Minggu, 04 September 2016

Menjaga Badan Intelijen Negara

Keputusan Presiden Jokowi memilih Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) mengantikan Sutiyoso, mengagetkan sejumlah pihak. Pasalnya, Budi Gunawan pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK, walaupun akhirnya ia memenangkan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka di bawah palu sidang Hakim Sarpin Rizaldi yang melakukan terobosan hukum.
 
Polemik keterlibatan Budi Gunawan dalam kasus korupsi, menjadi catatan hitam tersendiri bagi pihak yang kontra terkait pengangkatannya sebagai kepala BIN. Apalagi, terlepasnya ia dari predikat tersangka, dinilai belum cukup untuk menyatakan ia bersih dari korupsi. Walaupun ia tidak bisa juga dipersalahkan atas kasus korupsi, sebab belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Untuk sementara, bisa dikatakan bahwa Budi Gunawan memiliki ketersinggungan dengan perkara hukum terkait kejahatan luar biasa: korupsi. Masyarakat tak akan pernah lupa atas kekisruhan yang terjadi sewaktu ia hendak diangkat sebagai Kapolri di tengah kasus hukum yang dihadapinya. Termasuk indikasi adanya agenda sistematis untuk melemahkan KPK atas penetapannya sebagai tersangka. Dugaan itu sulit dielakkan karena tiba-tiba saja, para pimpinan KPK diserang dengan sejumlah kasus hukum.

Keputusan Presiden Jokowi memilih Budi Gunawan sebagai Kepala BIN akhirnya menimbulkan pertanyaan di benak sejumlah pihak: Mengapa harus Budi Gunawan? Kenapa  ada kesan kalau Budi Gunawan dipaksakan memperoleh jabatan strategis? Apakah tak ada figur lain yang lebih layak jadi kepala BIN, paling tidak yang belum pernah atau tak berpotensi menimbulkan kegaduhan?

Kepentingan Politik

Mengkaji terkait pengangkatan Kepala BIN, tentu tidak melulu menggunakan perspektif hukum. Apalagi, pertimbangan politik cenderung lebih kuat, mengingat UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara memberikan otoritas kepada presiden untuk menentukan kepala BIN. Pasal 36 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa kepala BIN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR.

Kewenangan otoritatif presiden itulah –sebab DPR sekadar memberikan pertimbangan-, yang kemudian membuka peluang masuknya kepentingan politik dalam pengangkatan Kepala BIN. Sebagai jabatan yang sangat strategis, penentuan Kepala BIN rentan menjadi “lahan basah” untuk kepentingan politik. Mereka yang punya masalah hukum dan memiliki akses dalam mempengaruhi keputusan istana, tentu berharap kepentingannya terlindungi. Dan mengendalikan BIN melalui kepalanya adalah cara yang paling jitu.

Keputusan presiden memilih Kepala BIN untuk melindungi kepentingan politiknya, apalagi sekadar melindungi kepentingan politik para penyokongnya yang tak hentinya menyampaikan bisikan gaib, tentu menyalahi hakikat keberadaan dari BIN itu sendiri. Jika benar begitu adanya, maka nyatalah bahwa negara telah dikendalikan oleh kepentingan politik “kekeluargaaan”, yang  akan menyingkirkan kepentingan bangsa dan negara sebagai prioritas utama.

Terkait pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN, adanya indikasi intervensi kepentingan politik, sulit dinafikkan. Masyarakat tahu kalau mantan ajudan Presiden Megawati Soekarno Putri itu, punya rekam jejak yang patut dipertanyakan dalam dunia hukum. Ada noktah hitam yang memungkinkan ia divonis bersalah atas kasus korupsi. Ia memiliki rekening gendung yang sumbernya diduga tak wajar, selama ia menduduki jabatan penting di institusi kepolisian. Apalagi pemberentian kasusnya, hanya pada putusan praperadilan yang belum menyentuh pokok perkara.

Jika benar bahwa pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN, bukan atas pertimbangan dan keputusan otoritatif presiden, melainkan pesanan dari pihak-pihak di sekitar atas nama kepentingan atau utang budi politik, maka kepentingan negara jelas dikorbankan. Terlebih, BIN merupakan lembaga yang harusnya netral dari kepentingan apa pun, sebagaimana Pasal 2 huruf f UU No. 17 Tahun 2011, yang menetapkan asas netralitas sebagai salah satu asas penyelenggaraan intelijen negara, yang berarti BIN harus netral dalam kehidupan politik, partai, dan golongan.

Demi Negara

BIN adalah lembaga yang hadir sebagai pelindung negara. Kehadiran BIN sangatlah penting dalam menyediakan informasi bagi aparatur negara, terutama jadi bahan pertimbangan presiden dalam mengambil keputusan. Secara lugas, Pasal 5 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara menyatakan bahwa kewenangan intelijen mencakup aktivitas mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan informasi intelijen yang penting bagi negara.

Stategisnya kedudukan BIN, juga disebabkan karena ia memegang kewenangan untuk melakukan koordinasi dengan penyelenggara intelijen negara lainnya, yaitu intelijen pada institusi TNI, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian negara. Tak heran jika informasi yang dihasilkan oleh BIN adalah informasi yang komprehensif dan mendalam terkait kepentingan dari dalam dan laur negeri. 

Keakuratan informasi BIN dapat terjamin sebab UU No. 17 Tahun 2011 memberikan kewenangan kepada BIN untuk mengakses data lembaga pemerintahan. Selain itu, BIN juga dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga intelijen negara lain. Bahkan, BIN diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi.

Mengingat pentingnya kedudukan BIN dalam menyediakan informasi yang penting bagi keamanan dan pertahanan negara, maka lembaga ini harus didudukkan pada posisi yang netral. Kewenangan presiden dalam mengangkat kepala BIN, harus didasarkan pada kepentingan negara, bukan kepentingan politik kelompok tertentu. Itu penting sebab kinerja BIN, berpengaruh langsung bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ruang lingkup kewenangan BIN yang luas, menjadi sangat berbahaya jika disalahgunakan oleh pihak tertentu. Makanya, dibutuhkan seorang kepala BIN yang netral. Dan, itu hanya bisa terjadi jika presiden benar-benar netral dalam menetapkan Kelapa BIN, demi kepentingan bangsa dan negara. Sungguh nahas jika BIN dikepalai oleh seseorang yang punya atau paling tidak berpotensi menorehkan catatan hitam di bidang hukum. BIN akan rentan dijadikan tameng dari jeratan hukum. Padahal, BIN adalah lembaga pendukung yang penting bagi penegakan hukum.

Pemilihan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN oleh Presiden, semoga saja tidak menimbulkan kekisruhan di tengah masyarakat. Apalagi membuat muruah Presiden menjadi runtuh akibat, hanya karena kepentingan politik di sekitarnya. Kalau pun masyarakat diam-diam saja sebab sadar tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan keputusan presiden, maka cukuplah ada keyakinan bahwa pemilihan Budi Gunawan benar-benar atas pertimbangan matang Presiden sendiri. Jangan sampailah di belakang hari, kinerja BIN buruk karena disetir untuk menjaga kepentingan politik tertentu, lalu Presiden menjadi sosok yang dipersalahkan. Negara jatuh. Semoga tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar