakkan bahwa Hardo tak akan bersepakat dan senantiasa waspada kepada semua
orang yang menghamba kepada penjajah Jepang.
…Kemudian
dengan suara dipaksa-paksa lurah itu (Lurah Kaliwangan) berkata lagi, “Sudah dipecat Nippon ayahmu.”
“Baik
sekali.” (jawab Hardo)
“Baik
sekali?” seru lurah itu heran. “Aku kira pemecatan itu tak baik buat keluarga
ayahmu. Kini beliau tak berpenghasilan lagi. Wedana, anakku, bukanlah pangkat
kecil.”
“Baik
sekali. Baik tak dapat kesempatan menindas lagi.”
“Ya
Allah! Ayahmu bukanlah golongan orang priyayi yang suka menindas rakyat.”
“Paling
sedikit menolong gampangnya menindas.”
“Pangeran!”
sebutlah lurah itu. Ia diam dan terus juga berjalan. “Mengapa begitu?”
“Orang
yang bekerja dalam pemerintahan penindasan termasuk penindas juga. Dalam hal
apa pun juga sama.”
“Pangeranku!
Kalau begitu aku termasuk penindas juga?”
Kere
itu memanjangkan tawanya…, “Ya,” katanya.
“Allah
Maha Besar!” sebutnya susah. “Tapi kalau suatu daerah berpenduduk tak punya
pemerintahan rakyat akan lebih menderita oleh perampokan.”
“Di
mana-mana ada perampokan, sekalipun ada pemerintahan, dan ada juga pembunuhan
keji. Dan apakah gunanya pemerintah sebagai itu? Rakyat seorang perampok
kecilnya, dan pemerintah perampok besarnya. Dan engkau?... engkau juga
perampok!” (hlm. 27-28)
Ternyata, keputusan Hardo, tepat.
Setelah ia kembali ke dalam pelarian, ia mendapati kabar kalau si Lurah
Kaliwangan, ternyata telah melaporkan keberadaannya kepada pemerintah Jepang. Si
calon mertua yang gila harta dan kuasa itu, sudah tak peduli sebab Hardo bukan
siapa-siapa lagi setelah jadi pemberontak dan dipecat sebagai shodancho. Apalagi setelah ayahnya juga
dipecat oleh Jepang sebagai Wedana, sang Lurah Kaliwangan jadi semakin tak
peduli.
Selanjutnya, dimulailah satu
perburuan yang semarak. Hardo dicari-cari kompeni Jepang dengan mengerahkan seinendan (barisan pemuda) dan keibondan (kors kewaspadaan), prajurit semimiliter dari warga kampung sendiri, untuk
menelisik ke segala arah. Dan kala ia menyembunyikan diri dari petaka dengan
bersembunyi pada sebuah gubuk di tengah kebun jagung yang jauh dari
perkampungan, terjadilah satu kebetulan yang tak disangka. Ayahnya, Mohammad
Kasim, mantan Wedana Karangjati yang ternyata pemilik kebun, muncul di gubuk
itu.
Tapi pertemuan ayah dan anak
tersebut, bukanlah temu kangen setelah terpisah bertahun-tahun. Di tengah
kegelapan malam, Hardo menyangkal sebagai anak dari ayahnya sendiri, meski sang
ayah telah menerka dan yakin atas dugaannya. Untuk meruntuhkan keyakinan sang
ayah, Hardo pun mengaku sebagai teman seperjuangan sang anak, sembari mewanti-wanti
kalau sang ayah mulai kehilangan akal sehat, dan lelaki tua itu percaya begitu saja.
Di malam itu, bertuturlah ayah
Hardo yang menggandrungi judi sebagai jalan penenang jiwanya, tanpa keyakinan bahwa
lawan bicaranya adalah anaknya sendiri:
“Ah, kawan, kalau ada seorang saja yang tahu di mana dia berada,” kata penjudi itu seperti murid mengeja. “… oh, sudah lama… anakku, mungkin engkau sudah dipenggal oleh Nippon. Sebab aku berpikir begini terhadap Nippon: Nippon itu tak suka bicara, tapi selalu bertindak, selalu bertindak, selalu membunuh orang. Tidak,… tak seorang pun tahu ke mana perginya. Dan itu baik sekali akibatnya untuk anakku. Kawan, tiga kali sudah telegram-telegram itu datang, datang pula satu telegram, bahwa aku tak perlu mengepung anakku sendiri, karena, karena, aku sudah dipecat dari jabatanku.” (hlm. 48)
Sekali lagi, kepercayaan dalam masa perburuan itu, memang sangatlah mahal. Biarpun Hardo yakin ayahnya telah lepas dari pengaruh Jepang, tapi ia tak akan lupa bahwa ayahnya pernah memimpin perburuan untuk dirinya sendiri kala menjabat sebagai wedana. Karena itu, bagaimana pun juga, menyembunyikan identitas terhadap sang ayah sekali pun, adalah pilihan terbaik demi keselamatannya sendiri.
Kemudian di tengah persembunyiannya
malam itu, nasib nahas kembali nyaris menimpa Hardo sebagai imbas dari laporan
sang calon mertua, si Lurah Kaliwangan. Kala Hardo tengah tertidur, sedang
ayahnya memanggang jagung di tepi rumah kebun, segerombolan Jepang datang
bersama antek-anteknya. Tapi syukur, atas kepekaannya mengendus kehadiran para
pemburu, ia bisa tersadar dan kembali meloloskan diri.
Dimulailah lagi pelarian Hardo. Ia harus
mengamankan diri di bawah kolong jembatan, bersama gerombolan pengemis yang tak
jelas asal-usulnya. Di sanalah kemudian, tanpa terduga, ia bertemu dengan teman
seperjuangnnya, Dipo dan Kartiman, yang juga dalam perburuan. Hingga dari
keterangan Dipo, tahulah Hardo, bahwa Karmin, teman seperjuangannya yang
membelot pada momentum pemberontakan Peta, telah menjadi shidanco Jepang.
Tapi selanjutnya, persembunyian
Hardo di kolong jembatan, disasar juga oleh para penjajah, kalau-kalau Hardo memang
seorang pengemis. Para pejabat, yaitu Wedana Karangjati yang baru, Lurah
Kaliwangan, bersama juga Sidokan
(Komandan Kesatuan Militer) Jepang, datang mencarinya tiba-tiba. Tapi Hardo dan
kawannya, berhasil juga meloloskan diri setelah bergegas bersembunyi di
semak-semak, di tepi sungai.
Atas perburuan yang kembali gagal,
berdebatlah para petinggi penjajahan di kolong jembatan. Dan Lurah Kaliwangan, harus
menerima getahnya. Ia dihakimi sebagai pembohong dan diancam untuk dipenggal
dengan pedang Jepang jika Hardo tak kunjung ditemukan. Maka demi kepentingan
nyawanya sendiri, Lurah Kaliwangan pun membocorkan keberadaan putrinya, Ningsih,
tunangan Hardo, yang mungkin tahu informasi soal pelarian sang pemberontak.
Karmin sebagai Shodancho yang telah dipercaya oleh petinggi militer Jepang, akhirnya
meminta diri untuk menyandera Ningsih seorang diri. Satu permintaan yang
diiyakan begitu saja oleh Sidokan Jepang.
Hingga Karmin pun mampu menunaikan niatnya untuk menebus rasa bersalah kepada
Hardo. Ia menumui Ningsih, sekadar untuk memberinya nasihat dan saran supaya
gadis itu bisa melalui interogasi sang Sidokan
dengan baik.
Sampai akhirnya, datanglah Sidokan untuk menanyai Ningsih perihal keberadaan
Hardo. Tapi jelas saja, Ningsih mengaku tak tahu sebab benar-benar tak tahu,
sebagaimana orang terdekat Hardo sendiri. Sidokan
pun jadi geram karena merasa jawaban Ningsih bertele-tele:
“Diam!” bentak Jepang itu mengulangi. “Indonesia tidak boleh bicara-bicara kalau tidak ditanyai. Indonesia harus diam saja, ya!?” Sekarang suaranya jadi cepat dan patah-patah. “Kalau Indonesia ada di depan Nippon, ya? Nippon, ya? Tidak boleh bicara-bicara mendongeng-dongeng. Itu nona mesti tahu.” Matanya melotot, “Indonesia tidak bagus. Indonesia mesti belajar diam dan tutup mulut, ya? Mengerti? Nona sudah mengerti?...” (hlm. 149).
Tanpa terduga, di tengah interogasi terhadap Ningsih, para antek Jepang berhasil juga menangkap Hardo bersama dua orang kawannya. Mereka betiga lalu diseret ke hadapan Sidokan dan para pejabat antek Jepang yang tampak begitu senang atas keberhasilan para barisan pemuda pribumi.
Di tengah kesenangan Jepang dan anteknya,
seketika juga terdengarlah orang-orang bersorak-sorai kalau Indonesia telah
merdeka. Suara gembira itu bertalu-talu, mengabarkan kalau Jepang telah
mengalah pada sekutu. Terdengar teriakan kalau jepang tak lagi punya kuasa di
tanah Indonesia. Peta (Pembela Tanah Air) yang merupakan kesatuan militer
bentukan Jepang dan Heiho yang merupakan tentara pembantu jepang dari kalangan
pribumi, telah dibubarkan.
Perlahan-lahan, gerombolan
masyarakat datang mengerumuni si Jepang dan para jongosnya di hadapan tiga
orang hasil buruan. Merasa terkepung, sang Sidokan
jadi gelap mata dan menembakkan senjata ke segala arah, secara membabi buta.
Dan tiba-tiba, Karmin merangkul dan
melumpuhkan si Jepang dari arah belakang. Sidokan
dan shodancho-nya itu pun, saling
beradu kekuatan. Sampai akhirnya, Dipo bergegas mengambil pedang sang Sidokan, kemudian mengancam dengan wajah
beringas.
Berkatalah sang Sidokan:
“Ampun, Indonesia!” Jepang itu memekik. “Dan bersamaan dengan itu, lepaslah parabellum dari tangannya, jatuh ke tangan Karmin. Berteriak lagi ia, “Ampun, Indonesia!” Napasnya terengah-engah. “Indonesia merdeka!” teriaknya tinggi. “Hidup Indonesia!” (hlm. 157).
Tak berlangsung lama, Dipo menebas tempurung si penjajah itu, sampai menyayat sisi otak.
Kini, tingallah Karmin memasrahkan hidupnya
pada takdir yang ia sadari sendiri. Ia tahu bahwa setiap kali pergantian rezim,
akan ada orang-orang yang dicap pemberontak, hingga patut untuk dibunuh.
Benar saja, warga bersorak-sorak, maminta
agar Hardo bergegas mengakhiri nyawa Karmin. Tapi entah bagaimana, Hardo jadi
tak kuasa, dan malah meminta Karmin untuk segera melarikan diri.
Warga yang tak sabar, akhirnya
merangsek dan mulai mengacung-acungkan bambu runcing. Mereka terus mengancam,
bak komplotan pemburu yang siap menikam binatang buruan. Tapi akhirnya, di
tengah kepasrahan Karmin agar dirinya segera dibunuh saja, hati segerombolan
masyarakat malah meluluh dan membiarkan sebangsanya itu, lepas untuk hidup
kembali.
Akhirnya, selamatlah Karmin beserta
pejabat dan antek-antek Jepang dari kalangan pribumi. Mereka selamat atas nama
rasa kebangsaan. Mereka selamat setelah mendapatkan maaf tanpa terucap dari
sebangsanya sendiri, sebagaimana leluhur bangsa ini yang memang pemaaf. Tapi
tidak dengan Ningsih. Gadis itu harus meregang nyawa setelah peluru yang
dilesatkan sang Sidokan secara
membabi buta, menembus dadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar