Selasa, 08 Maret 2016

Jalan Tengah

Setiap orang selalu berusaha menegaskan identitasnya. Tak seorang pun sudi dilabeli predikat “setengah-setengah”. Misalnya lelaki normal, pasti protes kala dicap lelaki “setengah matang”; antara pria dan wanita. Pada banyak kasus, setiap orang akan berdiri di satu titik tertentu demi menegaskan posisinya. Sikap itu akan membuat jelas di mana ia berpihak, dan siapa yang tak sepihak dengannya. Implikasinya, muncullah kondisi kubu-kubuan, antara pro ataupun kontra.

Tak ada yang salah dengan penegasan identitas. Masalah muncul jika terlalu fanatik, hingga tak menghargai pihak lain yang berbeda. Dampaknya bisa jadi fatal, seperti menganggap orang di luar dari pihaknya adalah musuh yang seharusnya ditiadakan. Orang yang tak sepandangan atau sekubu dengannya, dianggap tidak memiliki nilai kebenaran sedikit pun. Ego kelompok semacam itu, membentuk pola pikir bahwa selain pihaknya, adalah salah.

Pada kondisi yang melihat segala sesuatu secara hitam-putih, tak pelak, pertentangan batin, pikiran, verbal, bahkan fisik, tak bisa dielakkan. Bermuncullah orang-orang yang buta dalam melihat konsepsi nilai kebaikan untuk memecahkan masalah dalam satu fenomena tertentu. Setiap persoalan akan mendapat justifikasi dan konsep penyelesaian dari pandangan satu pihak saja, yang sifatnya tertutup. Dengan kata lain, tak boleh mendengarkan, apalagi menuruti pandangan pihak lain.

Jika seseorang atau golongan terlalu fanatik akan identitasnya, tak pernah melakukan autokritik, bahkan lebih suka mengorek kejelekan pihak lainnya demi memuaskan egonya, maka yang terjadi adalah melebarnya jurang perbedaan dan butanya hati dalam melihat persamaan. Pola pikir yang tertutup seperti itu, akan berujung pada klaim nilai-nilai kebenaran, seakan kebenaran hanya milik satu pihak. Padahal bisa jadi, dalam menyikapi fenomena tertentu, pandangan satu pihak itu sebenarnya salah, dan pihak lain benar. Bahkan bisa jadi kedua pihak sama-sama benar, ataukah sama-sama salah.

Fanatisme golongan, sebagaimana penjelasan di atas, menjadi salah satu faktor terjadinya kegaduhan di mana-mana. Tidak hanya pada tataran perbedaan pandangan antarindividu berdasarkan doktrin organisasi dalam lingkup kecil, tetapi juga mencakup ruang kenegaraan, atau bahkan keagamaan. Seperti perbedaan terkait ideologi kenegaraan atau paham keagamaan tertentu. Akan sangat berbahaya jika diikuti dengan penghukuman “benar” di satu pihak, dan “salah” pada paham yang lain. Apalagi, dalam menyikapi fenomena kehidupan manusia yang kompleks, sikap terbaik seharusnya tak dirumuskan berdasarkan pertentangan paham secara keras. Sebab bisa jadi, perpaduan pendapat kedua pahamlah yang menghasilkan keputusan terbaik. 

Contoh kecilnya, saat ini, ideologi kapitalis dan sosialis dalam bidang ekonomi, masih sering dipertentangkan. Solusinya, pengaturan perekonomian di dunia modern yang berbasis persaingan bebas, dikawinkan dengan pandangan sosialis yang menuntut tanggung jawab pribadi terhadap kemaslahatan hidup bersama. Akhirnya muncullah konsep CSR. Perpaduan paham itu dalam menyikapi fenomena sosial, merupakan contoh perumusan jalan tengah yang apik.

Pertantangan-pertentangan sebagai wujud dari fanatisme pandangan, jika diamati dalam seluruh aspek kehidupan, sanagatlah banyak dan beragam. Perbedaan semacam itu tentu tak dapat dilenyapkan. Yang bisa dilakukan adalah mengadakan kolaborasi pandangan antara kedua belah pihak yang berseberangan. Mencari jalan tengah agar perbedaan tak berujung pada pertikaian, tetapi kesepakatan yang mendamaikan. 

Sudah saatnya lebih jeli melihat persamaan daripada mencari-cari perbedaan. Terlebih, dalam menghadapi fenomena kehidupan yang kompleks, predikat benar dan salah tidak lagi patut dianggap hak otonom dan monopoli pihak tertentu. Perpaduan pandangan menjadi sangat penting. Apalagi, kebenaran dan kebaikan tak menurut pada rumus matematika, sehingga dalam hal yang sepintas dianggap buruk sekalipun, ada nilai-nilai kebaikan yang bersemayam di dalamnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar