Pembicaraan
tentang politik terjadi di mana-mana. Seakan tak ada hari tanpa politik. Setiap
saat, persoalan politik ditayangkan di layar kaca televisi. Kekisruhan menjadi
fokus utama pemberitaan. Kondisi itu, tak pelak, membuat sebagian orang menjadi
gerah terhadap pembicaraan politik, apalagi untuk turut berpartisipasi langsung
dalam aktivitas perpolitikan. Sikap menjauh semacam itu bukan berarti membenci
politik, tetapi bisa jadi wujud kekecewaan melihat proses politik yang tak
jelas tujuannya.
Sulit
untuk menolak kenyataan bahwa politik dewasa ini lebih berkutat pada tataran
proses, hingga tak lagi fokus pada tujuan politik sesungguhnya. Politik hanya
diartikan sebagai proses pergantian penguasa. Setelah tahta berhasil direbut,
kerja-kerja nyata untuk kemaslahatan bersama, seperti yang pernah dijanjikan,
terabaikan. Imbasnya, kritik terhadap penguasa yang lupa daratan pun
digencarkan pihak yang pernah dipecundangi dalam pertarungan. Namun setelah
kekuasaan berhasil digulingkan dan diambil alih, sama juga; tak ada dampak
berarti bagi masyarakat.
Makna
politik dan aktualisasinya kini dikerangkeng, diartikan sebatas perebutan
kekuasaan. Implikasinya, lahirlah dua kubu berseberangan, yaitu antara kawan
dan lawan politik. Padahal jika merujuk pada makna asali tentang politik, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa politik adalah mekanisme untuk menyatukan
perbedaan. Kata politik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis (kota), dan teta (urusan). Itu berarti politik adalah cara masyarakat kota
Yunani, pada zaman dahulu, untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka
secara damai. Dengan begitu, tujuan politik yang sebenarnya tidak lain adalah
menjamin terciptanya ketenteraman dan kebersamaan, melalui upaya penyatuan
persepsi-persepsi.
Pemelintiran
terhadap hakikat politik, kini menimbulkan akibat yang sungguh memiriskan. Sarana
politik disalahgunakan, hingga menimbulkan perselisihan, pertentangan,
pertikaian, bahkan pemberontakan. Politik adalah biang perpecahan, bukannya mewujudkan
persatuan. Dunia politik yang senantiasa meminta tumbal, pun menjadi sangat
menakutkan. Akibatnya, beberapa pihak yang sebenarnya punya niat dan konsep
yang baik tentang politik, menjadi alergi untuk turut dalam aktivitas
perpolitikan.
Politik
yang tengah dijangkiti penyakut akut, membutuhkan refleksi mendalam tentang
perbaikan tatanannya. Apalagi mengingat bahwa melalui proses politiklah,
keputusan strategis, baik berupa penentuan pemimpin ataupun perumusan
kebijakan, dilakukan. Mengingat keadaan politik yang karut-marut itu, maka sudah
saatnya politik dikembalikan kepada khittahnya. Politik butuh segera disucikan
pada tujuannya yang mulia, tidak sekadar berkutat pada proses yang tak lebih subtansial.
Untuk itu, paradigma yang menggeser makna politik sebatas panggung yang penuh intrik
haram, perlu diluruskan kembali secara bersama-sama.
Paradigma
kekinian yang hanya mengartikan politik sebatas perebutan kekuasaan, perlu
dicerahkan. Apalagi pola pikir semacam selalunya ingin menang, tanpa
mempermasalahkan baik-buruk atau benar-salahnya cara yang ditempuh. Demi
menjadi pemenang kekuasaan, semua cara apa pun ditempuh dan dianggap sebagai
bagian dari politik. Wujudnya, politik uang, kolusi dan nepotisme, intimidasi,
dianggap sebagai upaya politik yang dapat dibenarkan. Padalah, jika masih berakal
sehat, perbuatan itu jelas musuh nyata politik. Oleh karena itu, virus-virus
politik semacam itu, harus dilenyapkan demi mewujudkan kehidupan perpolitikan
yang beradab.
Demi
keberlanjutan tatanan kehidupan yang harmonis, penataan perpolitikan perlu
dilakukan segera. Setiap pihak yang punya niat baik terhadap perbaikan dunia
politik, terutama genarasi muda, harus berani tampil di panggung politik,
dengan tetap menunjukkan perilaku politik yang beradap. Yang penting juga
adalah merumuskan dan menawarkan program-program kerja yang rasional kepada
khalayak, dan benar-benar diwujudkan kala dipercaya menduduki panggung
kekuasaan.
Setiap
komponen masyarakat juga harus turut aktif dalam berpartisipasi, baik untuk
turut bersuara, ataupun mengawasi agar proses politik maupun kerja nyata para
politikus, berjalan secara baik dan benar. Tidak lupa, perbaikan politik tentu
harus disokong oleh instrumen dan penegakan hukum yang memadai. Hukum harus
mampu menjamin perlindungan bagi semua pihak dari “permainan haram” oknum
politikus tak beradab, yang ingin memonopili dan menyalahgunakan kekuasaan.
Politik
harus diwujudkan sesuai hakikatnya, yaitu sebagaimana kata Aristoteles, bahwa
politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama. Oleh karena itu, paradigma dan aktualisasi politik yang hanya berkutat
pada perebutan kekuasaan, demi kepentingan kelompok, sudah saatnya diberantas.
Ke
depan, semoga dunia politik tak sarat lagi dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme), tetapi tampak sebagai pentas yang demokratis dengan pertarungan
program secara cerdas. Berbarengan dengan itu, politik juga diharapkan
senantiasa berakhir dengan rekonsiliasi, yaitu upaya pemulihan hubungan, atau
bahkan penyatuan pihak-pihak yang terlibat dalam pertarungan politik. Dengan
begitu, tak akan ada pihak yang menaruh kekesalan secara membabi buta dan mengganjal
proses kerja pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar