Setiap
orang selalu berusaha menegaskan identitasnya. Tak seorang pun sudi dilabeli predikat
“setengah-setengah”. Misalnya lelaki normal, pasti protes kala dicap lelaki
“setengah matang”; antara pria dan wanita. Pada banyak kasus, setiap orang akan
berdiri di satu titik tertentu demi menegaskan posisinya. Sikap itu akan
membuat jelas di mana ia berpihak, dan siapa yang tak sepihak dengannya.
Implikasinya, muncullah kondisi kubu-kubuan, antara pro ataupun kontra.
Tak
ada yang salah dengan penegasan identitas. Masalah muncul jika terlalu fanatik,
hingga tak menghargai pihak lain yang berbeda. Dampaknya bisa jadi fatal,
seperti menganggap orang di luar dari pihaknya adalah musuh yang seharusnya
ditiadakan. Orang yang tak sepandangan atau sekubu dengannya, dianggap tidak
memiliki nilai kebenaran sedikit pun. Ego kelompok semacam itu, membentuk pola
pikir bahwa selain pihaknya, adalah salah.
Pada
kondisi yang melihat segala sesuatu secara hitam-putih, tak pelak, pertentangan
batin, pikiran, verbal, bahkan fisik, tak bisa dielakkan. Bermuncullah orang-orang
yang buta dalam melihat konsepsi nilai kebaikan untuk memecahkan masalah dalam satu
fenomena tertentu. Setiap persoalan akan mendapat justifikasi dan konsep penyelesaian
dari pandangan satu pihak saja, yang sifatnya tertutup. Dengan kata lain, tak
boleh mendengarkan, apalagi menuruti pandangan pihak lain.
Jika
seseorang atau golongan terlalu fanatik akan identitasnya, tak pernah melakukan
autokritik, bahkan lebih suka mengorek kejelekan pihak lainnya demi memuaskan egonya,
maka yang terjadi adalah melebarnya jurang perbedaan dan butanya hati dalam
melihat persamaan. Pola pikir yang tertutup seperti itu, akan berujung pada
klaim nilai-nilai kebenaran, seakan kebenaran hanya milik satu pihak. Padahal
bisa jadi, dalam menyikapi fenomena tertentu, pandangan satu pihak itu
sebenarnya salah, dan pihak lain benar. Bahkan bisa jadi kedua pihak sama-sama
benar, ataukah sama-sama salah.
Fanatisme
golongan, sebagaimana penjelasan di atas, menjadi salah satu faktor terjadinya
kegaduhan di mana-mana. Tidak hanya pada tataran perbedaan pandangan
antarindividu berdasarkan doktrin organisasi dalam lingkup kecil, tetapi juga
mencakup ruang kenegaraan, atau bahkan keagamaan. Seperti perbedaan terkait ideologi
kenegaraan atau paham keagamaan tertentu. Akan sangat berbahaya jika diikuti
dengan penghukuman “benar” di satu pihak, dan “salah” pada paham yang lain.
Apalagi, dalam menyikapi fenomena kehidupan manusia yang kompleks, sikap
terbaik seharusnya tak dirumuskan berdasarkan pertentangan paham secara keras.
Sebab bisa jadi, perpaduan pendapat kedua pahamlah yang menghasilkan keputusan
terbaik.
Contoh
kecilnya, saat ini, ideologi kapitalis dan sosialis dalam bidang ekonomi, masih
sering dipertentangkan. Solusinya, pengaturan perekonomian di dunia modern yang
berbasis persaingan bebas, dikawinkan dengan pandangan sosialis yang menuntut
tanggung jawab pribadi terhadap kemaslahatan hidup bersama. Akhirnya muncullah
konsep CSR. Perpaduan paham itu dalam menyikapi fenomena sosial, merupakan
contoh perumusan jalan tengah yang apik.
Pertantangan-pertentangan
sebagai wujud dari fanatisme pandangan, jika diamati dalam seluruh aspek
kehidupan, sanagatlah banyak dan beragam. Perbedaan semacam itu tentu tak dapat
dilenyapkan. Yang bisa dilakukan adalah mengadakan kolaborasi pandangan antara
kedua belah pihak yang berseberangan. Mencari jalan tengah agar perbedaan tak
berujung pada pertikaian, tetapi kesepakatan yang mendamaikan.
Sudah
saatnya lebih jeli melihat persamaan daripada mencari-cari perbedaan. Terlebih,
dalam menghadapi fenomena kehidupan yang kompleks, predikat benar dan salah
tidak lagi patut dianggap hak otonom dan monopoli pihak tertentu. Perpaduan
pandangan menjadi sangat penting. Apalagi, kebenaran dan kebaikan tak menurut
pada rumus matematika, sehingga dalam hal yang sepintas dianggap buruk
sekalipun, ada nilai-nilai kebaikan yang bersemayam di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar