Selasa, 08 Maret 2016

Salamku Kepada Pemilikmu

Aku tak pernah merencanakan untuk bertemu denganmu, apalagi menaruh perasaan tertarik. Semua terjadi karena keberengsekanmu saja. Kau melintas di depanku dengan penuh pesona, hingga bermunculanlah tanya tak berujung di benakku. Parahnya, kau berhenti tepat di depanku, duduk, dan menatap ke arahku. Kau terlihat manis dan bersih. Pastinya, kau keturunan Turki. Aku jadi tertarik ingin menyentuhmu. Tapi itu pasti diangggap kurang ajar jika kulakukan. Jadi tetaplah di posisimu. Biar di sini, kupandangi binar matamu yang seakan menyayat-nyayat jantungku. Akan kusorot setiap kedipan lembutmu yang sangat menggemaskan. 
 
Tapi lama-lama memendam perasaan, aku jadi tak tahan juga. Ingin kutahu tentangmu lebih dalam. Rasa penasaran menuntutku agar mendekat kepadamu. Tapi kupikir, jika kulakukan, bisa jadi membuatmu ketakutan, lalu pergi. Maka, dalam waktu bergulir, aku ingin kita masih tetap di posisi masing-masing. Saling berhadapan di dua bangku taman yang berjaran 12 meter. Cara aman itu kupilih, sambil berharap kau yang menghampiriku. Jika pun tidak, sampai nanti, masih lebih baik begini, saat kita bisa saling melirik dan berbagi kesan. Itu sudah membuatku cukup terhibur. Dengan begitu, dalam detik demi detik, mata kita telah berbicara banyak hal.

Tujuh menit berselang, kau tetap dengan sikap yang sama, melirikku dengan penuh tanda tanya. Sepertinya itu tanda kekesalanmu, sebab aku tak kunjung menghampirimu. Aku menjadi gerah sendiri jika terus menebak-nebak. Aku ingin kepastian. Hasrat lalu menopang badanku. Aku pun melangkah menuju ke arahmu. Sial! Baru sekali melangkah, kau malah berjalan membelakangiku. Pergi menjauh. Akhirnya kuputuskan untuk duduk kembali. Tapi keberengsekan kau tampakkan lagi. Kau kembali ke posisi awalmu. Mungkin harus begini saja.

Sepuluh menit berselang, kala kutekadkan untuk menyorot buku bacaanku dan mengabaikanmu, kau malah menggoda. Menuturkan kata dengan suara manjamu. Aku tak paham artinya. Tapi sepertinya, suara itu kau tujukan ke arahku. Perhatianku jadi teralihkan lagi. Sampai akhirnya, tanpa sungkan, kau melangkah menuju bangkuku. Semakin kau mendekat, semakin sorot matamu melenceng dari mataku. Kau malah memandang sepasang bola mata di sampingku. Betapa mengecewakannya. Mungkin sedari tadi, aku saja yang terlalu merasa kau memerhatikanku, padahal sama sekali tidak.

Tanpa rasa kasihan, di jarak tiga meter dari bangkuku, kau duduk dan berdiam diri. Di posisi dudukmu yang sok manis itu, tentu saja siapa pun ingin merenggutmu, lalu membawamu ke mana saja. Tapi sepertinya pejantan di sampingku yang kau inginkan. Kalian memang sebangsa dan serasi. Sigap saja, teman baikku itu menghampirimu. Kalian akhirnya berjalan beriringan. Menjauh dari titik di mana aku menatap kalian dengan perasaan cemburu. Kini aku benar-benar merasa sendiri. Tak hanya karena kepergiamu yang memikat hatiku, tapi juga karena kau merenggut teman baikku. Tapi sudahlah. Aku tak mungkin mengekang hasrat kalian untuk saling berbagi kasih. Pergilah berduaan!

Masih di tempatku saat ini, aku mencoba mengabaikan bayang-bayang dua jiwa yang telah berlalu, kalian. Kini aku bertanya-tanya, tentang bagaimana perasaan seseorang wanita di bangku depanku. Kami senasib, sama-sama ditinggal pergi teman demi pujaan hati. Nanti, saat lembar bacaannya telah kelar, lalu menyadari apa yang terjadi, aku yakin dia juga merasa kesepian. Apalagi teman baiknya pergi saja tanpa pamit. Petakanya bisa berlanjut jika besok-besok, si teman lebih asyik berimajinasi tentang kekasih daripada menemaninya. Terus terang, aku prihatin padanya. 

Kesendiriannya dan kesendirianku bukanlah sebuah akhir. Ini bisa jadi awal dari sebuah kebersamaan baru, atas nama pertemanan atau lebih dari itu. Aku berharap, nanti, ia tak mempermasalahkan temannya itu menggandeng tamanku. Bukankah itu membuka kemungkinan kami bisa pergi bersama juga? 

Dari kejauhan, kulihat, ia mulai gelisah. Matanya sepertinya mulai kelelahan membaca lembaran buku yang masih sampai pertengahan. Kini ia mulai sadar telah ditinggalkan. Segala arah disorotnya. Mencoba mencari ke mana jejak temannya. Ia pun memandang ke arahku. Aku segera memalingkan wajah darinya. Pura-pura saja kusorot bukuku. Aku takut. Sepasang matanya lebih menyayat ketimbang mata temannya, si betina. Aku menyerah jika harus bersetatap dengannya. 

Situasi sekarang ternyata lebih mencekam. Kuharap temannya segera kembali sebelum ia menginterogasiku. Tapi sudah terlambat. Suara tapakan kakinya terdengar menuju ke arahku. Ia sepertinya menyadari temannya pergi bersama temanku. Sekarang ia berdiri di depanku. Jantungku berdegup kencang. Aku tak berani menatap ke depan. Takut bola mataku terbakar tatapannya.

“Permisi,” sapanya.

Aku mencoba tak menggubrisnya. Jika ia menyahut untuk kedua kalinya, akan kubalas.

Berselang sedetik, tanpa balasku, ia lalu bergegas ke arah kananku. Aku kini berani menengadah. Kulihat ia menghampiri dua jiwa yang sedang kasmaran. Kehadirannya tentu saja mengusik suasana romantis sepasang teman egois itu. Mereka pun merengek. Tapi sepertinya, kebersamaan mereka harus berakhir. Wanita itu memaksa teman betinanya untuk segera mengucapkan kata perpisahan.

Temanku sepertinya tak menerima kekasihnya pergi secepat itu. Ia mencoba memberikan perlawanan. Mengoceh sana-sini. Menegaskan bahwa waktu berdua mereka belum saatnya berakhir. Aku jadi khawatir temanku berbuat onar. Meski harus menanggung rasa malu, kuhampiri mereka segera.

“Maafkan temanku ini,” tuturku padanya. “Mungkin mereka telah lama menahan kesendirian.”

“Tak mengapa,” balas gadis itu, lembut. “Sebenarnya aku tak ingin mengganggu mereka. Tapi aku harus pulang. Langit mendung. Sepertinya hujan akan segera turun.”

Kulirik wajahnya sepintas. Tak sampai menatap matanya. “Seharusnya begitu. Setidaknya mereka sudah berkenalan.”

“Ya. Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu. Sampai jumpa,” tuturnya, kemudian bergegas berlalu. Dia melangkah cepat, sambil menggendong teman betinanya. Detik demi detik, mereka semakin menjauh di balik payung. 

Bias air hujan sebesar bulu kucing pun mulai berguguran. Suasana alam jadi sedingin perasaanku.
“Sampai jumpa,” balasku membatin. 

Kini kami bersama lagi. Dua jiwa yang kesepian. Tapi temanku lebih beruntung. Ia sempat berbincang panjang lebar dengan betina pujaannya. Sedangkan aku, masih dengan kebiasaanku yang tak punya nyali berhadapan dengan lawan jenis. Jangankan bertanya nama, menatapnya saja aku gugup setengah mati. 

Dari kejauhan, aku masih sempat menatap sepasang mata si betina dan bergumam kepadanya: Anggora, namaku Izan. Sampaikan salamku kepada pemilikmu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar