Minggu, 13 Desember 2015

Tas Anyaman Kakak


Begitu berdosanya aku padamu, Kakak. Jika kata dan perbuatan jahanamku tak kau maafkan di setiap detikmu, pastilah siksaan pedih kudapatkan di hari kemudian. Syukurlah, waktu membawaku pada kedewasaan. Mengingatkan bertapa kurang ajarnya aku di waktu-waktu lampau. Menyadarkan untuk berhenti berperilaku bodoh dan membantah nasihat Kakak. Ingin rasanya bersujud dan meminta maaf padamu, Kakak. Tapi semua akan terasa ganjil. Terkesan lebay. Di keluarga kecil kita, kata-kata maaf hanya terucap di hari lebaran. Lepas itu, kita akan menjalani hidup seperti biasa. Menganggap saling memaafkan tanpa diminta. Akhirnya, jika aku lepas kontrol, terlupa, tutur kata dan tindakanku pun kembali menyakitimu. Kuduga begitu.

Kini, aku benar-benar tobat. Kuakui, kelakuanku dahulu membuktikan kalau aku bukanlah adik yang baik. Aku suka melakukan kebalikan dari perintah Kakak. Malas memanggil Kakak dengan nama lengkap yang indah, Nur Febrianti, atau Nur saja. Lebih suka menyebut kata ganti hina untuk nama Kakak: pincang, keong, atau suster ngesot. Memang benar, tapi tak selayaknya. Cara Kakak berjalan memang tidak normal. Menyeret kaki. Sejak 10 tahun lalu Kakak pincang. Saat kusadari cara berjalan Kakak tak senormal orang lain, kujadikan itu bahan ejekan. Kurang ajar benar aku. Kuharap waktu cukup untukku membalas Kakak dengan kebaikan.

Dahulu, Ayah sering marah atas tingkah nakalku. Geram kala mendengar aku memanggil Kakak dengan gelar tak layak. Tapi aku tak berhenti menabuh genderang perang. Kakak kuanggap sok-sok jadi ibu yang banyak mengatur. Kekanak-kanakannya aku waktu itu. Meski Ayah berulang kali berujar kalau cacat Kakak karena salah aku juga, akibat kebandelanku waktu masih berumur empat tahun, aku tak peduli. Lagian, aku tak ingat kejadiannya. Samar-samar. Seperti mencoba merangkai sempurna kepingan pecahan kaca yang dilindas buldoser. Mustahil. Karena itu juga, aku tak terlalu tersentuh melihat keadaan Kakak.

Di umurku yang keempat belas tahun inilah, aku mulai sadar tentang harga diri, tentang daya tarik kepada lawan jenis. Betapa beruntungnya dianugrahi bentuk dan fungsi fisik yang normal. Tak sepantasnyalah mengejek orang yang tak sempurna secara fisik, apalagi jika berumur lebih tua. Aku harus bersikap sepatutnya. Terlebih, mungkin karena ketidaknormalan fisik itu, di usia Kakak yang 29 tahun, tak seorang lelaki pun yang sudi mendekat. Aku mulai kasihan pada Kakak yang kini tampak seperti janda beranak satu. Apalagi kita hanya hidup bertiga di rumah. Pasti banyak orang mengira Kakak adalah Ibuku, dan Ayah adalah suami Kakak.

Dari Ayahlah aku tahu, Kakak sangat menyayangiku semasa kecil. Kakak begitu tak sabaran dihadiahi seorang adik setelah sekian lama menanti. Karena itu, setelah lahir, Kakak rela menemaniku bermain dan menuruti semua permintaanku. Namun kebahagiaan atas kehadiranku tak berlangsung lama. Ibu meninggal sejak umurku dua tahun. Kakak pun terpaksa bertindak layaknya seorang ibu. Mengurusi bayi dengan remeh-temehnya. Menggantikan kasih sayang Ibu yang tak kutahu wajahnya andai tak kulihat foto jadulnya. Tapi wajah Ibu serupa Kakak, kata Ayah. Aku jadi suka memandang wajah Kakak dan mengimajinasikan wajah Ibu.

Ayah pun pernah menceritakan sebuah peristiwa 14 tahun lalu. Tentang sejarah kepincangan Kakak. Terasa sangat menyentuhku saat ini. Umur Kakak waktu itu 19 tahun, sedangkan aku 4 tahun. Aku adalah anak kecil yang banyak pintanya. Jadinya, aku bak seorang majikan bagi Kakak yang layaknya pesuruh. Ironis. Dari cerita Ayah itu, nyata sudah bahwa kepincangan Kakak adalah buah permintaanku yang tak seharusnya dihiraukan. 

Semua karena kecerobohanku melepas tali balon yang kugenggaman. Balon itu pun tersangkut di daun kelapa. Aku merengek dan menangis sejadi-jadinya. Kakak yang begitu menyayangiku tak pikir panjang untuk segera memanjat pohon kelapa setinggi 11 meter itu. Benar-benar perempuan berani dan penyayang. Hingga akhirnya, di puncak pohon kelapa, kaki Kakak terpeleset, lepas pegangan, dan akhirnya terjatuh tepat menumpu di batu cadas. Kata Ayah, aku sontak berhenti menangisi balonku pada waktu itu, lalu lanjut bermain. Tak berperasaan. Padahal tulang paha kaki kanan Kakak patah. Sungguh kurang ajar.

***

“Medusa, selepas dari sekolah, pulang cepat. Bantu Ayah panen kelapa.  Jangan main terus. Kau sudah besar,” perintah Kakak sebelum aku berangkat sekolah. Aku sekarang kelas 2 SMP. Kakak memang kadang iseng memanggilku medusa, si wanita berkepala ular dalam mitologi Yunani, karena rambutku kriting.
“Siap Nyonya Besar yang manis!” balasku pada Kakak yang semakin gemuk.

Begitulah cara kita mencairkan suasana. Kutahu, dalam hati, kita saling menyayangi dengan cara itu.

Aku lalu berjalan kaki menuju sekolah sambil berlindung di bawah payung reyot karena hujan. Jarak tempuhku hanya 100 meter dari rumah. Kali ini, aku tak menggunakan tas anyaman rotan buatan Kakak. Buku kubungkus dalam kantong plastik. Lebih aman. Aku tak ingin buku-bukuku sampai basah. Aku tak peduli tentang mode dan cemoohan teman-temanku. Tak ada gunanya bergaya. Tak perlu gengsi dalam berpenampilan. Sederhana itu menenangkan. Aku tak akan menuntut Ayah dan Kakak tentang segala macam keinginan yang tak terbatas. Apalagi keluarga kita memang sangat sederhana. Kuduga, mungkin karena itu juga, orang tua kita hanya merencanakan punya dua anak: aku dan Kakak.

Ayah hanyalah pemanjat dan pengupas kelapa. Kelapa itu akan dikeringkan menjadi kopra. Itupun kelapa tetangga. Keluarga kita tak punya kebun. Dengan pekerjaannya itu, Ayah hanya digaji seadanya berdasarkan hitungan buah kelapa yang sampai terkupas. Rp. 500 per satu buah kelapa. Biasanya, Ayah dapat upah Rp. 100 ribu dalam sehari. Sepulang dari memetik kelapa, Ayah akan membawa pulang daun kelapa yang akan dianyam Kakak di rumah. Hasil anyaman Kakak selanjutnya dijual ke pengusaha warung makan. Untungnya hanya sedikit. Hanya dihargai Rp. 500 per empat cangkang ketupat. Itupun tergantung pesanan dari pemilik warung. Tak setiap hari.

Melihat keadaan keuangan keluarga dan kebutuhanku yang semakin meningkat, aku bertekad bekerja. Aku tak tega kalian terus-terusan banting tulang untukku. Sudah cukup selama ini aku begitu dimanjakan. Caranya, secara diam-diam, kuputuskan menjadi kuli panggul di pelabuhan. Pekerjaannya berat. Tapi, untungnya menggiurkan. Akhirnya, di setiap hari libur sekolah, kuhabiskan hariku di bawah terik matahari dan kepungan debu, di pelabuhan. Segala macam barang dengan berat yang menyesakkan, kupikul saat kapal melakukan bongar muat. Bahkan jika sedang bernafsu memperoleh keuntungan berlebih, aku akan ke pelabuhan sepulang sekolah. Tak mungkinlah kuabaikan kewajiban sebagai siswa. Takut nilai raporku anjlok, hingga Ayah dan Kakak curiga padaku.

Senangnya. Aku mendapat penghasilan yang menggembirakan. Hampir sebanding jika penghasilan Ayah dan Kakak digabungkan. Aku pun membagi tiga peruntukan upahku: kugunakan untuk kebutuhanku sehari-hari, kutabung untuk masa depanku, dan kuberikan pada Kakaku secara diam-diam. Kutahu tempat Kakak menyembunyikan celengan. Secara rahasia, aku menyisipkan sepertiga penghasilanku ke dalamnya. Aku berharap, dengan uang itu, Kakak belajar mempercantik diri, sehingga suatu saat ada lelaki yang bersedia menikahi. Terlebih, kutahu ada keinginan Kakak untuk membeli sesuatu yang berharga. Sudah lama Kakak mengutarakannya.

“Bos Beni, tadi aku jalan-jalan ke pasar, ada sesuatu yang sangat ingin aku beli. Andai aku punya penghasilan lebih, pasti akan kubeli,” tutur Kakak tempo hari.

“Memangnya Nyonya Tua mau beli apa?” tanyaku.

“Tak usah kau tahu. Yang pasti, kau tak akan keberatan,” tutur Kakak, sambil merekahkan senyum ke atas, ke arah plafon rumah yang dirembesi air hujan karena bocor. Ekpresi Kakak menyiratkan harapan yang begitu besar.

***

Hari ini, adalah hari libur. Tanggal 17 Agustus. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI. Tak ada upacara bagiku kali ini. Aku tak mengikuti seleksi paskibraka untuk pengibaran bendera. Bukan berarti aku tak punya potensi untuk diloloskan. Postur tubuh dan kemampuanku tak bisa diragukan. Namun aku tak ingin waktuku habis untuk latihan baris-berbaris. Lebih kupilih melewatkan hari-hariku dengan mengais rezeki di pelabuhan. Mengumpulkan uang untuk membuat masa depanku lebih terjamin. Aku ingin bersekolah dan benar-benar jadi orang yang merdeka. Aku ingin membahagiakan Ayah dan Kakak.

Setelah seharian mondar-mandir pontang-panting banting tulang untuk mindahkan barang segala rupa di pelabuhan, waktunya aku pulang ke rumah sebab malam hampir menggelapkan bumi. Aku tak ingin Ayah dan Kakak khawatir jika aku pulang terlambat. Aku ingin segera sampai di rumah. Kutahu, jika sore begini, Ayah pasti masih sibuk mengurusi kambing orang lain yang dipeliharanya di kandang. Kakak juga pasti sedang memetik dan menyerut daun singkong untuk jadi sayur di santap malam. Dengan begitu, seperti biasa, aku akan menyusup ke kamar Kakak, lalu menyusupkan uang penghasilanku ke dalam celengan Kakak yang ditaruh di atas lemari. Hari ini, aku memberikan semua penghasilanku dalam sehari untuk Kakak. Rp. 300 ribu. Aku ingin Kakak segera membeli sesuatu yang sangat diidamkan selama ini. Entah apa.

“Dari mana lagi Tuan Dekil. Tambah hitam saja kau belakangan ini. Mengaku-ngaku artis di sekolah. Mana mungkin kalau penampakanmu kumal begitu. Pergi sana mandi. Ingat, jangan cuma sekali basuhan. Mandilah yang benar. Pakai sabun dan sampo. Cepat sebelum gelap. Aku punya sesuatu untukmu nanti,” gerutu Kakak. Aku selalu suka cara bertutur Kakak. Selalu disisipi humor. Sangat menyenangkan. Karena itu juga, aku tak tahu kapan Kakak ingin dianggap serius atau bercanda.

“Ok Nyonya Besar,” balasku lalu bergegas menaiki anak tangga, memasuki rumah panggung kita yang terbuat dari kombinasi kayu dan anyaman rotan. Aku ingin segera menyusupkan uang penghasilanku ke dalam celengan Kakak. 

Sesampainya di titik yang kutuju, di kamar Kakak, kujulurkan tanganku ke puncak lemari. Tapi celengan itu telah tiada. Kupastikan kalau Kakak telah mengabilnya dan membeli sesuatu yang diidamkan Kakak selama ini. Pasti Kakak ingin memamerkannya malam nanti.

Benar saja, selepas makan malam, Kakak segera menuju ke dalam kamar. Kudengar sebuah gesekan pada tikar. Kuterka, Kakak pasti menyeret sebuah barang dari bawah kasur. Akhirnya, Kakak pun menucul di balik tirai pintu, sambil menenteng sebuah kardus kecil. Di kardus, tercetak besar sebuah merek tas terkenal yang pernah kulihat di tas temanku, anak seorang direktur perusahaan. Entahlah apa isinya. Selama ini, kardus di rumah hanya diisi kala ingin berkirim barang dengan keluarga di tempat lain.

“Coba Bos Beni buka. Mudah-mudahan Bos juga menyukainya,” tutur Kakak, sambil menyodorkan kardus itu padaku.

Kardusnya ringan. Tak tercium aroma aneh untuk mencap itu adalah kiriman bahan makanan dari pamanku lagi. Tak ada juga tulisan nama pengirim dan tertuju barang. Pun, tak ada plester di sana-sini. Malahan, baunya seperti kardus yang baru saja keluar dari toko. Tampak seperti kadus baru. Demi melenyapkan rasa penasaran, kubukalah perlahan. Ternyata kardus itu berisi tas baru yang semerek punya teman sekelasku.

“Pakailah ke sekolah. Tak perlu lagi kau menyelempang tas anyaman Kakak yang seharusnya sudah pensiun itu,” tutur Kakak semasih aku keheranan. Terkejut. Tak menyangka Kakak akan membelikan tas semewah itu untukku. “Bukumu pasti tak kebasahan. Kainnya tak tembus air. Ini juga ada pembungkusnya agar lebih aman,” tambah Kakak, sambil mempraktikkan cara membungkus tas dengan kain sampingan itu. Bak pragawati yang berusaha meyakinkan calon konsumen.

Aku lalu berdiri dan mengetes tas baruku. “Haha. Terima kasih Kak. Aku suka. Tapi seharusnya Kakak tak perlu susah payah cari uang hanya untuk membelikanku sebuah tas seberharga ini. Aku tetap senang kok memakai tas anyaman Kakak. Saatnyalah Kakak membeli sesuatu untuk kesenangan Kakak sendiri,” balasku serius. Untuk saat ini, aku tak kuasa membalas dengan kata ganti nama Kakak yang aneh-aneh. Aku benar-benar tersentuh.

“Tak usah merasa tak enak Nak. Dengan tas itu, Kakak kamu hanya ingin kau sekolah benar-benar, hingga cita-citamu tercapai." Ayah yang bersandar di dinding bersuara. Ia nampak semringah. “Terimalah Bos Beni,” candanya.

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Benar-benar mengharukan. Ternyata kerja keras Kakak selama ini hanya untuk membelikan sesuatu untukku. Kutahu jelas perjuangan Kakak menabung beberapa bulan terakhir sangat luar biasa. Kakak jadi tak mengurusi diri sendiri. Tak ada peralatan tata rias yang baru. Akhirnya kuniatkan memakai tas baru itu ke sekolah di musim hujan ini. Tas yang dibeli dengan uang yang sebagian dari hasil jerih payahku, yang tentu tak diketahui siapa pun. Aku ingin Kakak bahagia melihatku berlalu menuju ke sekolah, sambil memunggungi tas hadiah Kakak itu. 

Beberapa menit berselang, kupandangi lagi tas anyaman Kakak yang tergantung di dinding rumah. Aku tersentuh melihatnya. Ada kesan tak ternilai yang membuatku akan sulit mengabaikannya. “Terima kasih atas hadiahnya Kak. Aku tak tahu bagaimana cara membalasnya,” tuturku. “Tapi Kak, boleh kan, jika di musim kemarau nanti, aku sesekali memakai tas anyaman itu. Suatu saat, aku pasti rindu memakainya.”

Kakak hanya tersenyum, lalu mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar