Radio
tua masih menyala di sebuah rumah panggung berdinding anyaman bambu. Suaranya
bukan celotehan penyiar ataukah dendangan musik dangdut. Yang terdengar hanya desisan, serupa suara gerombolan
tawon yang beterbangan. Diman, bapak tua, penghuni sebatang kara di rumah itu,
tengah terkapar lemas di tikar yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Ia tak tersadar
untuk mematikan radionya. Padahal lewat tengah malam, harusnya dimatikan. Satu-satunya
frekuensi siaran andalan yang terjangkau di daerah pedalaman, hanyalah RRI,
dengan batas mengudara hanya sampai pukul 12.00 WITA. Selain itu, hanya ada
siaran berbahasa Mandarin.
Nurmi,
istrinya, tak bisa lagi diharapkan untuk mematikan Radio butut itu kala ia
terlelap. Memang, malam-malam sebelumnya, setiap kali terbangun di tengah
malam, sang istri selalu mematikan radio yang menjadi pengantar tidurnya. Hitung-hitung
hemat beterai. Tapi kini, Nurmi telah pergi. Diman yang belakangan semakin tak
becus mengurus dirinya, benar-benar pusing. Jika terpikir lagi tentang kepergian
Nurmi, tak ada pelariannya selain menenggak sari anau yang difermentasikannya
sendiri. Begitulah caranya untuk mengabaikan bahwa kehidupan keluarganya berantakan.
Padahal, dari penjualan gula arenlah, keluarganya dahulu menggantungkan hidup.
Kini, mata pencariannya itu disalahgunakan.
Kepergian
Nurmi sebenarnya bukan tanpa alasan. Diman telah memperlakukannya di luar batas
kewajaran. Sejak menikah sebelas tahun lalu, ia tak pernah sekali pun berlaku
kasar pada istrinya. Walau sering cekcok, sampai ia naik pitam, tapi seperti
haram baginya mengasari fisik istrinya. Sampai akhirnya, semalam, semuanya
berubah drastis. Di kali pertamanya, ia tega mendaratkan tamparan di pipi kiri
istrinya.
“Dasar
wanita laknat. Beraninya kau melanggar janji setia kita! Pergi kau dari sini!”
itulah kalimat parpisahan yang terucap dari mulutnya kepada sang istri.
Di
malam tadi, Diman tiba-tiba gusar. Sesampai di rumahnya yang sederhana, ia
langsung saja memarahi istrinya secara membabi buta. Tak sadar betul. Ia pulang
dengan kondisi mabuk. Itu kali pertama ia melanggar janji kepada sang istri
untuk tak menenggak tuak setelah menikah. Baru semalam juga, setelah menikah, ia
pulang terlambat tanpa memberi kabar. Parahnya, ia menuduh istrinya telah main
serong dengan lelaki lain. Tak pikir panjang, Nurmi yang telah sabar menungg
suaminya datang hingga larut malam, akhirnya pergi bersama rasa terlukannya.
Akhirnya, keluarga sederhanan yang tak kunjung dikaruniai keturunan itu, retak.
Hari
ini, hampir tengah hari, Diman akhirnya terbangun dari tidur pulasnya. Meski
bias-bias, ia masih mengingat jelas kejadian semalam. Seberapa kerasnya pun ia
berusaha melupakatnya, tak mungkin bisa. Ia tahu betul telah memperlakukan
istrinya secara keterlaluan. Rasa bersalah itu akan selalu menghantuinya. Membuatnya
selalu mengingat semua yang telah terjadi. Istrinya yang penyabar dan penyayang
itu, kini terlanjur terluka dan pergi entah ke mana. Hanya penyesalan yang
tersisa untuknya.
“Dasar
wanita!” Diman melampiaskan amarahnya sebelum akhirnya tertidur lemas semalam.
Dalam
ketidakwarasannya, semalam juga, cincin pernikahan yang menjadi satu-satunya
perhiasaan berharga di rumahnya, ia lemparkan jauh lewat jendela. Benda
kenangan itu jatuh tepat di tengah aliran air sungai yang tengah deras. Akan menggelinding
di antara jutaan kerikil. Mungkin sampai di muara, ataukah tertahan dan terkubur
pasir di sela bebatuan. Semuanya telah diakhiri malam tadi. Kini ia harus
menduda untuk kedua kalinya.
Betapa
gundah melanda perasaan Diman saat ini. Ia tak habis pikir, semuanya bisa
terjadi di luar kendali akal sehatnya. Yang pasti, semuanya berawal dari
kesalahan sepele, yang selama ini selalu diwanti-wanti sang istri. Semalam Diman
ternyata melanggar janji pada istrinya untuk tak singgah di sebuah rumah terpencil
di bukit. Rumah itu dihuni seorang janda beranak satu, yang ditinggal pergi suaminya
yang pemabuk, sebelas tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar