Aku
tak pernah merencanakan untuk bertemu denganmu, apalagi menaruh perasaan
tertarik. Semua terjadi karena keberengsekanmu saja. Kau melintas di depanku
dengan penuh pesona, hingga bermunculanlah tanya tak berujung di benakku.
Parahnya, kau berhenti tepat di depanku, duduk, dan menatap ke arahku. Kau
terlihat manis dan bersih. Pastinya, kau keturunan Turki. Aku jadi tertarik ingin
menyentuhmu. Tapi itu pasti diangggap kurang ajar jika kulakukan. Jadi tetaplah
di posisimu. Biar di sini, kupandangi binar matamu yang seakan
menyayat-nyayat jantungku. Akan kusorot setiap kedipan lembutmu yang sangat menggemaskan.
Tapi lama-lama
memendam perasaan, aku jadi tak tahan juga. Ingin kutahu tentangmu lebih dalam. Rasa
penasaran menuntutku agar mendekat kepadamu. Tapi kupikir, jika kulakukan, bisa
jadi membuatmu ketakutan, lalu pergi. Maka, dalam waktu bergulir, aku ingin
kita masih tetap di posisi masing-masing. Saling berhadapan di dua bangku taman
yang berjaran 12 meter. Cara aman itu kupilih, sambil berharap kau yang
menghampiriku. Jika pun tidak, sampai nanti, masih lebih baik begini, saat kita
bisa saling melirik dan berbagi kesan. Itu sudah membuatku cukup terhibur. Dengan
begitu, dalam detik demi detik, mata kita telah berbicara banyak hal.
Tujuh menit berselang, kau tetap dengan sikap yang sama, melirikku dengan penuh tanda
tanya. Sepertinya itu tanda kekesalanmu, sebab aku tak kunjung menghampirimu.
Aku menjadi gerah sendiri jika terus menebak-nebak. Aku ingin kepastian. Hasrat
lalu menopang badanku. Aku pun melangkah menuju ke arahmu. Sial! Baru sekali melangkah, kau malah
berjalan membelakangiku. Pergi menjauh. Akhirnya kuputuskan untuk duduk
kembali. Tapi keberengsekan kau tampakkan lagi. Kau kembali ke posisi awalmu.
Mungkin harus begini saja.
Sepuluh
menit berselang, kala kutekadkan untuk menyorot buku bacaanku dan
mengabaikanmu, kau malah menggoda. Menuturkan kata dengan suara manjamu. Aku
tak paham artinya. Tapi sepertinya, suara itu kau tujukan ke arahku.
Perhatianku jadi teralihkan lagi. Sampai akhirnya, tanpa sungkan, kau melangkah
menuju bangkuku. Semakin kau mendekat, semakin sorot matamu melenceng dari
mataku. Kau malah memandang sepasang bola mata di sampingku. Betapa mengecewakannya. Mungkin
sedari tadi, aku saja yang terlalu merasa kau memerhatikanku, padahal sama sekali tidak.
Tanpa
rasa kasihan, di jarak tiga meter dari bangkuku, kau duduk dan berdiam diri. Di posisi
dudukmu yang sok manis itu, tentu saja siapa pun ingin merenggutmu, lalu membawamu
ke mana saja. Tapi sepertinya pejantan di sampingku yang kau inginkan. Kalian memang sebangsa dan serasi. Sigap
saja, teman baikku itu menghampirimu. Kalian akhirnya berjalan beriringan.
Menjauh dari titik di mana aku menatap kalian dengan perasaan cemburu. Kini aku
benar-benar merasa sendiri. Tak hanya karena kepergiamu yang memikat hatiku,
tapi juga karena kau merenggut teman baikku. Tapi sudahlah. Aku tak mungkin
mengekang hasrat kalian untuk saling berbagi kasih. Pergilah berduaan!
Masih
di tempatku saat ini, aku mencoba mengabaikan bayang-bayang dua jiwa yang telah
berlalu, kalian. Kini aku bertanya-tanya, tentang bagaimana perasaan seseorang wanita di
bangku depanku. Kami senasib, sama-sama ditinggal pergi teman demi pujaan hati. Nanti,
saat lembar bacaannya telah kelar, lalu menyadari apa yang terjadi, aku yakin
dia juga merasa kesepian. Apalagi teman baiknya pergi saja tanpa pamit.
Petakanya bisa berlanjut jika besok-besok, si teman lebih asyik berimajinasi
tentang kekasih daripada menemaninya. Terus terang, aku prihatin padanya.
Kesendiriannya
dan kesendirianku bukanlah sebuah akhir. Ini bisa jadi awal dari sebuah kebersamaan
baru, atas nama pertemanan atau lebih dari itu. Aku berharap, nanti, ia tak
mempermasalahkan temannya itu menggandeng tamanku. Bukankah itu membuka
kemungkinan kami bisa pergi bersama juga?
Dari
kejauhan, kulihat, ia mulai gelisah. Matanya sepertinya mulai kelelahan membaca
lembaran buku yang masih sampai pertengahan. Kini ia mulai sadar telah
ditinggalkan. Segala arah disorotnya. Mencoba mencari ke mana jejak temannya.
Ia pun memandang ke arahku. Aku segera memalingkan wajah darinya. Pura-pura
saja kusorot bukuku. Aku takut. Sepasang matanya lebih menyayat ketimbang mata
temannya, si betina. Aku menyerah jika harus bersetatap dengannya.
Situasi
sekarang ternyata lebih mencekam. Kuharap temannya segera kembali sebelum ia menginterogasiku.
Tapi sudah terlambat. Suara tapakan kakinya terdengar menuju ke arahku. Ia
sepertinya menyadari temannya pergi bersama temanku. Sekarang ia berdiri di
depanku. Jantungku berdegup kencang. Aku tak berani menatap ke depan. Takut
bola mataku terbakar tatapannya.
“Permisi,” sapanya.
Aku
mencoba tak menggubrisnya. Jika ia menyahut untuk kedua kalinya, akan
kubalas.
Berselang
sedetik, tanpa balasku, ia lalu bergegas ke arah kananku. Aku kini berani
menengadah. Kulihat ia menghampiri dua jiwa yang sedang kasmaran. Kehadirannya
tentu saja mengusik suasana romantis sepasang teman egois itu. Mereka pun
merengek. Tapi sepertinya, kebersamaan mereka harus berakhir. Wanita itu memaksa
teman betinanya untuk segera mengucapkan kata perpisahan.
Temanku
sepertinya tak menerima kekasihnya pergi secepat itu. Ia mencoba memberikan
perlawanan. Mengoceh sana-sini. Menegaskan bahwa waktu berdua mereka belum
saatnya berakhir. Aku jadi khawatir temanku berbuat onar. Meski harus
menanggung rasa malu, kuhampiri mereka segera.
“Maafkan
temanku ini,” tuturku padanya. “Mungkin mereka telah lama menahan kesendirian.”
“Tak
mengapa,” balas gadis itu, lembut. “Sebenarnya aku tak ingin mengganggu mereka.
Tapi aku harus pulang. Langit mendung. Sepertinya hujan akan segera turun.”
Kulirik
wajahnya sepintas. Tak sampai menatap matanya. “Seharusnya begitu. Setidaknya
mereka sudah berkenalan.”
“Ya.
Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu. Sampai jumpa,” tuturnya, kemudian
bergegas berlalu. Dia melangkah cepat, sambil menggendong teman betinanya. Detik demi detik, mereka semakin menjauh di balik payung.
Bias
air hujan sebesar bulu kucing pun mulai berguguran. Suasana alam jadi sedingin
perasaanku.
“Sampai
jumpa,” balasku membatin.
Kini
kami bersama lagi. Dua jiwa yang kesepian. Tapi temanku lebih beruntung. Ia
sempat berbincang panjang lebar dengan betina pujaannya. Sedangkan aku, masih
dengan kebiasaanku yang tak punya nyali berhadapan dengan lawan jenis.
Jangankan bertanya nama, menatapnya saja aku gugup setengah mati.
Dari
kejauhan, aku masih sempat menatap sepasang mata si betina dan bergumam
kepadanya: Anggora, namaku Izan. Sampaikan salamku kepada pemilikmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar