Selasa, 08 Maret 2016

Ramuan Pelupa

Radio tua masih menyala di sebuah rumah panggung berdinding anyaman bambu. Suaranya bukan celotehan penyiar ataukah dendangan musik dangdut. Yang terdengar hanya desisan, serupa suara gerombolan tawon yang beterbangan. Diman, bapak tua, penghuni sebatang kara di rumah itu, tengah terkapar lemas di tikar yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Ia tak tersadar untuk mematikan radionya. Padahal lewat tengah malam, harusnya dimatikan. Satu-satunya frekuensi siaran andalan yang terjangkau di daerah pedalaman, hanyalah RRI, dengan batas mengudara hanya sampai pukul 12.00 WITA. Selain itu, hanya ada siaran berbahasa Mandarin. 
 
Nurmi, istrinya, tak bisa lagi diharapkan untuk mematikan Radio butut itu kala ia terlelap. Memang, malam-malam sebelumnya, setiap kali terbangun di tengah malam, sang istri selalu mematikan radio yang menjadi pengantar tidurnya. Hitung-hitung hemat beterai. Tapi kini, Nurmi telah pergi. Diman yang belakangan semakin tak becus mengurus dirinya, benar-benar pusing. Jika terpikir lagi tentang kepergian Nurmi, tak ada pelariannya selain menenggak sari anau yang difermentasikannya sendiri. Begitulah caranya untuk mengabaikan bahwa kehidupan keluarganya berantakan. Padahal, dari penjualan gula arenlah, keluarganya dahulu menggantungkan hidup. Kini, mata pencariannya itu disalahgunakan. 

Kepergian Nurmi sebenarnya bukan tanpa alasan. Diman telah memperlakukannya di luar batas kewajaran. Sejak menikah sebelas tahun lalu, ia tak pernah sekali pun berlaku kasar pada istrinya. Walau sering cekcok, sampai ia naik pitam, tapi seperti haram baginya mengasari fisik istrinya. Sampai akhirnya, semalam, semuanya berubah drastis. Di kali pertamanya, ia tega mendaratkan tamparan di pipi kiri istrinya. 

“Dasar wanita laknat. Beraninya kau melanggar janji setia kita! Pergi kau dari sini!” itulah kalimat parpisahan yang terucap dari mulutnya kepada sang istri.

Di malam tadi, Diman tiba-tiba gusar. Sesampai di rumahnya yang sederhana, ia langsung saja memarahi istrinya secara membabi buta. Tak sadar betul. Ia pulang dengan kondisi mabuk. Itu kali pertama ia melanggar janji kepada sang istri untuk tak menenggak tuak setelah menikah. Baru semalam juga, setelah menikah, ia pulang terlambat tanpa memberi kabar. Parahnya, ia menuduh istrinya telah main serong dengan lelaki lain. Tak pikir panjang, Nurmi yang telah sabar menungg suaminya datang hingga larut malam, akhirnya pergi bersama rasa terlukannya. Akhirnya, keluarga sederhanan yang tak kunjung dikaruniai keturunan itu, retak.

Hari ini, hampir tengah hari, Diman akhirnya terbangun dari tidur pulasnya. Meski bias-bias, ia masih mengingat jelas kejadian semalam. Seberapa kerasnya pun ia berusaha melupakatnya, tak mungkin bisa. Ia tahu betul telah memperlakukan istrinya secara keterlaluan. Rasa bersalah itu akan selalu menghantuinya. Membuatnya selalu mengingat semua yang telah terjadi. Istrinya yang penyabar dan penyayang itu, kini terlanjur terluka dan pergi entah ke mana. Hanya penyesalan yang tersisa untuknya.

“Dasar wanita!” Diman melampiaskan amarahnya sebelum akhirnya tertidur lemas semalam. 

Dalam ketidakwarasannya, semalam juga, cincin pernikahan yang menjadi satu-satunya perhiasaan berharga di rumahnya, ia lemparkan jauh lewat jendela. Benda kenangan itu jatuh tepat di tengah aliran air sungai yang tengah deras. Akan menggelinding di antara jutaan kerikil. Mungkin sampai di muara, ataukah tertahan dan terkubur pasir di sela bebatuan. Semuanya telah diakhiri malam tadi. Kini ia harus menduda untuk kedua kalinya.

Betapa gundah melanda perasaan Diman saat ini. Ia tak habis pikir, semuanya bisa terjadi di luar kendali akal sehatnya. Yang pasti, semuanya berawal dari kesalahan sepele, yang selama ini selalu diwanti-wanti sang istri. Semalam Diman ternyata melanggar janji pada istrinya untuk tak singgah di sebuah rumah terpencil di bukit. Rumah itu dihuni seorang janda beranak satu, yang ditinggal pergi suaminya yang pemabuk, sebelas tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar