Senin, 07 Desember 2015

Sudahi Menunda Kebaikan

Sifat rendah diri tentu tidak baik. Apalagi jika terlalu berlebihan. Merasa tak punya apa-apa, sampai merasa paling tak berarti di antara yang lain. Perasaan itu akan memunculkan pola pikir masa bodoh dan tak punya harapan hidup. Menghilangkan daya luar biasa untuk senantiasa memberi kebaikan kepada orang lain. Selalunya ingin diberi sebab merasa orang paling tak berpunya. Padahal tak bersyukur saja.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi sesamanya. Sudah seharusnya kita berupaya memberikan kebaikan berarti untuk orang lain. Berusaha memberikan yang terbaik. Benar nasihat orang tua dahulu, bahwa selama kita bernyawa dan berakal sehat, akan selalu ada cara melakukan kebaikan. Tak melulu tentang materi. Bisa dengan tenaga, ilmu, sekadar senyuman, atau setidaknya tak merepotkan orang lain. 

Waktu terus berjalan, membawa kita sampai ajal. Tapi kita sering lupa. Lebih banyak waktu habis untuk memperdebatkan kebaikan daripada melaksanakannya. Menunda-nunda. Tak jarang dalam keadaan merasa tak berpunya, perikemanusiaan kita terlelap. Merintangi untuk memberi manfaat kepada orang lain. Tak mau membantu dengan sekadar apa yang dipunya. Bahkan tanpa sadar kita menyalahkan takdir. Menggerutu dalam hati: seandainya saja aku punya, aku akan membantu

Semisal ada orang tua yang minta diantar ke suatu tempat untuk satu kepentingan. Urusannya sangat mendesak. Kita malah berpikir pendek. Menolak membantu hanya karena tak punya kendaraan. Mengabaikan daya pikir dan rasa kemanusiaan kita. Padahal kita bisa meminjam kendaraan orang lain. Atau paling tidak, meminta maaf tak bisa membantu, lalu memberikan petunjuk secara santun tentang orang yang kira-kira bisa membantu.

Di waktu-waktu akan datanglah kita sering menggantungkan niat baik kita. Berharap suatu nanti menjadi orang berpunya, sehingga bersedia menyantuni. Tapi sampai jadi kaya raya, niat tulus dahulu hanya angan-angan. Tertunda, lalu tertunda. Kekurangan (walau sebenarnya merasa kurang saja) di masa lalu hanyalah alasan menuntut lebih. Tak nyata untuk memberikan kebaikan kepada orang lain seperti cita-cita mulia dahulu.

Sudah sering kita dengar pepatah: tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya memberi lebih baik daripada menerima. Menerima tidak lebih baik, tapi bukan berarti tak benar atau tak boleh. Di dunia ini setiap orang menjalani takdir rezeki yang telah ditetapkan. Akan ada orang yang membutuhkan bantuan dan akan ada pula yang diberi kemampuan untuk menolong. Karena itu juga, kehidupan saling membutuhkan terjadi di antara individu manusia. 

Setiap manusia memiliki naluri untuk memberi manfaat bagi sesamanya. Selalu ingin berbagi. Namun untuk memberi, kita perlu memiliki terlebuh dahulu. Memiliki lebih akan memberikan potensi untuk memberi lebih. Maka sepantasnyalah kita berusaha menjadi orang sukses dalam segala hal. Termasuk mewujudkan cita-cita keduniaaan. Misalnya menjadi orang kaya, berilmu, dan terkenal. Bukan sekadar untuk kepentingan diri sendiri, tapi untuk memberikan manfaat lebih kepada sesama. Dengan kekayaan kita bisa menyantuni, dan dengan ilmu dan ketenaran, kita bisa menyampaikan nasihat-nasihat kebaikan secara efektif kepada khalayak dalam waktu sekejap.

Seiring waktu, nasib dapat mengubah keadaan setiap orang. Yang dulu berada dipuncak, bisa saja terperosok jatuh ke posisi terbawah. Dulunya menyantuni, kini jadi butuh disantuni. Oleh karena itu, memberi kebaikan dengan apa yang kita punya, sangat tergantung dengan kesigapan kita memanfaatkan kesempatan yang ada. Bagaimana kita memanfaatkan waktu-waktu semasih berpunya untuk memberi lebih. Jangan sampailah nasib membuat kita menyesal.

Jelas, kita tak tahu kapan waktu akan memindahkan kita dari satu titik ke titik lain. Tak tahu kapan jatah waktu hidup kita tamat. Maka sudah seharusnya kita tak menunda-nunda dalam melakukan kebaikan. Berikanlah manfaat kepada orang lain dengan sebisa dan seada yang kita punya. Sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar