Keputusan
Presiden Jokowi memilih Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN) mengantikan Sutiyoso, mengagetkan sejumlah pihak. Pasalnya, Budi Gunawan
pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK, walaupun akhirnya
ia memenangkan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka di bawah palu sidang Hakim Sarpin Rizaldi yang melakukan terobosan hukum.
Polemik
keterlibatan Budi Gunawan dalam kasus korupsi, menjadi catatan hitam tersendiri
bagi pihak yang kontra terkait pengangkatannya sebagai kepala BIN. Apalagi,
terlepasnya ia dari predikat tersangka, dinilai belum cukup untuk menyatakan ia
bersih dari korupsi. Walaupun ia tidak bisa juga dipersalahkan atas kasus
korupsi, sebab belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Untuk
sementara, bisa dikatakan bahwa Budi Gunawan memiliki ketersinggungan dengan
perkara hukum terkait kejahatan luar biasa: korupsi. Masyarakat tak akan pernah
lupa atas kekisruhan yang terjadi sewaktu ia hendak diangkat sebagai Kapolri di
tengah kasus hukum yang dihadapinya. Termasuk indikasi adanya agenda sistematis
untuk melemahkan KPK atas penetapannya sebagai tersangka. Dugaan itu sulit dielakkan karena tiba-tiba saja, para pimpinan KPK diserang dengan sejumlah kasus hukum.
Keputusan
Presiden Jokowi memilih Budi Gunawan sebagai Kepala BIN akhirnya menimbulkan pertanyaan
di benak sejumlah pihak: Mengapa harus Budi Gunawan? Kenapa ada kesan kalau Budi Gunawan dipaksakan
memperoleh jabatan strategis? Apakah tak ada figur lain yang lebih layak jadi
kepala BIN, paling tidak yang belum pernah atau tak berpotensi menimbulkan
kegaduhan?
Kepentingan Politik
Mengkaji
terkait pengangkatan Kepala BIN, tentu tidak melulu menggunakan perspektif
hukum. Apalagi, pertimbangan politik cenderung lebih kuat, mengingat UU No. 17
Tahun 2011 tentang Intelijen Negara memberikan otoritas kepada presiden untuk
menentukan kepala BIN. Pasal 36 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa kepala
BIN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR.
Kewenangan
otoritatif presiden itulah –sebab DPR sekadar memberikan pertimbangan-, yang
kemudian membuka peluang masuknya kepentingan politik dalam pengangkatan Kepala
BIN. Sebagai jabatan yang sangat strategis, penentuan Kepala BIN rentan menjadi
“lahan basah” untuk kepentingan politik. Mereka yang punya masalah hukum dan
memiliki akses dalam mempengaruhi keputusan istana, tentu berharap
kepentingannya terlindungi. Dan mengendalikan BIN melalui kepalanya adalah cara
yang paling jitu.
Keputusan
presiden memilih Kepala BIN untuk melindungi kepentingan politiknya, apalagi
sekadar melindungi kepentingan politik para penyokongnya yang tak hentinya
menyampaikan bisikan gaib, tentu menyalahi hakikat keberadaan dari BIN itu
sendiri. Jika benar begitu adanya, maka nyatalah bahwa negara telah
dikendalikan oleh kepentingan politik “kekeluargaaan”, yang akan menyingkirkan kepentingan bangsa dan
negara sebagai prioritas utama.
Terkait
pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN, adanya indikasi intervensi kepentingan
politik, sulit dinafikkan. Masyarakat tahu kalau mantan ajudan Presiden Megawati
Soekarno Putri itu, punya rekam jejak yang patut dipertanyakan dalam dunia hukum.
Ada noktah hitam yang memungkinkan ia divonis bersalah atas
kasus korupsi. Ia memiliki rekening gendung yang sumbernya diduga tak wajar, selama ia menduduki jabatan penting di institusi kepolisian. Apalagi pemberentian kasusnya, hanya pada putusan praperadilan
yang belum menyentuh pokok perkara.
Jika
benar bahwa pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN, bukan atas pertimbangan
dan keputusan otoritatif presiden, melainkan pesanan dari pihak-pihak di
sekitar atas nama kepentingan atau utang budi politik, maka kepentingan negara jelas
dikorbankan. Terlebih, BIN merupakan lembaga yang harusnya netral dari
kepentingan apa pun, sebagaimana Pasal 2 huruf f UU No. 17 Tahun 2011, yang
menetapkan asas netralitas sebagai salah satu asas penyelenggaraan intelijen
negara, yang berarti BIN harus netral dalam kehidupan politik, partai, dan
golongan.
Demi Negara
BIN
adalah lembaga yang hadir sebagai pelindung negara. Kehadiran BIN sangatlah penting
dalam menyediakan informasi bagi aparatur negara, terutama jadi bahan
pertimbangan presiden dalam mengambil keputusan. Secara lugas, Pasal 5 UU No.
17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara menyatakan bahwa kewenangan intelijen
mencakup aktivitas mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis,
menafsirkan, dan menyajikan informasi intelijen yang penting bagi negara.
Stategisnya
kedudukan BIN, juga disebabkan karena ia memegang kewenangan untuk melakukan
koordinasi dengan penyelenggara intelijen negara lainnya, yaitu intelijen pada
institusi TNI, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian negara. Tak heran jika
informasi yang dihasilkan oleh BIN adalah informasi yang komprehensif dan
mendalam terkait kepentingan dari dalam dan laur negeri.
Keakuratan
informasi BIN dapat terjamin sebab UU No. 17 Tahun 2011 memberikan kewenangan
kepada BIN untuk mengakses data lembaga pemerintahan. Selain itu, BIN juga
dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga intelijen negara lain. Bahkan, BIN
diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan
penggalian informasi.
Mengingat
pentingnya kedudukan BIN dalam menyediakan informasi yang penting bagi keamanan
dan pertahanan negara, maka lembaga ini harus didudukkan pada posisi yang
netral. Kewenangan presiden dalam mengangkat kepala BIN, harus didasarkan pada
kepentingan negara, bukan kepentingan politik kelompok tertentu. Itu penting
sebab kinerja BIN, berpengaruh langsung bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ruang
lingkup kewenangan BIN yang luas, menjadi sangat berbahaya jika disalahgunakan
oleh pihak tertentu. Makanya, dibutuhkan seorang kepala BIN yang netral. Dan,
itu hanya bisa terjadi jika presiden benar-benar netral dalam menetapkan Kelapa
BIN, demi kepentingan bangsa dan negara. Sungguh nahas jika BIN dikepalai oleh
seseorang yang punya atau paling tidak berpotensi menorehkan catatan hitam di
bidang hukum. BIN akan rentan dijadikan tameng dari jeratan hukum. Padahal, BIN
adalah lembaga pendukung yang penting bagi penegakan hukum.
Pemilihan
Budi Gunawan sebagai Kepala BIN oleh Presiden, semoga saja tidak menimbulkan
kekisruhan di tengah masyarakat. Apalagi membuat muruah Presiden menjadi runtuh
akibat, hanya karena kepentingan politik di sekitarnya. Kalau pun masyarakat
diam-diam saja sebab sadar tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan keputusan
presiden, maka cukuplah ada keyakinan bahwa pemilihan Budi Gunawan benar-benar
atas pertimbangan matang Presiden sendiri. Jangan sampailah di belakang hari,
kinerja BIN buruk karena disetir untuk menjaga kepentingan politik tertentu,
lalu Presiden menjadi sosok yang dipersalahkan. Negara jatuh. Semoga tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar