Kamis, 10 Desember 2015

Sahabat Kecil

Suasana hati Riza masih berduka. Baru seminggu yang lalu, ayahnya meninggal dunia. Meninggalkan sebuah wasiat. Bukan wasiat tertulis tentang harta benda. Riza adalah anak tunggal. Tak perlu wasiat. Tak ada cekcok tentang harta. Lagi pula, tak ada harta berarti yang ditinggalkan sang ayah. Wasiat itu hanya sebuah permintaan agar Reza menemui teman masa kecil ayahnya. Subian namanya. Di malam perpisahan itu, Riza pun mencatat sebuah alamat yang dieja sang ayah secara terbata-bata. Sepucuk amplop juga diterima Riza untuk diberikan pada teman ayahnya itu. Tak boleh dibukanya. Entah isi apa. Riza pun jadi tak mengerti apa maksud sang ayah memintanya bertemu dengan orang yang tak dikenalnya itu. Tapi karena pesan itu diucapkan di akhir hayat sang ayah, permintaan terakhir, Riza yakin itu sangat penting.

“Nak, ayah mohon, temuilah Pak Subian sepeninggal ayah. Sampaikah ucapan terima kasih dan permohonan maaf ayah padanya. Ayah mohon,” pinta ayah Riza, saat di detik-detik terakhir hidupnya.

Beserta rasa penasarannya, hari ini, Riza menuju ke alamat yang almarhum ayahnya maksud. Sampai waktu membawanya di sebuah rumah mewah, satu di antara deretan rumah orang-orang berada, di sebuah kompleks perumahan elit yang asri. Setelah menyapa penghuni rumah yang sedang bersantai di teras, ia kecewa. Rumah itu bukan milik Pak Subian. Riza jadi ragu bahwa ia mencatat dengan benar alamat yang diejaan ayahnya di malam terakhir. Bisa jadi juga rumah itu telah berulang kali pindah kepemilikan. Entahlah. Riza pun pulang dengan seribu tanya tak terjawab, tentang apa hubungan ayahnya dengan Pak Subian itu. Gundah merasukinya. Bingung entah bagaimana caranya menemukan orang yang diakui ayahnya sebagai teman kecilnya.

***

Dahulu, semasih muda, ayah Riza, Kastuni, hanyalah anak dari seorang lelaki miskin. Namanya Kunto. Pengumpul kayu bakar di hutan untuk dijajakan di depan rumahnya. Hanya para pelancong dari kota yang dinantikan membeli jualan murahnya itu. Karena tinggal di kaki gunung, di musim liburan, ada juga wisatawan, para pendaki gunung, yang memilih menginap di sekitar rumahnya. Merekalah yang membeli kayu bakarnya untuk digunakan memasak atau memanaskan badan kala istirahat berkemah. Kalau sedang kuat-kuatnya, Pak Kunto akan memikul kayu bakarnya ke pasar untuk dijual. Berjalan kaki sekitar tiga jam. Hitung-hitung untuk dapat biaya pembeli garam dan beberapa butir telur. Pak Kunto memang tak punya lahan untuk bercocok tanam. Makanya, jika musim hujan adalah berkah baginya. Ia akan turut menjadi buruh di ladang tetangga. Digaji harian untuk menanami sawah-sawah tetangganya. Sesekali Kastuni kecil ikut.

Karena tak cukup biaya, keinginan Kastuni untuk bersekolah selalu saja tertunda. Bisa  makan dan tidur nyanyak, sudah cukup bagi Pak Kunto dan anak semata wayangnya. Padahal Kastuni tampak punya bakat dan kecerdasan terpendam. Keadaan saja yang mengurung kemampuan luar biasanya itu. Di umurnya yang tujuh tahun, ia sudah bisa mengeja, berhitung dasar, dan menggambar pemandangan. Sekadar bertanya pada ayahnya yang hanya tamatan SMP. Karena penasaran tentang sekolah, pernah suatu hari Kastuni menuruni lereng gunung, lalu menyeberangi sungai untuk sampai di sebuah bangunan SD. Ia berjalan bersama, Bio, anjing kampung kesayangannya. 

Dengan pakaian lusuh nan kumalnya, ia akhirnya muncul di lingkungan sekolah. Tepat di waktu istirahat jam pelajaran. Karena rasa malu layaknya anak kampung, ia hanya duduk di bawah pohon beringin. Memandangi anak-anak sekolah suka ria bermain. Menelan air liurnya kala tertarik mengecapi es krim yang dijilati anak-anak sebayanya. Tak sekali pun ia tak pernah mencicipi itu selama hidup.  

“Hai, nama kamu siapa?” tanya anak laki-laki bertubuh gempal. 

“Namaku Kastuni. Kamu namanya siapa?” balasnya bertanya.

“Subian. Kamu tak sekolah?” tanya Subian.

“Tidak. Ayahku tak punya biaya. Tapi ia janji, suatu waktu jika ada uang, ia akan menyekolahkanku,” balasnya polos, sembari menyeka ingusnya yang merayap turun dari kedua lubang hidungnya.

“Memangnya ayahmu kerja apa?”

“Penjual kayu bakar. Kami tinggal di lereng gunung sana,” jelas Kastuni, sambil menunjuk rumahnya yang nampak sebesar semut. Hanya nampak bias cahaya dari atap sengnya.

“Jauh ya. Suatu saat, kau tak keberatan kan kalau aku berkunjung ke rumahmu. Aku jadi penasaran. Pasti bangunan sekolah ini terlihat kecil jika dilihat dari tempat sejauh itu,” renung Subian. “Kalau kau ke sini lagi dan punya waktu, jalan-jalanlah ke rumahku. Rumahku yang beratap warna merah di sana. Sebut saja kalau kau temanku.”

Kastuni hanya mengangguk. Nyengir, hingga terlihat gigi susunya ompong. 

Kedua anak beda kasta bak langit dan bumi itu, mengobrol begitu akrab. Di perkenalan pertamanya, mereka tampak sudah seperti teman baik. 

Jam pelajaran pun dimulai. Mereka berpisah sambil memendam tekad untuk bertemu kembali. Kastuni pun bergegas menanjaki lereng gunung, menuju rumahnya. Berjalan lebih satu jam melewati semak belukar dan pepohonan rindang. Sesekali ia singgah beristirahat, atau memanjati pohon jambu biji yang tumbuh liar. Namun ia tak boleh santai. Harus cepat-cepat. Takut membuat khawatir ayahnya. Jam satu siang, biasanya sang ayah sudah tiba di rumah. Ia harus tiba di rumah sebelum itu.

Langit gelap. Malam.

“Ayah, aku ingin sekolah. Boleh kan? Tahun lalu, ayah kan pernah berjanji padaku, kalau tahun ini, aku akan sekolah? Umurku sudah tujuh tahun ayah,” rengek Kastuni kala menunggu nasi matang ditanak di beranda rumah panggung mereka. 

Pak Kunto tersentak dengan pertanyaan anaknya. Rasa kasihan mengetuk kalbunya. Merasa seperti ayah tak berguna. “Ayah tak pernah melarangmu bersekolah Nak. Ayah sangat ingin kau bersekolah agar hidupmu tak susah seperti ayah. Tapi apa boleh buat. Ayah tak punya uang lebih untuk biaya sekolahmu,” tuturnya, sembari mengusap ubun-ubun kepala sang anak.

Hening untuk sesaat. Kastuni mencoba memahami keadaan. “Tapi aku ingin sekolah ayah,” tutur Kastuni dengan wajah cemberutnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Menahan air matanya jangan sampai menetes.

“Maafkan ayah Nak. Besok-besok kalau kayu bakar kita laku, atau ayah dapat kerjaan banyak di lahan tetangga, ayah akan menabung duitnya untuk kamu sekolah,” tuturnya sambil merekahkan senyum pada anaknya. Tapi sebenarnya haru melanda jiwanya. “Kamu sabar ya.”

Malam itu berlalu dengan gelisah yang berkecamuk di hati ayah dan anak. Mereka memendam tekad masing-masing. Pak Kunto bertekad mencari uang untuk sekolah anaknya, sedangkan Kastuni bertekad segera bersekolah. Keadaan membuat mereka harus lebih banyak diam. Membiasakan diri mengalah daripada menuntut.

Sepuluh hari selanjutnya, Kastuni tak bisa menahan hasratnya untuk kembali turun bukit. Mengunjungi sekolah. Ia berharap, di sana akan bertemu lagi dengan Subian. Sesampainya di lingkungan sekolah, sekitar jam 9 pagi, para murid masih belajar di kelas. Kastuni pun melewatkan waktunya duduk di bawah pohon rambutan. Di balik celah besar pada susunan papan dinding sekolah, ia menatap ke arah seorang guru yang sedang menerangkan pelajaran di dalam kelas. Ia menyimak serius. Jelas saja, si guru bertanya-tanya tentang gerak-gerik Kastuni yang sedari tadi menatap ke arahnya. 

Setelah lonceng istirahat jam pelajaran berdenting, sang guru pun bergegas keluar. Mengampiri Kastuni yang menenteng beberapa lembar kertas bekas dan sebuah pensil. Itu diperolehnya dari tempat sampah sekolah. Rencananya akan dibakar sore hari. 

“Nama kamu siapa Nak?” 

“Kastuni Pak.”

“Kamu tak sekolah?”

“Belum Pak. Ayahku belum punya uang cukup untuk aku sekolah.”

“Ayah…. Hai Kastuni,” sorak Subian ke arah mereka. 

Sekarang, Kastuni tahu kalau ayah Subian adalah seorang guru.
 
“Kalian sudah saling mengenal?” tanya ayah Subian.

“Iya ayah. Hari Jumat lalu, dia bermain ke sini. Kami sudah saling mengenal. Kan Kastuni?”

Kastuni hanya mengangguk sambil menyungging segan.

“Ayah, tak mengapa kan kalau Kastuni kuajak ke rumah? Kami ingin bermain bersama,” pinta Subian.

“Iya Nak. Tak mengapa. Setiap hari juga boleh,” balas ayahnya sembari tersenyum penuh kesan. “Ambil ini. Pergi sana beli es. Beli juga untuk Kastuni,” sambungnya, sambil memberikan uang ke Subian.

Sepulang sekolah, Kastuni pun bertamu ke rumah Subian. Jaraknya hanya 50 meter dari sekolah. Mereka lalu melewati hari yang panjang bersama. Menonton televisi, bermain kelereng, hingga mandi di sungai. Tak terasa sore menjelang. Sudah terlambat bagi Kastuni untuk pulang ke rumah. Ia sadar bahwa tindakannya itu akan membuat ayahnya khawatir. Namun kesenangannya bermain dengan Subian membuatnya lupa waktu. Untuk hari ini, ia ingin bermain terus.

Jam lima sore, datanglah Pak Kunto ke rumah Subian. Ia mendapat petunjuk dari warga kalau Kastuni sedari tadi bermain di rumah salah satu rumah. Ia pun bergegas ke rumah berlantai satu dengan taman yang luas itu. 

“Permisi Pak…,” Ayah Kastuni mengedip-ngedipkan matanya. Memicing-micingkannya dalam-dalam. Ia mengenal sosok yang mengarah padanya. Lelaki tegap yang hendak membukakan pagar rumah untuknya, ayah Subian. Ekspresi serupa ditunjukkan lelaki berkumis itu.

“Kunto!” terka ayah Subian.

“Subandi?”

“Hahaha.” Mereka tertawa lepas. Hampir bersamaan. 

Mereka saling memegang pundak, lalu berpelukan. Berulang begitu sampai tiga kali. Kedua teman kecil di masa lalu itu tak menyangka bisa dipertemukan kembali.

“Ayo masuk ke rumah. Haha. Dari mana saja kau selama ini kawan?” tanya Subandi sambil menepuk-nepuk lengan Kunto.

“Ya. Aku di sekitar sini saja. Seperti inilah aku sekarang. Kau tampak semringah saja Bandi. Sekarang kau pasti sudah menjadi seorang dosen seperti cita-citamu dahulu kan?” balas Kunto.

“Haha. Cita-citaku tak kesampaian. Aku sekarang hanya seorang guru SD,” balasnya. “Kamu sendiri bagaimana. Sudah jadi ahli mensin handal? Atau kau sudah memiliki bengkel yang memiliki cabang di mana-mana?” tanya balik Subandi.

“Takdir hidupku jauh dari yang kucita-citakan. Aku sekarang bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Aku hanya pekerja serabutan. Ya, baginilah keadaanku sekarang. Tapi aku bangga, teman baikku dahulu sukses seperti ini,” balas Kunto, tersenyum, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Isyarat kekagumannya.

“Haha. Yang penting kan bahagia. Tak mesti kaya. Itu katamu dulu, kawan. Yang pasti kau bahagia kan dengan perempuan dambaanmu semasih kita SMP dahulu. Kalian sampai menikah kan?”

“Iya. Kami memang jadi menikah. Tapi, ya namanya perempuan yang punya latar belakang orang berada, dia sulit meninggalkan kebiasaannya berfoya-foya. Akhirnya usaha bengkel yang kurintis bangkrut. Karena tak tahan hidup menderita, ia akhirnya pergi entah ke mana.”

“Kamu sudah punya akan darinya?”

“Iya. Namanya Kastuni. Warga di sini menduga kalau ia main di rumahmu. Makanya aku ke sini.”

Seketika juga, Subian disoraki oleh ayahnya agar ia beserta Kastuni menghadap kepadanya. Betapa kagetnya Kastuni ketika melihat ayahnya duduk di samping ayah Subian. Ia takut kena marah. Kalaupun tidak sekarang, pasti sesampainya di rumah nanti.

“Dari mana saja kamu Nak. Kamu tahu kan, kalau sore-sore begini, kau seharusnya sudah ada di rumah. Kau membuat ayah khawatir saja. Jika pulang selarut ini, berarti kau akan kemalaman di tengah jalan,” tutur ayah Kastuni.

“Maafkan aku ayah. Aku hanya ingin bermain dengan Subian untuk hari ini saja,” balas Kastuni. Air maya menetes di pipinya yang tirus.

“Sudahlah Kunto. Namanya juga anak-anak. Masih suka bermain hingga lupa waktu. Yang pasti kan dia baik-baik saja di sini. Bermalam di sini juga kami tak mempermasalahkan,” tutur Subandi.

“Iya Om. Biarlah Kastuni di sini saja. Kami ingin bermain bersama,” pinta Subian.

“Iya Nak. Aku senang kalian bisa menjadi teman baik. Tapi Kastuni harus pulang. Kami takut kemalaman jika telat. Rumah kami jauh di bukit sana,” balas Kunto.

“Kunto, aku paham keadaanmu sekarang. Aku juga tahu betapa besar keinginan Kastuni untuk bersekolah. Jadi jika tak keberatan. Biarkanlah ia tinggal di sini dan bersekolah dengan Subian. Mereka pasti akan sangat bahagia. Kau tak usah merasa segan. Setidaknya ini tanda terima kasihku karena dulu kau telah menjadi teman kecilku yang baik. Kaulah yang membuat masa kecilku indah dikenang. Izinkahlah aku membalas budi dan berterima kasih,” pinta Subandi.

Setelah melalui percakapan yang alot, akhirnya Kunto menyepakati anaknya tinggal dan bersekolah. Apalagi, ia juga tak tega melihat betis kurus Kastuni harus menapaki jalan setapak terjal selama dua jam lebih untuk pergi-pulang ke sekolah. Akhirnya, jadilah Subian dan Kastuni teman baik di sekolah setiap hari, seperti ayah mereka dahulu. Sepasang sahabat kecil.

***

Setelah sehari sebelumnya tak menjumpai Pak Subian, berbekal petunjuk dari Ketua RT, Reza akhirnya mengunjungi sebuah alamat. Di sanalah kiranya Subian pindah empat tahun lalu. Sesampainya di alamat yang ditunjukkan, Reza akhirnya mendapati sebuah rumah yang sangat sederhana. Di bawah naungan pohon beringin yang menjulang tinggi. Berdinding anyaman bambu dan beratap jerami. Kontras dengan rumah pertama yang ditemuinya di perumahan elit, kemarin. 

“Ada apa anak muda? Cari siapa?” tanya lelaki gendut yang sedang membelah kayu bakar kepada Reza. Seperti tak bersahabat. Ia hanya sekali menoleh Riza yang melongok di belakangnya.

“Aku cari seseorang bernama Pak Subian Om. Berdasarkan alamat yang kudapakan, ini rumah Pak Subian,” balasnya terbata-bata.

“Namamu siapa? Ada kepentingan apa kau mencarinya?” dongkol lelaki itu.

“Namaku Reza Subian Kastuni. Ayahku yang meminta aku menemuinya Om.”

Lelaki berkumis itu menegapkan badannya. Menatap tajam ke arah Reza. “Jadi kau ini anak Kastuni? 

Akulah orang yang kau cari, Nak,” tuturnya, mencoba tersenyum tapi kaku. Meletakkan kapak yang digenggammnya. Mendekat, lalu memeluk erat Reza. “Bagaimana kabar ayahmu Nak?”

“Ayahku sudah meninggal seminggu yang lalu. Di detik-detik akhir hidupnya, ia memintaku menemui Om. Dia menitip sebuah surat. Entah apa isinya. Aku dilarang membukanya. Ini surat yang kumaksud Om,” jelas Reza, lalu menyodorkan sebuah amplop dari tas ranselnya.

Pak Subian hanya berdiri melongok. Menatap kosong ke arah Reza. Bak melihat tabrakan kendaraan terjadi di depannya. Seperti tak percaya apa yang barusan didengarnya.

“Maafkan aku kawan. Kehadiranku dalam keluargamu dahulu kuakui menimbulkan masalah. Tapi yakinlah, aku tak maksud merebut kasih sayang orang tuamu. Aku tak pernah meminta dijadikan anak angkat oleh mereka. Tapi karena keadaan yang memaksa sepeninggal orang tuaku, aku terpaksa menggantungkan nasibku pada orang tuamu. Kurasa kau tahu itu. 

Kini aku telah berkeluarga. Semenjak itu, aku tak tinggal lagi bersama kedua orang tuamu, orang tua angkatku. Terus terang, mereka sangat merindukanmu. Mereka sering sakit-sakitan karena memikirkan keadaanmu. Pulanglah ke mereka sebelum semuanya terlambat Saudaraku. Jika kau tak bisa memaafkan aku, setidaknya maafkanlah dirimu. Berdamailah dengan masa lalumu.

Aku yakin kau masih ingat masa-masa kecil kita. Sebenci apa pun kau kepadaku sekarang, kuharap masa-masa itu masih bisa membuatmu memaafkan aku, kelak. Maafkan aku. Terima kasih sudah menjadi teman kecilku.”

Membaca surat itu, membuat Subian merasa sangat berdosa. Berdosa pada Kastuni dan kepada kedua orang tuanya. Ia ingin segera pulang, menemui orang tuanya. Bersimpuh di hadapan mereka. Memohon maaf atas kebandelannya selama ini. Mengakui bodohnya sikap kekanak-kanakannya yang tak terima kanyataan bahwa saudara angkatnya, Kastuni, akan turut menerima warisan orang tuanya kelak.

Subian Merenung lama. Menangis tersedu. Lalu kembali memeluk Reza. “Nak, tingggallah denganku. Anggap saja aku sebagai Ayahmu,” pinta Subian pada Reza.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar