Hujan
belum benar-benar reda sore itu. Tapi Nila nekat pergi. Menghilang dari gubuk kenangannya
sambil meronta-ronta. Penuh kesal. Meninggalkan dua orang tua yang telah
membesarkannya sejak kecil. Wajah keriput orang tuanya membeku. Pasrah. Sudah tak
ada titik temu antara keinginan-keinginan dalam gubuk itu. Sama-sama keras mempertahankan
pendapat. Emosi Nila pun terlanjur melunjak, sebab ia rencananya akan dinikahkan dengan
pemuda desa yang hidup serba sederhana. Rizal namanya. Seorang buruh tani. Orang
tua Nila beralasan, lelaki itu bisa menjadi imam yang baik untuknya. Itu saja.
Setamat
SMA, Nila sebenarnya tak berencana melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.
Tapi demi menghindari pernikahan, berkuliah adalah pelarian yang paling masuk akal.
Karena alasan itu juga, orang tuanya terpaksa berkompromi tanpa kata-kata. Pendidikan
juga hal yang penting. Nila pun berangkat ke kota tanpa salam perpisahan.
Menggantungkan nasibnya dalam pergumulan hidup yang keras.
Tepat.
Rencana kehidupannya berjalan lancar. Ia menyelesaikan kuliahnya kurang dari
empat tahun. Dapat predikat cum laude. Berbekal
nilai IPK tinggi, ia tak susah payah mendapatkan pekerjaan. Cita-citanya pun teraih.
Menjadi seorang sekretaris. Mengurusi persuratan dan pencatatan administrasi
sebuah perusahaan properti. Ia mendapatkan gaji lebih dari yang dibayangkannya.
Tidak
hanya itu, karena dekat dengan sang sang bos perusahaan, mereka akhirnya sepakat
menikah. Namun bisa dipastikan, pernikahan mereka tidak akan direstui orang tua
pihak laki-laki. Pastilah, sebab sang lelaki sudah beristri. Ia juga berasal
dari keluarga terpandang, sedangkan Nila hanya anak kampung yang tak jelas asal
usulnya. Tapi ujung-ujungnya, pernikahan mereka dilangsungkan secara tertutup.
Nikah siri.
Semua
kesuksesan hidup telah digapai Nila tanpa campur tangan orang tuanya. Usahanya
sendiri. Tak ada lagi urusan dengan persoalan hidup dan kehidupan orang tua itu.
Tak peduli. Jadinya, ia tak sekali pun bertukar kabar dengan kedua penghuni
gubuk yang tua renta. Ia yakin, mereka juga tak peduli tentangnya. Tak sudi lagi
berdoa untuknya yang mungkin telah dicap anak durhaka: melanggar titah orang
tua.
Demi
melogiskan bencinya, Nila membangun alasan untuk tak mengingat Bapak dan Ibunya
lagi. Meyakinkan diri jika bisik-bisik tetangga bahwa ia bukan anak biologis
orang tuanya di gubuk adalah benar. Alasannya karena umur Nila sangat senjang
dibanding umur kedua orang tuanya. Ia layak menyapa mereka dengan kata kakek
dan nenek ketimbang ayah dan ibu. Selain itu, paras Nila menarik. Kulitnya
putih bersih. Bak orang keturunan dari negara bersalju. Konstruksi wajahnya
indah. Beda jauh dengan kedua orang tuanya yang berkulit hitam legam dan
keriput. Yang jika dilihat dari parasnya, jelas mereka keturunan kampung asli.
Karena
kecantikannyalah, banyak sudah lamaran telah datang untuk Nila. Meski begitu ia
selalu menolak. Orang tuanya pun sering tak setuju. Kecuali untuk si Rizal,
mereka legowo saja.
***
Perusahaan
suami Nila mengalami perkembangan pesat. Proses pembebasan lahan pun terus
dilakukan untuk membangun deretan rumah mewah yang akan membuat kota tampak
lebih modern. Program pembangunan mereka pun didukung pemerintah. Karena itu,
penyedian lahan pembangunan dan proses administrasi disokong pemerintah.
Semuanya demi menghilangkan kesan kumuh dari rumah-rumah semi permanen. Akhirnya,
penggusuran adalah pintu masuk menapaki jalan menuju kota dunia. Terlebih,
penghuni gubuk-gubuk tak memiliki legitimasi untuk menempati lahan pemerintah.
Pemukiman mereka liar. Mereka pasti menderita kekalahan demi hukum.
Rencana
berjalan lancar. Penggusuran tak mendapat penentangan yang berarti. Rumah-rumah
lapuk dan reyot relah rata dengan tanah. Warga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka
tak akan mampu menjinakkan keberingasan polisi. Tak ada yang nekat
mempertaruhkan nasib mereka di bawah palu sidang. Semua karena Nila. Ia tahu
jelas sejarah dan keadaan masyarakat di lokasi itu, lokasi gubuk tempatnya
hidup dahulu. Ia tahu bahwa sekitar lima puluh tahun lalu, para pemukim di
lahan itu hanyalah pendatang yang menempati tanah negara tanpa izin. Orang
tunya pernah berkisah.
Sepulang
meninjau lokasi pembangunan yang telah diratakan buldoser seminggu sebelumnya, lagi-lagi,
mobil mewah Nila terjebak macet. Lalu lintas kendaraan padat. Juga karena badan
jalan ditimbun pasar tumpah, parkir liar, pedagang kaki lima, becak, angkutan
kota tanpa aturan, dan pemulung bergerobak. Apalagi ditambah kubangan air hujan
di lubang-lubang jalanan. Jadi susah mencari jalan. Sangat menyebalkan bagi
wanita sekelasnya. Kesannya bak sesak napas. Akhirnya, celah kecil dijadikan kesempatan
besar untuk menyelinap, menempuh jarak semaksimal mungkin. Nila tahu itu.
Akhirnya, karena terburu-buru, sisi kanan bagian belakang mobilnya menyerempet
gerobak pemulung.
Ia
pun bergegas meminggirkan mobil mewahnya ke sisi kanan jalan. Kesalnya jadi
berlipat ganda. Mobil mahal yang baru dibelinya sebulan lalu, tergores. Amarah
tak bisa ia redam.
“Pak,
harusnya dorong gerobaknya jangan di jalan raya. Bapak tahu kan, biaya untuk
menghilangkan goresan di mobilku lebih mahal dari gerobak butut itu,” geramnya
sembari menumpu pinggang dengan kedua tangannya. “Aku tak akan meminta Bapak
dan Ibu untuk ganti rugi. Aku hanya ingatkan untuk tak berseliweran di jalan
raya lain kali.”
Sepasang
orang tua uzur yang sepertinya suami isteri itu hanya menunduk. Sesekali
menengadah, lalu secepat mungkin menunduk kembali. Dengan cekatan, mereka memunguti
botol-botol plastik yang berserakan di jalan. Lalu menegakkan gerobak mereka
yang syukurnya tak mengalami kerusakan parah.
“Maafkan
aku Nyonya. Memang seharusnya kami yang hati-hati,” tuturnya si lelaki tua
dengan lemah lembut. Batin Nila tersentak kala lelaki itu berdiri tepat di
depannya. Bukan karena ia lancang mengulurkan tangan kumalnya untuk dijabat,
tapi raut wajahnya mengingatkan pada orang tua di gubuknya dahulu. Kedua orang
tua itu mirip orang tuanya. Ia yakin. Kini mereka tampak semakin tua. Seakan
tak bisa lagi mengurus diri dengan baik. Nila lalu menjabat tangannya tanpa
berkata-kata lagi.
Hampir
lima menit Nila berdiri memandangi dan menceramahi kedua pemulung tua itu. Tak diduganya,
orang-orang telah mengerumuni mereka bertiga. Sebagian besar lalu menyalahkan
dan menyoraki Nila yang tak punya sopan santun pada orang tua. Ia tak berkutik.
“Maaf.
Aku yang seharusnya minta maaf Pak. Seharunya aku harus berhati-hati dalam
berkendara,” tuturnya dengan intonasi suara yang turun drastis. “Ini ada
sedikit rezeki saya untuk Bapak gunakan memperbaiki gerobak. Terimalah Pak.”
Setelah
amplop berisi uang pemberinnya berpindah tangan, Nila pun bergegas pergi. Ia
tak ingin orang tua itu malah mengembalikan uang yang telah diberikannya.
***
Petaka
datang. Setahun selanjutnya, rumah tangga Nila retak. Suaminya tersangkut kasus
menyerobotan lahan warga. Sepertiga lahan yang sebelumnya direncanakan untuk
dibanguni perumahan mewah, ternyata lahan milik warga secara sah. Termasuk juga
tempat gubuk orang tua Nila dahulu. Cekcok antara mereka setiap saat pun tak
terhindarkan. Tak tahan dengan segala macam pertengkaran, mereka akhirnya
sepakat untuk bercerai.
Pulang
membawa sesal, Nila pun kembali ke lokasi gubuk orang tuanya dahulu. Tak ada
tempat pulang lain. Di sana, ia tertegun meratapi hari-hari yang berlalu,
tentang segala macam bentuk kedurhakaan yang telah ia lakukan. Begitu rindunya
ia berada dalam suasana hangat keluarga sederhananya dahulu. Ia pun mencari
keberadaan orang tuanya itu, hingga mendapat kabar bahwa mereka berada di
sebuah rumah seorang pemuda desa.
Akhirnya,
Nilai sampai pada alamat yang dituju. Di sebuah rumah sederhanya yang tak jauh
beda dengan gubuk kehidupannya dahulu. Ia pun masuk dan menemui Ibu tua nan
bungkuk yang dicarinya. Ibu itu sedang menyapu halaman rumah.
“Ibu masih mengenalku?” tanya Nila setelah salamnya
terbalas.
Ibu
mengerjapkan dan menyempitkan matanya. “Iya Nak. Kamu kan yang dulu kasi uang
untuk kami beli gerobak baru?”
“Iya,
Bu. Tapi…”
“Oh,
iya. Tunggu sebentar Nak,” Ibu mememotong balasan Nila, menyimpan sapu lidinya,
masuk ke dalam rumah, kemudian keluar. “Nah, ini uang yang kau berikan pada
kami dulu Nak. Maaf, kami benar-benar tak enak menggunakannya,” tutur sembari
tersenyum.
Nila
tersentak. Menjadi semakin merasa tak berguna. Merasa berdosa. “Tapi uang ini
memang untuk Ibu. Sudah jadi hak Ibu. Seharusnya Ibu menggunakannya,” balas
Nila sambil merekatkan amplop berisi uang itu di antara telapak tangan Ibu.
“Tidak
Nak. Bawalah kembali pulang. Atau sumbangkanlah saja ke panti asuhan,” tuturnya
sambil menyodorkan kembali amplop itu pada Nila.
“Tak
usah merasa segan Bu,” tutur Nila. Air matanya pun menetes. “Sebab, Sebab…. Aku
Nila Bu…. Anak Ibu.” Ia terisak. “Maafkan Nila Bu…,” tuturnya,
lalu bersimpuh di bawah lutut Ibu.
Ibu
hanya terdiam merenungkan masa lalunya. Mengusap-usap rambut Nila. Lalu tanpa
disadarinya, bulir air jatuh dari mata sembabnya.
“Ibu
memang pantas melupakannku. Akulah telah tega meninggalkan Bapak dan Ibu di
rumah kecil kita dahulu.” Tangis Nila semakin menjadi-jadi. Tersedu sedan.
Ibu
mengenggam kedua bahu Nila. Menegakkannya. Menatap dalam wajahnya. Mengingat-ingat
keluguan anak gadis yang dulunya senantiasa meramaikan suasana di rumah mereka.
Kini Nila tampak semakin cantik. “Nila…, Anakku? Mengapa kau pulang selambat
ini Nak. Kami sangat merindukanmu,” tuturnya.
Mereka
berdua menangis sejadi-jadinya. Larut dalam keharuan. Hingga Bapak pun datang
bersama gerobak barang bekasnya, lalu meminta penjelasan atas apa yang terjadi
dan siapakah sosok wanita muda itu. Ia sama sekali tak mengingat wajah Nila
lagi. Dia lebih pikun daripada istrinya.
“Ini
Nila Pak,” tutur Ibu.
Satu
nama itu kembali mengaktifkan memorinya tentang kehidupan di
gubuk pada masa silam. Badannya gemetaran. Tak menyangka Nila akan kembali. Ia
pun turut haru, dan meneteskan air mata. Mendekat lalu memeluk Nila.
Setelah
berlalu setengah jam untuk berbagi kisah di atas balai bambu, di beranda rumah,
Bapak muncul di sampingnya dari dalam rumah. Ia menenteng sebuah peti kecil yang
tergembok. Peti itu berbentuk kubus dan terbuat dari besi. “Ambillah ini Nak.
Ini adalah hakmu,” tutur Bapak.
Setelah
kubus itu dibuka, betapa ia tercengang. Isinya uang. Sangat banyak.
“Sudah
waktunyalah kami menyampaikan hal yang sesungguhnya tentang dirimu Nak. Kau tak
sedikitpun harus terbebani atau merasa durhaka kepada kami. Sebenarnya, kami
bukanlah siapa-siapamu Nak. Kau bukan anak kandung kami,” lanjut Bapak.
Nila
terkejut dengan penjelasan Bapak. Kata-kata tak bisa keluar dari mulutnya.
Hanya matanya yang kuasa merespons.
“Kau
tak perlu kaget Nak. Uang itu memang hakmu. Sebagiannya kami telah gunakan
untuk memenuhi kebutuhanmu sewaktu kecil,” jelasnya sambil menepuk-nepuk lengan
Nila. “Uang itu dititipkan seseorang di sampingmu, sewaktu kau yang masih
berumur harian, kami temukan di teras rumah kami dahulu. Ambillah Nak.”
“Tapi
uang ini seharusnya sudah jadi milik Bapak dan Ibu. Kalianlah ayah dan bundaku
sesungguhnya. Setidaknya ini sedikit dari tanda terima kasihku sebab telah
dibesarkan dengan baik di rumah kita dahulu. Kalianlah orang tua sejatiku. Maafkan
kelakuanku selama ini, Bapak, Ibu,” balas Nila.
Di
sela perbincangan kami yang penuh haru. Pintu terketuk. Suara berat lelaki
mengucap salam. “Ada siapa Bunda?” tanya lelaki berbadan tegap yang berjalan
menghampiri mereka.
“Sini
Nak. Kamu masih ingat tidak dengan perempuan ini,” jawab Ibu.
“Nila…!
Ya. Kamu Nila kan?” tebaknya.
Nila
hanya mengangguk, lalu menjabat tangannya.
“Kok
Bapak dan Ibu tinggal di rumahmu?” tanya Nila pada lelaki yang pernah
dibencinya itu.
“Rizal
itu anak kandungku Nak Nila,” jawab Ibu.
Satu
rahasia baru di balik gubuk, terungkap lagi. Baru Nila tahu kalau lelaki yang akan
dijodohkan dengannya dahulu adalah anak kandung Ibu. Ibu adalah janda beranak
satu saat Bapak mempersuntingnya. Begitulah. Kehidupan memang tak ubahnya rahasia.
Penuh kejutan kala tersingkap. Tapi tidak untuk rahasia Nila. Ia bertekad tetap
memendamnya. Tentang ia yang terlibat dalam penggusuran gubuk kenangannya, juga
tentang ia yang telah menikah demi mengecap gemerlap dunia di kota.
Akhirnya,
setelah dua bulan berjalan, Nila dan Rizal menikah. Selama ini, lelaki berkulit
gelap itu tetap mengharapkan Nila menjadi istrinya. Kini mereka, Ibu, dan Bapak
jadi keluarga seutuhnya. Tak ada lagi sekat-sekat. Kehidupan dijalani untuk
kebahagiaan bersama. Termasuk tentang uang titipan itu. Nila berniat menggunakannya
untuk membangun rumah layak huni bagi mereka semua, di lahan tempat gubuk kenangannya
dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar