Sebuah
koran harian sampai lagi di rumah sederhana. Di sekretariat para aktivis
pencinta lingkungan. Terbitan kali ini menjadikan isu reklamasi pantai sebagai headline. Tampak foto ukuran besar aksi
demonstrasi sehari sebelumnya, memenuhi sekitar sepertiga halaman depan. Aksi menuntut
penghentian reklamasi pantai yang ditengarai merusak ekosistem pesisir itu,
akhirnya dibubarkan paksa polisi. Tindak anarkitis lagi-lagi terjadi. Beberapa
mahasiswa terluka. Tapi membaca berita itu seperti sebuah kado bagi para aktivis
lingkungan di rumah kecilnya. Upaya mereka membela kepentingan masyarakat pesisir
yang kehilangan mata pencarian akibat reklamasi, ternyata direspons baik para
mahasiswa.
Belakangan,
memang pergerakan mahasiswa bak mati suri. Aksi unjuk rasa bersifat musiman. Adanya
kala tanggal-tanggal peringatan. Seremonial belaka. Mahasiswa terkesan sulit
menemukan masalah, serta membuat argumentasi dan tuntutan logis terkait
karut-marut kehidupan rakyat. Hampir dua bulan berlalu ketika sebuah LSM,
tempat Dito menyusun strategi perjuangannya, menyuarakan nasib hutan mangrove
dan kehidupan masyarakat pesisir. Mahasiswa tak merespons. Sampai akhirnya media
nasional menayangkan masalah itu beberapa kali. Banyak juga opini kritikan yang
muncul di koran terkait dampak buruk reklamasi pantai. Ya, tulisan-tulisan
tersebut akhirnya menjadi referensi para mahasiswa yang sepertinya tak punya
waktu untuk membaca, berdiskusi, dan terjun langsung ke masyarakat.
“Dito,
kamu sudah baca berita ini?” tanya Bunga, sambil menunjukkan berita headline di koran. Ia mencegah Dito yang
baru saja sampai di teras sekretariat. Wajahnya terlihat sangat bahagia. “Ternyata
perjuangan kita didukung sudah oleh para mahasiswa. Luar biasanya lagi, data
dan argumentasi hukum yang dipaparkan adalah hasil kajian kita. Semoga
perjuangan kita berhasil.”
“Syukurlah
kalau begitu,” respons Dito seadanya.
“Eh,
satu lagi. Ini. Opini hari ini juga memuat hasil kajian dan data dari lembaga
kita,” lanjut Bunga. Seperti seorang agen penjualan yang antusias menjelaskan
tanpa diminta. “Mmm, ada lagi. Marhaen Bumi Malaka D. Penulis opini. Sepertinya
pendatang baru di dunia aksara. Dia sekampus denganmu, Dito. Kamu kenal?”
Dito
hanya memandang tulisan opini setengah halaman itu sepintas, lalu menggeleng-gelengkan
kepala.
“Uraiannya
serupa dengan hasil diskusi kita kemarin, To. Kau benar-benar tak tahu orang
ini?” tanya Bunga. Butuh penegasan. Tak yakin kalau Dito tak tahu sang penulis
misterius itu.
Lagi-lagi,
Dito hanya menggelengkan kepala, lalu berlalu memasuki ruang sekretariat.
***
Dua
bulan lalu, selama seminggu di sekretariat LSM peduli lingkungan itu, pengurus
dan relawan begitu semarak. Kecuali Dito. Maklumlah, seorang wanita dengan
paras memesona baru saja diterima sebagai relawan baru. Namanya Bunga Sugandi.
Lelaki celamitan pun jadi bertingkah.
Seperti burung-burung genit bersiul-siulan. Berlomba mencari perhatian. Tiba-tiba
jadi puitis. Tapi Bunga bukanlah perempuan yang haus gombalan. Dia tak berselera
dipuji-puji. Sikap tak acuhnya membuat para lelaki itu menyerah tak bergeming. Mereka
akhirnya sadar Bunga hanya ingin kawan. Tak lebih. Mereka hanya berharap.
Kini,
profesionalitas Bunga membuat Dito terkagum-kagum. Ia jadi tertarik pada wanita
cerdas, pendiam, dan tak banyak tingkah itu. Karena setipe dan nyambung, banyak waktu mereka habiskan
untuk mendiskusikan persoalan yang tengah mereka advokasi, tentang reklamasi
pantai. Mereka selalu menikmati berbincang-bincang bersama. Hitung-hitung,
Bunga, mahasiswa jurusan biologi, dapat banyak bahan untuk penyusunan tugas
akhirnya dari orang lapangan seperti Dito. Terlebih, Dito dipercaya sebagai
penanggung jawab pengawalan kasus itu. Dan secara de facto, Bunga sudah seperti asisten pribadinya. Lambat-laun,
mereka saling mengenal lebih dalam. Termasuk tentang latar belakang keluarga
mereka masing-masing.
“Bunga,
kau tahu, dirimu sangat unik. Aku tak pernah membayangkan perempuan semenarik kamu
akan bergelut untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat kecil. Apalagi kau
berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Kurasa, kau pantasnya mengisi
waktumu jalan-jalan di mal, berbelanja, menghadiri konser musik, atau sekadar
ngerumpi dengan orang yang selevel denganmu,” tutur Dito, saat mereka sedang duduk
berhadapan di samping sekretariat melepas lelah setelah beradu argumentasi.
Meremehkan tapi lebih terkesan menyanjung.
Bunga
lalu menunduk. Berusaha tak tampak tersipu. Tersenyum sejenak ke arah Dito,
lalu berpaling cepat. Entahlah. Ia sulit menghindari. Sepertinya baru kali ini
ia merasakan pujian terhormat yang tak layak disebut gombalan. “Ah. Itu pikirmu
saja. Aku juga manusia kok. Sama dengan lainnya. Punya hati nurani,” balasnya.
***
Sebulan
bulan kemudian, di satu pagi, Dito dikagetkan dengan sebuah pemberitaan di
koran lokal langganan sekretariat LSM-nya. Sugandi Sugeng, kepala dinas tata
ruang kota metropilitannya, ternyata terseret dalam kasus reklamasi pantai yang
dikawal. Ia tak menduga. Bukan saja karena ia pejabat terpandang yang terkenal
baik dan dermawan, tapi karena ia adalah ayah seorang wanita yang dikaguminya,
Bunga Sugandi. Di antara teman seperjuangannya, hanya Dito yang tahu.
Penghentian
aktivitas reklamasi pantai seperti jauh panggang dari api. Dito sebagai leader pengawalan kasus reklamasi itu,
seperti patah arang. Ia tak tega dengan Bunga. Perusakan hutan mangrove kemungkinan
semakin menjadi-jadi. Ditentang aktivis saja, tak digubris para pengusaha
gedung bertingkat. Apalagi jika dibiarkan.
Sering
itu, seorang mahasiswa misterius yang dulu gencar mengkritisi aktivitas reklamasi
pantai dengan opininya di sebuah koran lokal, tak juga muncul kembali. Ia menghilang
bersama ide dan semangat perjuangannya yang terukir dengan aksara. Aksi
demonstrasi mahasiswa pun kemungkinan redup kembali. Mahasiswa akan kehilangan
pegangan.
Bunga
belum tahu berita tentang ayahnya itu. Dito sengaja menyembunyikan koran sejak
pagi tadi agar Bunga tak merasa apa-apa. Hingga sore pun menjelang. Awan gelap terlihat
menyelimuti bumi, sedangkan angkutan umum tak juga muncul. Hampir sejam sudah Bunga
menanti di halte. Tawaran Dito untuk mengantarnya pulang, selalu ditolak. Kabar
dari teman Dito pun memastikan bahwa angkutan umum tak akan datang. Para sopir
berunjuk rasa menuntut kenaikan tarif angkutan seiring dengan kenaikan harga
BBM. Terpaksa, untuk tawaran kesekian kalinya, Bunga bersedia diantar Dito
pulang ke rumahnya.
Mereka
pulang berboncengan di bawah langit yang mendung. Menelusuri jalan sempit demi
menghindari kemacetan akibat demonstrasi para sopir angkutan kota. Langit mungkin
tak tega membasahi mereka berdua. Air mata bumi seperti sengaja tertahan. Nyata
saja, hujan deras baru turun sesampainya mereka di teras rumah Bunga. Jadinya,
mau tak mau, Dito harus singgah beberapa waktu. Menunggu hujan reda.
“Kau
pulang dengan siapa?” tanya Ibu Bunga, dengan senyuman aneh tersungging di
wajahnya. Seperti meledek Bunga yang sebelumnya tak pernah diantar lawan
jenisnya.
“Oh,
ini Ma? Teman aku. Kenalkan, namanya Dito,” balas Bunga. Menampakkan wajah
kesal. Tak suka wajah Ibunya menggoda-goda padanya.
Dito
mengulurkan tangannya. Gemetaran. Entah kedinginan atau meresa deg-degan. Mereka
bertiga lalu duduk di kursi beranda rumah.
Lelaki
berkumis muncul di balik pintu. Ayah bunga. Meski wajahnya tampak garang, ia
mendahului Dito melemparkan senyuman. Ia menghampiri dan menjabat tangan Dito. “Oh,
pasti kau Nak Dito. Aku mengenalmu. Kalau aku tak salah tebak, kau salah satu aktivis
antireklamasi kan?
Dito
mengangguk. Memaksa pipinya yang kaku karena kedinginan untuk kembali mengembang.
Ia merasa segan terhadap orang tua wanita yang dikaguminya. Sosok yang selama
ini sesekali dikritisinya. “Iya om. Aku Dito yang om tahu,” balasnya.
“Haha.
Aku suka komentar-komentarmu di koran belakangan ini. Aku persis sepertimu
waktu masih muda. Dulu, aku juga aktivis pencinta lingkungan. Sama sepertimu,”
tuturnya. Wajahnya lalu berubah lesu. “Tapi kau tahulah, masuk ke lingkungan
pejabat pemerintahan sama dengan mempertaruhkan harga diri. Yang tampak seperti
kawan, bisa jadi lawan sebenarnya.”
Dito
tak segera membalas. Ia butuh lima detik untuk mengonsepkan kalimat yang tepat.
Takut salah ucap. “Iya. Sepertinya kesimpulan Om benar. Aku pun tak tahu jalan
hidupku ke depan bagaimana.” Dito mencoba bersikap hangat. Tampil bersahabat. Berharap
Ayah Bunga mengungkapkan fakta-fakta terselubung tentang reklamasi pantai.
“Nak
Dito pasti membaca berita di koran pagi tadi? Entahlah, apakah para mahasiswa
dan aktivis lingkungan tahu kalau di balik reklamasi pantai itu, aku tak punya
kuasa. Semua urusan berdasarkan di titah atasanku. Pak gubernur dan bupati. Aku
hanyalah bawahan. Aku harus melaksanakan perintahnya. Jadi pelayannya. Aku
adalah korban jebakan. Tak bisa berbuat apa-apa. Nama baik keluargaku pun jadi tercemar.
Aku telah memperkirakannya sejak beberapa bulan lalu. Karena itu juga, aku
meminta Bunga untuk bergabung di LSM Nak Dito. Bukan untuk melindungi
kepentinganku, tapi membela dan membuktikan kebenaran,” jelasnya.
Dito
tercengang mendengar penjelasan itu. Jalan cerita yang sulit dimengertinya. Ditahunya
sudah alasan Bunga rela bergabung di dunia yang sepi hiburan dunia. Rasa
penasaran mendesaknya bertanya lagi, “Apa yang membuat Om tak bisa melawan nafsu
para pejabat itu?”
“Mereka
orang besar. Penguasa media lokal. Mereka memimpin koloni para penguasa dan pengusaha
di kabupaten ini. Mereka bisa dengan mudah mengorbankan orang yang tak sejalan
dengannya. Bisa memaksakan kehendak menggunakan uang dan kekuasaan. Hukum pun
jadi sulit menyentuh mereka. Aku yang tak punya backing-an, terpaksa dikorbankan. Tapi sudahlah. Satu harapanku,
semoga tak terjadi apa-apa dengan kelaurgaku,” balasnya, dengan wajah yang masih
tampak penuh ketegaran.
Dito
lalu mengusap wajahnya yang membeku dengan fakta-fakta yang terungkap.
“Pasti
kau pernah baca tulisan opini Marhaen Bumi Malaka D. kan Nak Dito? Tulisannya
tak jauh meleset dari fakta reklamasi yang sebenarnya. Entah kenapa ia tak lagi
menulis. Aku berharap dia kembali menuliskan hasil kajiannya, sehingga kelak, kebenaran
benar-benar terungkap. Kau kenal orang itu kan? Berdasarkan identitasnya yang
tertulis di koran, dia juga mahasiswa program pascasarjana di kampusmu Nak Dito,”
tuturnya.
Seperti
biasa, Dito lagi-lagi menggeleng. Isyarat bahwa ia tak tahu. Tapi sebenarnya bohong.
Ia tahu semua. Kini, tekadnya memuncak lagi untuk kembali menulis dengan nama
samaran itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar