Senin, 26 September 2016

Tanah Para Pelupa

Sumini bergembira sepulang dari sekolah. Gurunya mengabari kalau ia termasuk anggota grup dance untuk lomba kesenian tingkat sekolah dasar. Tentu saja ia sangat senang. Apalagi, itu memang sudah jadi impiannya sejak dahulu. Hasratnya tinggi untuk tampil bak idola. Berlenggak-lenggok di atas panggung demi eluhan dan tepuk tangan para penonton.

Kegembiraan Sumini, awet. Ia tak henti-hentinya berlagak bak seorang penari modern yang profesional. Bergerak lentur dan energik. Tak peduli apa pun kata orang. Ia mengangap semua tempat adalah panggung pertunjukan. Gigih berlatih sekeras mungkin, demi kesempurnaan penampilannya nanti. 

Ayahnya, Suparmin, yang seorang seniman tari tradisional, kini semakin heran melihat perubahan perangai Sumini. Usahanya agar sang anak mencintai dan melestarikan seni tradisional, sepertinya gagal. Apa yang diajarkannya selama ini, sama sekali tak berbekas. Sumini tetap tak berminat pada tarian tradisional. Ia malah menggandrungi tarian kekinian yang entah siapa tuannya.

“Mini, dari pada gaya dan gerakanmu tak jelas begitu, lebih baik kamu siap-siap. Sejam lagi, kita ke sanggar. Kau harus sering-sering latihan dengan anak-anak yang lain,” tutur Suparmin.

Memang, latihan rencananya digalakkan. Empat hari lagi, anak-anak sanggar seni Suparmin, akan berangkat ke negeri seberang. Ada undangan khusus dari komunitas seni tradisional. Di sana, akan diadakan pementasan besar untuk menggelorakan kembali rasa cinta atas kekayaan budaya tradisional.

Itu masih dirahasiakan Suparmin pada sang anak. 

Tapi lagi-lagi, Sumini tampak tak berselera.

“Aku tak usah ikut Ayah. Kan, aku juga sedang latihan. Latihan dance,” balasnya dengan polos, sambil tetap bergerak ke sana-sini. 

Suparmin benar-benar tak habis pikir. “Perasaan, Ayah tak pernah mengajarimu tarian semacam itu. Gerakan tari itu harus teratur. Tidak aur-auran kayak begitu, Nak,” serunya.

“Ini seni, Ayah! Guru kesenianku sendirilah yang mengajariku,” balas Sumini, tanpa menghentikan gerakannya yang bak ulat bulu saja. “Keren loh Ayah. Lihat!”

Kini, kekhawatiran Suparmin dahulu, mulai jadi kenyataan. Sumini lupa diri. Tak lagi mencintai budaya bangsa sendiri.

“Tapi, tarian semacam itu kan bukan kebudayaan kita, Nak,” tutur Suparmin.

“Aku tahu Ayah. Pastilah bukan. Ini kan tarian modern. Tarian orang barat. Lah, yang diajari sama Ayah kan tarian tradisional,” tegas Sumini.

“Karena itulah. Seharusnya kau tak ikut-ikutan menari tak jelas semacam itu. Kita harus mempertahankan budaya ketimuran kita, Nak,” kata Suparmin.

“Tapi tarian ini kan tengah digandrungi anak muda, Ayah. Kalau hebat, nanti aku bisa jadi terkenal loh, dan tentu punya banyak penggemar,” ceplos Sumini. “Kalau tarian tradisional mah, lakunya cuma di kampung, Ayah. Mana bisa aku jadi terkenal kalau melakoni tarian begitu, apalagi masuk televisi.

Suparmin tak bisa berkata apa-apa lagi. Kini, ia harus menerima kenyataan kalau Sumini memang enggan jadi pewarisnya. Tak ada harapan. Mimpi buruknya kalau tarian tradisional suatu waktu akan lenyap, seperti tinggal menunggu waktu untuk jadi kenyataan.

“Sudahlah Pak, biarkan saja anak-anak berkembang sesuai minat dan bakatnya,” tutur Sumiati, istri Suparmin, sembari menuangkan segelas kopi untuk sang suami.

“Kok Ibu malah mendukung anak kita salah jalan? Ibu tak khawatir kalau Sumini nanti jadi lupa diri? Lupa budaya sendiri? Lupa kalau kita ini orang timur yang tak sepantasnya tampil kebarat-baratan?” sergah Suparmin.

“Tapi ini sudah abad ke-21, Pak. Kita sudah di zaman globalisasi. Tak ada lagi sekat-sekat antara orang timur dan barat. Kalau mau maju, ya harus membaur. Kalau pikiran kita tertutup dan kudet terus, mana bisa bangsa kita berjaya,” jawab Sumiati.

“Iya, aku paham, Bu. Tapi maju dan berkembang tanpa melupakan jati diri kita sebagai orang timur, kan bisa,” bantah Suparmin. Emosinya meninggi. Jadi tak berhasrat menyeruput kopi panas di depannya.

“Mana bisa, Pak? Budaya kita, tak laku. Kalau mau maju, ya harus melakoni sesuatu yang bisa mengglobal,” sanggah Sumiati. “Sudahlah pak. Biarkanlah tari-tarian tradisional dengan segala embel-embelnya menjadi kenangan kita yang sudah tua. Tak usah Bapak capek-capek mewariskannya kepada anak-anak muda.”

Benar-benar, semua kenyataan itu pahit bagi Suparmin. Orang terdekatnya saja, tak teguh bersamanya. Kini, ia harus berjuang sendiri di antara orang-orang yang lupa diri. Membiasakan diri sepi dalam kehidupan yang mengabaikan moralitas atas nama modernisasi. Rela terasing di dunia yang telah dibutakan penghargaan semu. 

“Ayah, ini undangan dari guruku,” tutur Sumini, semringah, sambil menyerahkan sepucuk surat.

Dalam hati, Suparmin tak berselera mengetahui isi surat itu. “Surat tentang apa Nak?” tanyanya, tanpa keinginan menyibak sendiri isi surat yang digenggamnya.

“Surat undangan menghadiri pementasan dance-ku Ayah. Acaranya diadakan enam hari lagi, di gedung kesenian sekolahku,” jelas Sumini. Terlihat sangat bersemangat. “Ayah bisa hadir kan?”

Suparmin hanya terdiam. Membayangkan betapa horornya menyaksikan anaknya sendiri menari dengan gaya dan gerakan impor di tengah kerumunan penonton. Sesuatu yang tak pernah dibayangkannya dahulu.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di daun pintu rumah. Suparmin pun segera mengecek siapa gerangan yang bertamu. Ternyata, Karman, guru kesenian Sumini di sekolah.

Mereka pun memulai percakapan dengan basa-basi yang tak jelas. Sampai Karman sendiri mengarahkan percakapan tentang maksud kedatangannya.

“Apa surat dari pihak sekolah sudah disampaikan Sumini, Pak?” tanya Karman.

“Iya, sudah,” jawab Suparmin dengan mimik datar. 

Sedari tadi, sebenarnya, Suparmin tak begitu antusias bercakap-cakap dengan lelaki bertubuh gempal dan berkumis itu. Sisi hatinya kesal sebab tahu Karman adalah otak di balik perubahan watak Sumini.  

“Ah, syukurlah. Kami benar-benar mengharapkan kedatangan Bapak di acara besar itu. Banyak pejabat urusan kebudayaan yang akan datang, Pak,” tutur Karman. “Apalagi, Sumini, anak Bapak yang hebat itu, adalah pemimpin di grup dance.

Suparmin cuma nyengir mendengar pujian bak salah alamat itu. 

“Kukira, pantaslah sebab Ayahnya memang seniman handal,” tambah Karman lagi, lalu berdeham. “Oh ya Pak. Aku sebenarnya punya maksud lain ke sini. Kalau bisa, ke depan, pihak sekolah hendak bekerja sama dengan sanggar tari milik bapak. Kami yakin, di bawah bimbingan Bapak, akan banyak anak-anak yang handal nge-dance kayak Sumini.”

Suparmin tersentak. Mimiknya sontak berubah kecut.

“Bapak tak usah khawatir, masalah keuntungannya, biar dibagi secara adil untuk sanggar dan pihak sekolah,” sambung Karman, sembari tersenyum lebar.

Suparmin tak kuasa bersuara.

“Nah, aku kan sudah bilang Pak, sanggar seni harusnya mengajarkan dance, bukan tarian tradisional,” timpal Sumini yang berdiri di samping ayahnya.

Batin Suparmin seakan terbunuh berkali-kali. Ia hendak berontak, tapi tak ada daya. Semua orang yang ia duga seharusnya sepihak dengannya, malah menjadi pembunuh pertamanya. Ia benar-benar tak habis pikir, betapa nilai-nilai kebudayaan kini, telah diabaikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 

 “Semuanya akan aku pertimbangkan Pak,” tutur Suaprmin, setelah melewatkan beberapa detik untuk menerawang dalam dirinya sendiri. 

Tapi di balik balasannya itu, Suparmin mengokohkan pendiriannya untuk menghadiri undangan pementasan yang diadakan komunitas seni tradisional di negeri seberang. Ia akan membawa serta istrinya dan anaknya. Dan mungkin, ia tak akan kembali lagi ke tanah para pelupa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar