Sumini
bergembira sepulang dari sekolah. Gurunya mengabari kalau ia termasuk anggota grup dance untuk lomba kesenian tingkat sekolah dasar. Tentu saja ia
sangat senang. Apalagi, itu memang sudah jadi impiannya sejak dahulu. Hasratnya
tinggi untuk tampil bak idola. Berlenggak-lenggok di atas panggung demi eluhan
dan tepuk tangan para penonton.
Kegembiraan
Sumini, awet. Ia tak henti-hentinya berlagak bak seorang penari modern yang
profesional. Bergerak lentur dan energik. Tak peduli apa pun kata orang. Ia mengangap
semua tempat adalah panggung pertunjukan. Gigih berlatih sekeras mungkin, demi
kesempurnaan penampilannya nanti.
Ayahnya,
Suparmin, yang seorang seniman tari tradisional, kini semakin heran melihat
perubahan perangai Sumini. Usahanya agar sang anak mencintai dan melestarikan
seni tradisional, sepertinya gagal. Apa yang diajarkannya selama ini, sama
sekali tak berbekas. Sumini tetap tak berminat pada tarian tradisional. Ia
malah menggandrungi tarian kekinian yang entah siapa tuannya.
“Mini,
dari pada gaya dan gerakanmu tak jelas begitu, lebih baik kamu siap-siap. Sejam
lagi, kita ke sanggar. Kau harus sering-sering latihan dengan anak-anak yang lain,”
tutur Suparmin.
Memang,
latihan rencananya digalakkan. Empat hari lagi, anak-anak sanggar seni Suparmin,
akan berangkat ke negeri seberang. Ada undangan khusus dari komunitas seni tradisional.
Di sana, akan diadakan pementasan besar untuk menggelorakan kembali rasa cinta
atas kekayaan budaya tradisional.
Itu
masih dirahasiakan Suparmin pada sang anak.
Tapi
lagi-lagi, Sumini tampak tak berselera.
“Aku tak usah ikut Ayah. Kan, aku juga sedang
latihan. Latihan dance,” balasnya
dengan polos, sambil tetap bergerak ke sana-sini.
Suparmin
benar-benar tak habis pikir. “Perasaan, Ayah tak pernah mengajarimu tarian semacam
itu. Gerakan tari itu harus teratur. Tidak aur-auran kayak begitu, Nak,” serunya.
“Ini
seni, Ayah! Guru kesenianku sendirilah yang mengajariku,” balas Sumini, tanpa
menghentikan gerakannya yang bak ulat bulu saja. “Keren loh Ayah. Lihat!”
Kini,
kekhawatiran Suparmin dahulu, mulai jadi kenyataan. Sumini lupa diri. Tak lagi mencintai
budaya bangsa sendiri.
“Tapi,
tarian semacam itu kan bukan kebudayaan kita, Nak,” tutur Suparmin.
“Aku
tahu Ayah. Pastilah bukan. Ini kan tarian modern. Tarian orang barat. Lah, yang
diajari sama Ayah kan tarian tradisional,” tegas Sumini.
“Karena
itulah. Seharusnya kau tak ikut-ikutan menari tak jelas semacam itu. Kita harus
mempertahankan budaya ketimuran kita, Nak,” kata Suparmin.
“Tapi
tarian ini kan tengah digandrungi anak muda, Ayah. Kalau hebat, nanti aku bisa
jadi terkenal loh, dan tentu punya banyak penggemar,” ceplos Sumini. “Kalau
tarian tradisional mah, lakunya cuma di kampung, Ayah. Mana bisa aku jadi
terkenal kalau melakoni tarian begitu, apalagi masuk televisi.”
Suparmin
tak bisa berkata apa-apa lagi. Kini, ia harus menerima kenyataan kalau Sumini memang
enggan jadi pewarisnya. Tak ada harapan. Mimpi buruknya kalau tarian
tradisional suatu waktu akan lenyap, seperti tinggal menunggu waktu untuk jadi
kenyataan.
“Sudahlah
Pak, biarkan saja anak-anak berkembang sesuai minat dan bakatnya,” tutur
Sumiati, istri Suparmin, sembari menuangkan segelas kopi untuk sang suami.
“Kok
Ibu malah mendukung anak kita salah jalan? Ibu tak khawatir kalau Sumini nanti
jadi lupa diri? Lupa budaya sendiri? Lupa kalau kita ini orang timur yang tak
sepantasnya tampil kebarat-baratan?” sergah Suparmin.
“Tapi
ini sudah abad ke-21, Pak. Kita sudah di zaman globalisasi. Tak ada lagi
sekat-sekat antara orang timur dan barat. Kalau mau maju, ya harus membaur.
Kalau pikiran kita tertutup dan kudet terus,
mana bisa bangsa kita berjaya,” jawab Sumiati.
“Iya,
aku paham, Bu. Tapi maju dan berkembang tanpa melupakan jati diri kita sebagai
orang timur, kan bisa,” bantah Suparmin. Emosinya meninggi. Jadi tak berhasrat
menyeruput kopi panas di depannya.
“Mana
bisa, Pak? Budaya kita, tak laku. Kalau mau maju, ya harus melakoni sesuatu
yang bisa mengglobal,” sanggah Sumiati. “Sudahlah pak. Biarkanlah tari-tarian
tradisional dengan segala embel-embelnya menjadi kenangan kita yang sudah tua.
Tak usah Bapak capek-capek mewariskannya kepada anak-anak muda.”
Benar-benar,
semua kenyataan itu pahit bagi Suparmin. Orang terdekatnya saja, tak teguh
bersamanya. Kini, ia harus berjuang sendiri di antara orang-orang yang lupa
diri. Membiasakan diri sepi dalam kehidupan yang mengabaikan moralitas atas
nama modernisasi. Rela terasing di dunia yang telah dibutakan penghargaan semu.
“Ayah,
ini undangan dari guruku,” tutur Sumini, semringah, sambil menyerahkan sepucuk
surat.
Dalam
hati, Suparmin tak berselera mengetahui isi surat itu. “Surat tentang apa Nak?”
tanyanya, tanpa keinginan menyibak sendiri isi surat yang digenggamnya.
“Surat
undangan menghadiri pementasan dance-ku
Ayah. Acaranya diadakan enam hari lagi, di gedung kesenian sekolahku,” jelas
Sumini. Terlihat sangat bersemangat. “Ayah bisa hadir kan?”
Suparmin
hanya terdiam. Membayangkan betapa horornya menyaksikan anaknya sendiri menari dengan
gaya dan gerakan impor di tengah kerumunan penonton. Sesuatu yang tak pernah dibayangkannya
dahulu.
Tiba-tiba
terdengar suara ketukan di daun pintu rumah. Suparmin pun segera mengecek siapa
gerangan yang bertamu. Ternyata, Karman, guru kesenian Sumini di sekolah.
Mereka
pun memulai percakapan dengan basa-basi yang tak jelas. Sampai Karman sendiri
mengarahkan percakapan tentang maksud kedatangannya.
“Apa
surat dari pihak sekolah sudah disampaikan Sumini, Pak?” tanya Karman.
“Iya,
sudah,” jawab Suparmin dengan mimik datar.
Sedari
tadi, sebenarnya, Suparmin tak begitu antusias bercakap-cakap dengan lelaki
bertubuh gempal dan berkumis itu. Sisi hatinya kesal sebab tahu Karman adalah
otak di balik perubahan watak Sumini.
“Ah,
syukurlah. Kami benar-benar mengharapkan kedatangan Bapak di acara besar itu. Banyak
pejabat urusan kebudayaan yang akan datang, Pak,” tutur Karman. “Apalagi,
Sumini, anak Bapak yang hebat itu, adalah pemimpin di grup dance.”
Suparmin
cuma nyengir mendengar pujian bak salah alamat itu.
“Kukira,
pantaslah sebab Ayahnya memang seniman handal,” tambah Karman lagi, lalu
berdeham. “Oh ya Pak. Aku sebenarnya punya maksud lain ke sini. Kalau bisa, ke
depan, pihak sekolah hendak bekerja sama dengan sanggar tari milik bapak. Kami
yakin, di bawah bimbingan Bapak, akan banyak anak-anak yang handal nge-dance kayak Sumini.”
Suparmin
tersentak. Mimiknya sontak berubah kecut.
“Bapak
tak usah khawatir, masalah keuntungannya, biar dibagi secara adil untuk sanggar
dan pihak sekolah,” sambung Karman, sembari tersenyum lebar.
Suparmin
tak kuasa bersuara.
“Nah,
aku kan sudah bilang Pak, sanggar seni harusnya mengajarkan dance, bukan tarian tradisional,” timpal Sumini
yang berdiri di samping ayahnya.
Batin
Suparmin seakan terbunuh berkali-kali. Ia hendak berontak, tapi tak ada daya.
Semua orang yang ia duga seharusnya sepihak dengannya, malah menjadi pembunuh
pertamanya. Ia benar-benar tak habis pikir, betapa nilai-nilai kebudayaan kini,
telah diabaikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
“Semuanya akan aku pertimbangkan Pak,” tutur
Suaprmin, setelah melewatkan beberapa detik untuk menerawang dalam dirinya
sendiri.
Tapi
di balik balasannya itu, Suparmin mengokohkan pendiriannya untuk menghadiri
undangan pementasan yang diadakan komunitas seni tradisional di negeri seberang.
Ia akan membawa serta istrinya dan anaknya. Dan mungkin, ia tak akan kembali
lagi ke tanah para pelupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar