Baru
lebih setahun Kirman menjadi seorang sarjana. Tapi nasibnya mujur. Kini ia
menjadi seorang pejabat, bupati. Cita-citanya itu tergapai karena ia menerapkan
taktik politik yang digunakannya di tingkat lembaga kemahasiswaan dahulu: mencuri
perhatian massa dengan memberi harapan. Akhirnya, warga masyarakat tergugah
atas retorika politiknya tentang pembangunan yang merakyat.
Modal
untuk menjadi orang besar, memang telah dikumpulkan Kirman sejak bergulat di
dunia kampus. Status sebagai mahasiswa, digunakannya untuk aktif menyuarakan
aspirasi masyarakat kecil. Tak ada panggung demonstrasi yang berlalu tanpa
orasinya. Bahkan ia kerap didaulat sebagai komandan aksi. Tak heran, sosoknya
melekat sebagai pahlawan di benak masyarakat kecil, di lingkungannya.
Kirman
benar-benar berhasil mencuri perhatian masarakat. Ia menggunakan taktik jitu
sebagai pendatang baru. Menjatuhkan lawan politiknya dengan menilai buruk
kinerjanya selama ini. Apalagi, calon pentahana, tandingannya di pemilihan,
disinyalir tak berpihak pada rakyat. Termasuk kebijakannya yang pro penggusuran.
Celah itulah yang disusupi Kirman untuk muncul sebagai sosok pembaru, pelindung,
yang menjadi harapan baru bagi masyarakat kecil.
Dan
benar saja, ia menang.
Keberhasilan
Kirman dalam karir politiknya, di luar dugaan para analis politik. Mereka tak
menduga, Kirman yang hanya anak tukang penjaga kuburan, bisa memenangkan pertarungan
melawan calon petahana yang bermodal. Itu karena selama ini, kenyataan
membuktikan kalau kualitas individu tak ada gunanya dalam politik, jika tanpa sokongan
uang.
“Pak
Kir, selamat, Bapak sudah jadi bupati,” tutur Pak Cipto, seorang pemilik warung
sederhana di pojok pasar. Ia tiba-tiba menghampiri dan menyalami Kirman yang
sedang mengunjungi pasar tradisional bersama beberapa orang rombongannya yang
berpakaian necis.
“Terima
kasih. Ini juga berkat doa dan dukungan dari Bapak,” balasnya, sembari melepas
cengkraman tangan Pak Cipto. “Aku banyak berutang budi pada Bapak.”
Ya,
Kirman sadar kalau sejak dulu, Pak Cipto bisa dibilang Ayah kedua baginya.
Kepada lelaki tua itulah ia sering mengadu perihal kehidupan ekonomi
keluarganya yang pelik. Karena itu, Pak Cipto sesekali menggratiskan makanannya
di warung, bahkan pernah meminjaminya uang untuk kebutuhan kuliah.
“Tak
usah pikir itu Pak Bupati. Aku tak pernah hitung-hitungan kok. Malah, aku dan
teman-teman pedagang di pasar inilah yang harusnya berterima kasih. Jika bukan
karena Pak Kirman dan teman-teman mahasiswa dahulu, mana bisa kami berjualan
sampai sekarang. Sudah sering kami hampir digusur,” tuturnya. “Kami berharap,
Pak Kirman tak berubah. Tetap seperti yang dulu, yang memihak pada kami, rakyat
kecil.”
Kirman
hanya tersenyum simpul.
“Kalau
begitu, Bapak singgah makan dulu. Ajak para rombongan sekalian. Tak usah pikir
soal bayaran. Gratis!” tawar Pak Cipto dengan senyuman yang merekah tulus.
“Tak
usah Pak. Tadi kami semua sudah makan di restoran,” balas Kirman dengan senyum
sepintas.
“Ya,
tak masalah kalau begitu. Lain kali saja kalau Bapak kebetulan lewat sini lagi,”
kata Pak Cipto, agar berat mendengar penolakan Kirman.
Kirman
lalu melanjutkan perjalanannya. Mengobservasi setiap sisi lingkungan pasar.
Pak
Cipto yang lugu, tak sedikit pun menduga bahwa semua telah berubah karena
politik, atau paling tidak akan berubah.
Sejujurnya,
berat juga perasaan Kirman melakukan sesuatu yang bukan kata hatinya. Ia sadar,
survei pasarnya kali ini, bukanlah ajang silaturahmi dan mendengar keluh-kesah
para pedagang. Sebaliknya, sebuah rencana tengah disusun, yang ujung-ujungnya,
tragis bagi para pedagang kecil.
Kirman
tak bisa apa-apa. Kini, ia adalah pejabat yang harus menampakkan diri untuk
setiap pengambilan keputusan terkait masyarakat. Ya, menjadi topeng untuk para
penyokong finansialnya di pemilihan dahulu, yang kini menuntut keuntungan.
Semua keputusan memang berada di tangannya. Tapi sebenarnya, ia tak benar-benar
memegang kendali atas keputusannya.
“Pak,
apa tak bisa, kita urungkan saja program modernisasi kawasan pasar? Kebijakan
itu akan menyengsarakan masyarakat banyak,” tutur Kirman pada Riko, utusan
seorang pengusaha ritel.
Mereka
kini tengah menyeruput kopi impor pada sebuah kafe, di lantai empat gedung
megah, sembari meneropong seluasan kawasan pasar tradisional yang baru saja
mereka kunjungi.
“Tak
bisa. Dulu, kita kan sudah sudah deal.
Bosku ingin semuanya cepat selesai. Harus dilaksanakan. Kalau tidak, akibatnya bisa
fatal,” jawab Riko. “Nanti, para pedagang kan bisa dialihkan menjadi pekerja di
bisnis, Pak. Jadi pelayan, kuli, atau tukang bersih-bersih.”
Niat
baik Kirman ciut. Jelas ia masih ingat kesepakatan politiknya dengan para
pengusaha.
“Kalau
begitu, apa tak bisa, untuk warung Pak Cipto, tak usah digusur. Aku banyak berutang
budi padanya, Pak,” tawar Kirman.
“Tetap
tidak bisa Pak. Harus sesuai kesepakatan. Semua lahan pasar, masuk kawasan
bisnis,” tegas Riko. “Bapak harus sadar kalau sudah jadi politisi. Dalam
politik, tak ada lawan dan kawan sejati, Pak. Semua hanya soal kepentingan. Apa
kepentingan Bapak pada Pak Cipto? Tak ada! Kepentingan Bapak hanya dengan kami
sekarang.”
Kirman
terdiam.
“Sudahlah
Pak. Biarkanlah para pedagang nantinya berusaha untuk kehidupannya
masing-masing. Mereka masih punya otot. Tak usah dipikirkan,” pungkas Riko.
Kirman
tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sadar, tugasnya kini hanya untuk menanadatangani
berkas administrasi. Tak lebih dari itu.
Akhirnya,
surat keputusan tentang penertiban (baca: penggusuran) kawasan pasar pun,
ditandatanganinya. Bisikan nuraninya, diredam.
Berselang
beberapa hari, warung Pak Cipto pun rata dengan tanah. Tak tersisa apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar