Minggu, 04 September 2016

Warung Pak Cipto

Baru lebih setahun Kirman menjadi seorang sarjana. Tapi nasibnya mujur. Kini ia menjadi seorang pejabat, bupati. Cita-citanya itu tergapai karena ia menerapkan taktik politik yang digunakannya di tingkat lembaga kemahasiswaan dahulu: mencuri perhatian massa dengan memberi harapan. Akhirnya, warga masyarakat tergugah atas retorika politiknya tentang pembangunan yang merakyat.

Modal untuk menjadi orang besar, memang telah dikumpulkan Kirman sejak bergulat di dunia kampus. Status sebagai mahasiswa, digunakannya untuk aktif menyuarakan aspirasi masyarakat kecil. Tak ada panggung demonstrasi yang berlalu tanpa orasinya. Bahkan ia kerap didaulat sebagai komandan aksi. Tak heran, sosoknya melekat sebagai pahlawan di benak masyarakat kecil, di lingkungannya.

Kirman benar-benar berhasil mencuri perhatian masarakat. Ia menggunakan taktik jitu sebagai pendatang baru. Menjatuhkan lawan politiknya dengan menilai buruk kinerjanya selama ini. Apalagi, calon pentahana, tandingannya di pemilihan, disinyalir tak berpihak pada rakyat. Termasuk kebijakannya yang pro penggusuran. Celah itulah yang disusupi Kirman untuk muncul sebagai sosok pembaru, pelindung, yang menjadi harapan baru bagi masyarakat kecil. 

Dan benar saja, ia menang.

Keberhasilan Kirman dalam karir politiknya, di luar dugaan para analis politik. Mereka tak menduga, Kirman yang hanya anak tukang penjaga kuburan, bisa memenangkan pertarungan melawan calon petahana yang bermodal. Itu karena selama ini, kenyataan membuktikan kalau kualitas individu tak ada gunanya dalam politik, jika tanpa sokongan uang.

“Pak Kir, selamat, Bapak sudah jadi bupati,” tutur Pak Cipto, seorang pemilik warung sederhana di pojok pasar. Ia tiba-tiba menghampiri dan menyalami Kirman yang sedang mengunjungi pasar tradisional bersama beberapa orang rombongannya yang berpakaian necis.

“Terima kasih. Ini juga berkat doa dan dukungan dari Bapak,” balasnya, sembari melepas cengkraman tangan Pak Cipto. “Aku banyak berutang budi pada Bapak.”

Ya, Kirman sadar kalau sejak dulu, Pak Cipto bisa dibilang Ayah kedua baginya. Kepada lelaki tua itulah ia sering mengadu perihal kehidupan ekonomi keluarganya yang pelik. Karena itu, Pak Cipto sesekali menggratiskan makanannya di warung, bahkan pernah meminjaminya uang untuk kebutuhan kuliah.

“Tak usah pikir itu Pak Bupati. Aku tak pernah hitung-hitungan kok. Malah, aku dan teman-teman pedagang di pasar inilah yang harusnya berterima kasih. Jika bukan karena Pak Kirman dan teman-teman mahasiswa dahulu, mana bisa kami berjualan sampai sekarang. Sudah sering kami hampir digusur,” tuturnya. “Kami berharap, Pak Kirman tak berubah. Tetap seperti yang dulu, yang memihak pada kami, rakyat kecil.”

Kirman hanya tersenyum simpul.

“Kalau begitu, Bapak singgah makan dulu. Ajak para rombongan sekalian. Tak usah pikir soal bayaran. Gratis!” tawar Pak Cipto dengan senyuman yang merekah tulus.

“Tak usah Pak. Tadi kami semua sudah makan di restoran,” balas Kirman dengan senyum sepintas.

“Ya, tak masalah kalau begitu. Lain kali saja kalau Bapak kebetulan lewat sini lagi,” kata Pak Cipto, agar berat mendengar penolakan Kirman.

Kirman lalu melanjutkan perjalanannya. Mengobservasi setiap sisi lingkungan pasar.

Pak Cipto yang lugu, tak sedikit pun menduga bahwa semua telah berubah karena politik, atau paling tidak akan berubah.

Sejujurnya, berat juga perasaan Kirman melakukan sesuatu yang bukan kata hatinya. Ia sadar, survei pasarnya kali ini, bukanlah ajang silaturahmi dan mendengar keluh-kesah para pedagang. Sebaliknya, sebuah rencana tengah disusun, yang ujung-ujungnya, tragis bagi para pedagang kecil. 

Kirman tak bisa apa-apa. Kini, ia adalah pejabat yang harus menampakkan diri untuk setiap pengambilan keputusan terkait masyarakat. Ya, menjadi topeng untuk para penyokong finansialnya di pemilihan dahulu, yang kini menuntut keuntungan. Semua keputusan memang berada di tangannya. Tapi sebenarnya, ia tak benar-benar memegang kendali atas keputusannya. 

“Pak, apa tak bisa, kita urungkan saja program modernisasi kawasan pasar? Kebijakan itu akan menyengsarakan masyarakat banyak,” tutur Kirman pada Riko, utusan seorang pengusaha ritel.

Mereka kini tengah menyeruput kopi impor pada sebuah kafe, di lantai empat gedung megah, sembari meneropong seluasan kawasan pasar tradisional yang baru saja mereka kunjungi.

“Tak bisa. Dulu, kita kan sudah sudah deal. Bosku ingin semuanya cepat selesai. Harus dilaksanakan. Kalau tidak, akibatnya bisa fatal,” jawab Riko. “Nanti, para pedagang kan bisa dialihkan menjadi pekerja di bisnis, Pak. Jadi pelayan, kuli, atau tukang bersih-bersih.”

Niat baik Kirman ciut. Jelas ia masih ingat kesepakatan politiknya dengan para pengusaha.

“Kalau begitu, apa tak bisa, untuk warung Pak Cipto, tak usah digusur. Aku banyak berutang budi padanya, Pak,” tawar Kirman.

“Tetap tidak bisa Pak. Harus sesuai kesepakatan. Semua lahan pasar, masuk kawasan bisnis,” tegas Riko. “Bapak harus sadar kalau sudah jadi politisi. Dalam politik, tak ada lawan dan kawan sejati, Pak. Semua hanya soal kepentingan. Apa kepentingan Bapak pada Pak Cipto? Tak ada! Kepentingan Bapak hanya dengan kami sekarang.”

Kirman terdiam. 

“Sudahlah Pak. Biarkanlah para pedagang nantinya berusaha untuk kehidupannya masing-masing. Mereka masih punya otot. Tak usah dipikirkan,” pungkas Riko.

Kirman tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sadar, tugasnya kini hanya untuk menanadatangani berkas administrasi. Tak lebih dari itu.

Akhirnya, surat keputusan tentang penertiban (baca: penggusuran) kawasan pasar pun, ditandatanganinya. Bisikan nuraninya, diredam.

Berselang beberapa hari, warung Pak Cipto pun rata dengan tanah. Tak tersisa apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar