Tanah
subur itu telah berubah. Dahulu hanya pedesaan sepi, tapi kini jadi kawasan perkotaan
yang penuh hiruk-pikuk manusia. Hutan liar telah dibabat habis untuk dibanguni
hunian mewah. Gedung perindustrian menutupi lahan-lahan perkebunan. Tambak-tambak
disulap jadi wahana rekreasi modern. Begitulah katanya kehidupan yang maju.
Orang
desa pun, tak bisa membendung arus modernisasi. Mereka menjual lahan untuk
harga menggiurkan, lalu pergi menyingkir ke pinggiran kota, mencari penghidupan
baru. Kemudian, waktu akan menggoda mereka untuk kembali. Mungkin untuk sekadar
berbelanja, atau jadi buruh di gedung bertingkat, tepat di bekas tanah
penghidupan mereka dahulu.
Tapi
Samin punya sikap berbeda. Duda berusia senja itu, tak sedikit pun tertarik
menjual tanahnya demi segepok uang. Itu demi masa depan, katanya. Tentang menjaga
bumi dari kehancuran, juga menghindarkan manusia dari penjajahan gaya baru.
Demi semua harapan besar itu, ia rela dipandang asing oleh mata-mata materialis.
Samin
konsisten. Bahkan permintaan anaknya, Armin, agar lahan sawah miliknya dijual
saja untuk harga selangit, tak dikabulkan. Padahal, anak semata wayangnya itu,
butuh uang pelicin untuk kuliah di sebuah kampus favorit. Bagi Samin, menyogok adalah perbuatan hina,
walau sang anak menilai tindakan semacam itu sudah lumrah di tengah kehidupan
kota yang penuh persaingan.
Armin
pun terpaksa mengangggur, dan baru kuliah setahun berikutnya, setelah dinyatakan
lulus melalui jalur seleksi tertulis.
Sama
juga waktu Armin butuh uang untuk bertarung pada pemilihan kepala desa. Samin pikir,
menjual tanah untuk sebuah kekuasaan politik, bukanlah jalan yang tepat.
Apalagi jika kekuasaan itu hanya digunakan untuk menumpuk kekayaan. Baginya,
hidup sederhana dari hasil bertani, sudah cukup membahagiakan.
Nafsu
Armin untuk berkuasa, akhirnya kandas di awal jalan.
Armin
jadi tak paham maksud ayahnya mempertahankan sebidang tanah itu. Ia tak mengerti,
bagaimana bisa sang ayah, di usia senjanya, masih memedulikan persoalan tanah.
Sungguh, Armin merasa tak dikasihi. Tak diberikan kebebasan untuk mengecap
sumber kesenangan dunia.
Kini,
Armin pun teringat percakapan dengan ayahnya beberapa tahun silam.
“Sejak
dari dulu, aku kan sudah sarankan agar tanah ini dijual saja Pak. Nanti, dari
hasil penjualannya, kita bisa membeli rumah mewah di tengah kota. Sudah
bertahun-tahun ditanami padi, toh, hasilnya juga tak seberapa,” tutur Armin,
setelah melihat tanaman padinya bersama sang ayah, tak subur.
“Iya.
Aku tahu. Tapi setidaknya, kita yang punya. Seberharga apa pun sesuatu, tapi
kalau bukan punya kita, ya tak ada artinya,” balasnya, sembari tetap mencabuti rerumputan
di sela tanaman padi.
Armin
tak suka jawaban diplomatis seperti itu. Dengan setengah gusar, ia terus
menyemprotkan racun hama pada tangki yang digendongnya.
“Kau
harus paham, Nak, dahulu, para pahlawan rela menumpahkan keringat dan darahnya
untuk merebut tanah air ini dari para penjajah. Tugas kita sekarang untuk
mempertahankannya. Sejengkal tahan kita, sedikit pun, tak boleh kita gadaikan
kepada bangsa asing dengan cara apa pun,” sambung Samin setelah melihat wajah anaknya
bersungut-sungut.
“Gadaikan?
Dijual pun, kalau menurutku tak apa-apa. Kan bermanfaat juga. Bisa jadi gedung
besar yang akan memacu perkembangan ekonomi di kota ini. Nanti kan banyak orang
yang bisa dipekerjakan,” sanggah Armin, terkesan memaksakan pendapatnya.
“Iya.
Aku tahu. Tapi kau harus pikirkan juga, siapa yang menuai untung di balik
sistem kapitalis itu. Coba bayangkan, bagaimana jadinya jika tanah ini dijual
kepada para pemodal asing yang tak punya hati, yang memperalat bangsa kita? Bisa-bisa
kita jadi budak di tanah air sendiri,” jelasnya Samin dengan lemah lembut.
Armin
pun tak berhasrat lagi mengomentari kata-kata ayahnya. Dipikirnya omong kosong
saja, sebab ayahnya hanya tamatan sekolah rakyat yang tak layak bicara soal
ekonomi makro. Kalau terus ditanggapi, bisa-bisa, sang ayah malah berkisah lagi
tentang masa lalunya melawan penjajah. Padahal, ia bukanlah veteran yang pantas
berkisah tentang patriotisme para pahlawan.
Sebenarnya,
dari penuturannya tentang sejarah masa lalu, Samin layak dinobatkan sebagai
veteran. Buktinya, ia punya senapan tua yang dicurinya dari tentara penjajah
dahulu untuk digunakan berjuang. Tapi ia tak ingin balasan apa-apa dari negara.
Dipikirnya, negara masih perlu dibangun, bukan malah dibebani.
Dan
kini, Samin telah tiada. Armin pun mulai menyadari betapa pesan ayahnya itu
dahulu, begitu berarti.
Hari
ini, Armin mengunjungi makan sang ayah setelah dua tahun berpulangnya. Ia
memang telah tinggal di pelosok desa nun jauh. Hidup sebagai buruh tani. Hanya
sesekali ia berkunjung ke tempat kelahirannya.
Tapi
kini, ia berencana kembali menetap di desa kenangannya yang telah berubah menjadi
kota metropolitan itu. Ia berharap bisa mendapatkan penghidupan layak dengan
mengandalkan ijazah SMA-nya, sebab ia tak lulus kuliah setelah drop out karena perangai malas dan nakalnya.
“Ayah, ayo kita pulang,” tutur Bagas, anak Armin yang masih berusia enam tahun.
Armin
tak menggubris ajakan anaknya. Ia masih saja meratap di pusara almarhum ayahnya.
Mengenang semua dosa-dosannya yang tak lagi bisa dimohonkan maaf secara
langsung, termasuk kesalahan besarnya mengkhianati amanah sang ayah agar menjaga
sebidang tanah yang diwariskan kepadanya.
Apa mau dikata, Armin telah menjual tanah tempat jasad sang ayah bersemayam. Dan mungkin tak lama lagi, tempat peristirahatan ayahnya itu, sekalian, akan diubah para pemilik tanah dan penguasa modal menjadi pusat perdagangan modern. Ditanami gedung-gedung
bertingkat, tempat menjual segala macam barang impor. Menggilas atau menggeser jasad almarhum yang terbaring tenang di dalam tanah peninggalannya.
Air
mata Armin pun menetes.
“Kanapa
Ayah menangis? Apa Ayah punya salah sama Kekek?” tanya Bagas lagi. Lugu.
“Aku
cinta sama Kakek, Nak,” jawab Armin, sembari mengusap-usap rambut sang anak.
Bagas
takzim.
Lama
Armin bernostalgia dengan bayang-bayang ayahnya.
Sore
pun menjelang. Armin dan anaknya berjalan pulang ke kontrakan sederhananya. Meninggakan kuburan ayahnya yang terlihat biasa saja, sebagaimana
permintaannya sebelum meningggal. Jauh berbeda dengan kuburan para penguasa dan
hartawan yang terlihat istimewa.
“Ayah
tak kerja hari ini?” tanya Bagas.
Bagas
memang tahu kalau ayahnya bekerja sebagai satpam di sebuah mal yang mereka
lewati selepas dari kuburan. Tapi ia tak tahu kalau gedung megah itu berdiri di
atas tanah milik kakeknya dahulu.
“Tidak
Nak. Hari ini, Ayah tak ada tugas,” balasnya, sembari tersenyum.
Mereka
pun terus berjalan. Menapaki susunan batako dan beton yang menutupi permukan
tanah.
“Veteran
itu apa Ayah?” Aku dengar, kakek temanku veteran,” tutur Bagas. Ia teringat beberapa hari lalu, ketika teman-teman sekelasnya saling menyombong-nyombongkan kakek-nenek menjelang peringatan hari kemerdekaan. Dan kala itu, ia tak bisa membela diri.
“Veteran
itu, orang-orang yang telah berjasa melawan penjajah dahulu, sampai akhirnya
bangsa kita merdeka. Mereka itu para pejuang, Nak,” jelas Armin.
“Apa
Kakek seorang veteran?” tanya Bagas lagi.
“Entahlah
Nak. Kakekmu memang tak dinobatkan sebagai veteran. Tapi aku yakin, dia itu
pejuang. Seorang pahlawan, meskipun tanpa tanda jasa,” tutur Armin.
Ya,
kini Armin sadar, betapa almarhum ayahnya, telah berjuang untuk bangsa dan
negara seumur hidupnya. Berbeda dengan dirinya yang tak lebih dari seorang penghianat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar