Persoalan
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) masih menjadi polemik di media
massa. Pemicunya adalah maraknya kekerasan seksual terhadap anak, pelarangan
diskusi tentang LGBT di sejumlah kampus, hingga terendusnya gelontoran dana sebesar
Rp. 107,8 miliar dari UNDP (United
Nations Development Programme) untuk kampanye LGBT di Indonesia dan tiga
negara Asia lainnya.
Permasalahan
LGBT akhirnya menimbulkan pertentangan pendapat, antara pihak pro dan kontra.
Pendukung LGBT menggunakan dalil HAM (Hak Asasi Manusia), sedangkan yang
menolak menggunakan dalil moral maupun agama. Kaum ataupun simpatisan LGBT
menyatakan bahwa orientasi seksual adalah HAM. Di sisi lain, pihak kontra,
terutama kaum agamais, menilai LGBT sebagai penyimpangan dari fitrah manusia,
dan tidak masuk dalam konsepsi HAM.
Dijadikannya
konsep HAM sebagai dasar argumentasi para simpatisan LGBT, tentu tidak bisa
dihindari. Kaum LGBT adalah manusia pada umumnya, yang tentu punya hak-hak
mendasar yang perlu dihormati. Terlebih, Indonesia dalam konstitusinya,
ditegaskan sebagai negara hukum, yang tujuan utamanya tentu untuk melindungi
HAM yang berbasis pada hak individual. Aturan hukum pun dihadirkan untuk
menjamin terpenuhinya HAM, terutama melindunginya dari pengabaian ataupun
pelanggaran oleh kekuasaan negara. Kaum LGBT yang nota bene kaum minoritas, tentu
membutuhkan perlindungan hukum.
Lalu apakah LGBT masuk dalam konsepsi
HAM? Menjawab persoalan ini tentu tidak mudah. Untuk itu, perlu memberikan
limitasi tentang bagaimana sebenarnya konsepsi HAM dalam negara hukum
Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM
didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Definisi di atas dapat dijadikan rujukan
dalam menelaah apakah LGBT merupakan HAM. Frasa “melekat pada hakikat manusia”
tak lain menegaskan bahwa HAM tidak boleh bertentang dengan fitrah manusia. Selanjutnya,
kata “anugerah-Nya”, menyiratkan makna bahwa Tuhan yang Mahasempurna
menciptakan manusia secara sebaik-baiknya, termasuk menciptakannya secara
berpasang-pasangan, antara laki-laki dan perempuan. Ditambah lagi frasa “demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”, yang berarti bahwa
konsepsi HAM bertujuan untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya,
sebagaimana kehendak Tuhan. Dengan menggunakan tafsir tekstual, maka
berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM, tidak berdasar jika LGBT dianggap
sebagai HAM.
Selanjutnya, muncul permasalahan
lainnya, yaitu terkait konsepsi HAM secara konteksual, bahwasanya segala
tidak-tanduk individu dianggang HAM selama tak merugikan atau mengganggu hak
orang lain. Merujuk pada konsepsi itu, orang-orang dengan orientasi seksual
yang berbeda (baca: kaum LGBT), berhak untuk menyalurkan hasratnya, bahkan
membentuk komunitas/organisasi LGBT, selama interaksinya dilakukan tanpa ada
paksaan. Jika begitu, apakah memang LGBT selayaknya diberikan hak bertindak
sebebas-bebasnya, selama tak mengganggu hak orang lain?
Pembatasan
kebebasan individu dalam pemenuhan HAM-nya, termasuk kaum LGBT, selayaknya
tidak hanya berpatokan pada ada tidaknya hak individu orang lain yang dilanggar
secara nyata. Melainkan juga melihat, apakah tindakan seseorang bersesuaian
atau tidak dengan kewajiban dasarnya sebagai manusia. Penting diingat bahwa bersamaan
dengan HAM, juga ada kewajiban dasar manusia. Tidak terlaksananya kewajiban
dasar itu, akan membuat perlindungan dan penegakan HAM bermasalah.
Mengingat,
dalam banyak kasus, termasuk fenomena LGBT, memang sulit menemukan adanya
ketersinggungan hak orang lain, apalagi jika perilaku kaum LGBT dilakukan tanpa
dasar paksaan. Meski begitu, pelanggaran oleh kaum LGBT bukan berarti tak ada.
Palanggaran itu terjadi pada hak-hak kehidupan bersama, yaitu rusaknya tatanan
sosial. Tindak-tanduk LGBT yang tidak sejalan dengan agama, moral, dan etika,
jelas bertentangan dengan kewajiban dasar manusia, serta melanggar hak
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Konsepsi semacam ini, jelas dianut juga
oleh UU No. 39/1999 tentang HAM.
Terkait
hak berkumpul dan berserikat, tentu tak bisa dipungkiri adanya jaminan konstitusionalnya
dalam UUD NRI Tahun 1945. Maka, melanggar kebebasan orang untuk membentuk
perkumpulan, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstutusional. Meski
begitu, bukan berarti, kebebesan berserikat itu bebas sebebas-bebasnya. Negara,
dalam hal ini pemerintah, tetap memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa
segala macam perkumpulan individu, dibentuk atas tujuan mulia. Perkumpulan itu tidak
boleh bertentangan dengan kewajiban dasar manusia serta hak individu atau
masyarakat, hukum, moral, dan kesusilaan.
Perkumpulan
kaum LGBT, dalam bentuk organisasi atau komunitas, tentu tak selayaknya
dilegalkan. Hal itu karena dasar pembentukan komunitas LGBT, pada dasarnya,
adalah kesamaan orientasi seksual yang menyimpang, yang berbeda dari mayoritas
manusia yang sebatas heterosekual. Merujuk pada dasar dan tujuan pembentukannya,
komunitas LGBT jelas bertentangan dengan hukum, moral, kesusilaan. Melegalkan perkumpulan
LGBT sama halnya melegalkan perkumpulan pecandu narkoba, “pria sewaan”, atau penjudi.
Perkumpulan semacam itu, meski melibatkan individu tanpa paksaan, tapi
jelas merusak tatanan dan nilai-nilai kehidupan sosial.
Secara
ringkas, tanpa mempersoalkan ada tidaknya sumbangsih positif perkumpulan LGBT
dalam kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa pelegalannya tidak berdasar dan
tidak dapat dibenarkan. Alasannya sebab dapat menimbulkan dampak negatif secara
sosial. Belum lagi jika dikaitkan dengan sejumlah fakta bahwa selama ini,
kaum-kaum LGBT gencar melakukan kampanye di media sosial dengan menyuguhkan
gambar-gambar tak senonoh. Dipastikan, kampanyenya akan semakin semarak jika
nantinya LGBT diakui sebagai HAM, dilegalkan, hingga diberikan hak untuk
berserikat secara terbuka.
Berangkat
dari uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa mendasarkan argumentasi pada
konsepsi HAM untuk mendukung kaum LGBT, tidaklah tepat, baik untuk perilakunya
secara individual, intrapersonal, maupun dalam membentuk perkumpulan. LGBT
adalah sebuah penyimpangan dari kodrat dan fitrah manusia. Manusia sejatinya
diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu pria dan wanita. Konsepsi itu
jelas dianut oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut
Pasal 1 undang-undang tersebut, hanya antara pria dan wanita. Dengan begitu, perkawinan
sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia.
Keberadaaan
LGBT sebagai fenomena, memang tak bisa dihindari. Meski begitu, mendukung, atau
setidaknya membenarkan tindakan menyimpang tersebut adalah sebuah keliruan. Melegalkan
segala tindak-tanduk yang didasari paham LGBT, tidak boleh terjadi di negara
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keberadaban. Negara ini, dengan
instrumen hukumnya, harus menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM, bukan malah
sebaliknya. Hukum tak boleh lepas dari nilai-nilai keberadaban. Produk hukum
berupa peraturan perundang-undangan, tidak bersifat otonom, tetapi senantiasa
bersesuaian dengan akal sehat dan fitrah manusia. Hukum ada untuk melindungi
harkat dan martabat kemanusiaan.
Lalu
bagaimana menyikapi kaum LGBT? Pada dasarnya mudah saja, sebab yang menjadi
titik permasalahan hanyalah pada perbedaan orientasi seksual, dan turunannya. Aspek
itulah yang perlu diwanti-wanti. Namun pada persoalan lain, yaitu bahwa
penganut LGBT adalah manusia dan warga negara seperti pada umumnya, maka sama
sekali tidak ada alasan untuk membolehkan diskriminasi terhadap mereka,
sebagaimana perintah Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hak-hak mereka,
semisal hak untuk hidup, bebas dari siksaan dan rasa takut, kebebasan turut
dalam organisasi sosial, maupun hak atas pekerjaan, harus dijamin perlindungan
dan pemenuhannya.
Mengingat
dampak negatif LGBT, maka seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah, harus
proaktif dalam memberikan proteksi kepada segenap warga negara atas penyebaran “virus”
menyimpang LGBT. Langkah itu harus dibarengi bimbingan hingga pengobatan kepada
para kaum LGBT agar bisa kembali pada orientasi seksual yang semestinya. LGBT
adalah penyimpangan, maka pasti ada cara untuk mengembalikannya pada jalan yang
semestinya, baik dengan pendekatan psikologis maupun biologis. Upaya tersebut
harus dilakukan secara manusiawi, bukan dengan cara-cara kebencian dan
kekerasan. Sebab, cinta yang sesungguhnya adalah ketika mencintai keburukan
untuk mengajaknya kembali pada kebaikan, bukan malah memusuhinya sehingga tertutup
kemungkinan baginya kembali pada jalan yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar