Minggu, 25 September 2016

Akhir Perlawanan Samin

Tanah subur itu telah berubah. Dahulu hanya pedesaan sepi, tapi kini jadi kawasan perkotaan yang penuh hiruk-pikuk manusia. Hutan liar telah dibabat habis untuk dibanguni hunian mewah. Gedung perindustrian menutupi lahan-lahan perkebunan. Tambak-tambak disulap jadi wahana rekreasi modern. Begitulah katanya kehidupan yang maju.
 
Orang desa pun, tak bisa membendung arus modernisasi. Mereka menjual lahan untuk harga menggiurkan, lalu pergi menyingkir ke pinggiran kota, mencari penghidupan baru. Kemudian, waktu akan menggoda mereka untuk kembali. Mungkin untuk sekadar berbelanja, atau jadi buruh di gedung bertingkat, tepat di bekas tanah penghidupan mereka dahulu.

Tapi Samin punya sikap berbeda. Duda berusia senja itu, tak sedikit pun tertarik menjual tanahnya demi segepok uang. Itu demi masa depan, katanya. Tentang menjaga bumi dari kehancuran, juga menghindarkan manusia dari penjajahan gaya baru. Demi semua harapan besar itu, ia rela dipandang asing oleh mata-mata materialis. 

Samin konsisten. Bahkan permintaan anaknya, Armin, agar lahan sawah miliknya dijual saja untuk harga selangit, tak dikabulkan. Padahal, anak semata wayangnya itu, butuh uang pelicin untuk kuliah di sebuah kampus favorit.  Bagi Samin, menyogok adalah perbuatan hina, walau sang anak menilai tindakan semacam itu sudah lumrah di tengah kehidupan kota yang penuh persaingan. 

Armin pun terpaksa mengangggur, dan baru kuliah setahun berikutnya, setelah dinyatakan lulus melalui jalur seleksi tertulis.

Sama juga waktu Armin butuh uang untuk bertarung pada pemilihan kepala desa. Samin pikir, menjual tanah untuk sebuah kekuasaan politik, bukanlah jalan yang tepat. Apalagi jika kekuasaan itu hanya digunakan untuk menumpuk kekayaan. Baginya, hidup sederhana dari hasil bertani, sudah cukup membahagiakan. 

Nafsu Armin untuk berkuasa, akhirnya kandas di awal jalan.  

Armin jadi tak paham maksud ayahnya mempertahankan sebidang tanah itu. Ia tak mengerti, bagaimana bisa sang ayah, di usia senjanya, masih memedulikan persoalan tanah. Sungguh, Armin merasa tak dikasihi. Tak diberikan kebebasan untuk mengecap sumber kesenangan dunia.

Kini, Armin pun teringat percakapan dengan ayahnya beberapa tahun silam.

“Sejak dari dulu, aku kan sudah sarankan agar tanah ini dijual saja Pak. Nanti, dari hasil penjualannya, kita bisa membeli rumah mewah di tengah kota. Sudah bertahun-tahun ditanami padi, toh, hasilnya juga tak seberapa,” tutur Armin, setelah melihat tanaman padinya bersama sang ayah, tak subur.

“Iya. Aku tahu. Tapi setidaknya, kita yang punya. Seberharga apa pun sesuatu, tapi kalau bukan punya kita, ya tak ada artinya,” balasnya, sembari tetap mencabuti rerumputan di sela tanaman padi.

Armin tak suka jawaban diplomatis seperti itu. Dengan setengah gusar, ia terus menyemprotkan racun hama pada tangki yang digendongnya.

“Kau harus paham, Nak, dahulu, para pahlawan rela menumpahkan keringat dan darahnya untuk merebut tanah air ini dari para penjajah. Tugas kita sekarang untuk mempertahankannya. Sejengkal tahan kita, sedikit pun, tak boleh kita gadaikan kepada bangsa asing dengan cara apa pun,” sambung Samin setelah melihat wajah anaknya bersungut-sungut.

“Gadaikan? Dijual pun, kalau menurutku tak apa-apa. Kan bermanfaat juga. Bisa jadi gedung besar yang akan memacu perkembangan ekonomi di kota ini. Nanti kan banyak orang yang bisa dipekerjakan,” sanggah Armin, terkesan memaksakan pendapatnya.

“Iya. Aku tahu. Tapi kau harus pikirkan juga, siapa yang menuai untung di balik sistem kapitalis itu. Coba bayangkan, bagaimana jadinya jika tanah ini dijual kepada para pemodal asing yang tak punya hati, yang memperalat bangsa kita? Bisa-bisa kita jadi budak di tanah air sendiri,” jelasnya Samin dengan lemah lembut.

Armin pun tak berhasrat lagi mengomentari kata-kata ayahnya. Dipikirnya omong kosong saja, sebab ayahnya hanya tamatan sekolah rakyat yang tak layak bicara soal ekonomi makro. Kalau terus ditanggapi, bisa-bisa, sang ayah malah berkisah lagi tentang masa lalunya melawan penjajah. Padahal, ia bukanlah veteran yang pantas berkisah tentang patriotisme para pahlawan.

Sebenarnya, dari penuturannya tentang sejarah masa lalu, Samin layak dinobatkan sebagai veteran. Buktinya, ia punya senapan tua yang dicurinya dari tentara penjajah dahulu untuk digunakan berjuang. Tapi ia tak ingin balasan apa-apa dari negara. Dipikirnya, negara masih perlu dibangun, bukan malah dibebani. 

Dan kini, Samin telah tiada. Armin pun mulai menyadari betapa pesan ayahnya itu dahulu, begitu berarti.

Hari ini, Armin mengunjungi makan sang ayah setelah dua tahun berpulangnya. Ia memang telah tinggal di pelosok desa nun jauh. Hidup sebagai buruh tani. Hanya sesekali ia berkunjung ke tempat kelahirannya. 

Tapi kini, ia berencana kembali menetap di desa kenangannya yang telah berubah menjadi kota metropolitan itu. Ia berharap bisa mendapatkan penghidupan layak dengan mengandalkan ijazah SMA-nya, sebab ia tak lulus kuliah setelah drop out karena perangai malas dan nakalnya.

“Ayah, ayo kita pulang,” tutur Bagas, anak Armin yang masih berusia enam tahun.

Armin tak menggubris ajakan anaknya. Ia masih saja meratap di pusara almarhum ayahnya. Mengenang semua dosa-dosannya yang tak lagi bisa dimohonkan maaf secara langsung, termasuk kesalahan besarnya mengkhianati amanah sang ayah agar menjaga sebidang tanah yang diwariskan kepadanya. 

Apa mau dikata, Armin telah menjual tanah tempat jasad sang ayah bersemayam. Dan mungkin tak lama lagi, tempat peristirahatan ayahnya itu, sekalian, akan diubah para pemilik tanah dan penguasa modal menjadi pusat perdagangan modern. Ditanami gedung-gedung bertingkat, tempat menjual segala macam barang impor. Menggilas atau menggeser jasad almarhum yang terbaring tenang di dalam tanah peninggalannya.

Air mata Armin pun menetes.

“Kanapa Ayah menangis? Apa Ayah punya salah sama Kekek?” tanya Bagas lagi. Lugu.

“Aku cinta sama Kakek, Nak,” jawab Armin, sembari mengusap-usap rambut sang anak.

Bagas takzim.

Lama Armin bernostalgia dengan bayang-bayang ayahnya. 

Sore pun menjelang. Armin dan anaknya berjalan pulang ke kontrakan sederhananya. Meninggakan kuburan ayahnya yang terlihat biasa saja, sebagaimana permintaannya sebelum meningggal. Jauh berbeda dengan kuburan para penguasa dan hartawan yang terlihat istimewa.

“Ayah tak kerja hari ini?” tanya Bagas.

Bagas memang tahu kalau ayahnya bekerja sebagai satpam di sebuah mal yang mereka lewati selepas dari kuburan. Tapi ia tak tahu kalau gedung megah itu berdiri di atas tanah milik kakeknya dahulu.

“Tidak Nak. Hari ini, Ayah tak ada tugas,” balasnya, sembari tersenyum.

Mereka pun terus berjalan. Menapaki susunan batako dan beton yang menutupi permukan tanah.

“Veteran itu apa Ayah?” Aku dengar, kakek temanku veteran,” tutur Bagas. Ia teringat beberapa hari lalu, ketika teman-teman sekelasnya saling menyombong-nyombongkan kakek-nenek menjelang peringatan hari kemerdekaan. Dan kala itu, ia tak bisa membela diri.

“Veteran itu, orang-orang yang telah berjasa melawan penjajah dahulu, sampai akhirnya bangsa kita merdeka. Mereka itu para pejuang, Nak,” jelas Armin. 

“Apa Kakek seorang veteran?” tanya Bagas lagi.

“Entahlah Nak. Kakekmu memang tak dinobatkan sebagai veteran. Tapi aku yakin, dia itu pejuang. Seorang pahlawan, meskipun tanpa tanda jasa,” tutur Armin.

Ya, kini Armin sadar, betapa almarhum ayahnya, telah berjuang untuk bangsa dan negara seumur hidupnya. Berbeda dengan dirinya yang tak lebih dari seorang penghianat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar