Suasana
hati Riza masih berduka. Baru seminggu yang lalu, ayahnya meninggal dunia.
Meninggalkan sebuah wasiat. Bukan wasiat tertulis tentang harta benda. Riza
adalah anak tunggal. Tak perlu wasiat. Tak ada cekcok tentang harta. Lagi pula,
tak ada harta berarti yang ditinggalkan sang ayah. Wasiat itu hanya sebuah
permintaan agar Reza menemui teman masa kecil ayahnya. Subian namanya. Di malam
perpisahan itu, Riza pun mencatat sebuah alamat yang dieja sang ayah secara
terbata-bata. Sepucuk amplop juga diterima Riza untuk diberikan pada teman
ayahnya itu. Tak boleh dibukanya. Entah isi apa. Riza pun jadi tak mengerti apa
maksud sang ayah memintanya bertemu dengan orang yang tak dikenalnya itu. Tapi
karena pesan itu diucapkan di akhir hayat sang ayah, permintaan terakhir, Riza
yakin itu sangat penting.
“Nak,
ayah mohon, temuilah Pak Subian sepeninggal ayah. Sampaikah ucapan terima kasih
dan permohonan maaf ayah padanya. Ayah mohon,” pinta ayah Riza, saat di
detik-detik terakhir hidupnya.
Beserta
rasa penasarannya, hari ini, Riza menuju ke alamat yang almarhum ayahnya maksud.
Sampai waktu membawanya di sebuah rumah mewah, satu di antara deretan rumah
orang-orang berada, di sebuah kompleks perumahan elit yang asri. Setelah
menyapa penghuni rumah yang sedang bersantai di teras, ia kecewa. Rumah itu
bukan milik Pak Subian. Riza jadi ragu bahwa ia mencatat dengan benar alamat
yang diejaan ayahnya di malam terakhir. Bisa jadi juga rumah itu telah berulang
kali pindah kepemilikan. Entahlah. Riza pun pulang dengan seribu tanya tak
terjawab, tentang apa hubungan ayahnya dengan Pak Subian itu. Gundah merasukinya.
Bingung entah bagaimana caranya menemukan orang yang diakui ayahnya sebagai
teman kecilnya.
***
Dahulu,
semasih muda, ayah Riza, Kastuni, hanyalah anak dari seorang lelaki miskin.
Namanya Kunto. Pengumpul kayu bakar di hutan untuk dijajakan di depan rumahnya.
Hanya para pelancong dari kota yang dinantikan membeli jualan murahnya itu. Karena
tinggal di kaki gunung, di musim liburan, ada juga wisatawan, para pendaki
gunung, yang memilih menginap di sekitar rumahnya. Merekalah yang membeli kayu
bakarnya untuk digunakan memasak atau memanaskan badan kala istirahat berkemah.
Kalau sedang kuat-kuatnya, Pak Kunto akan memikul kayu bakarnya ke pasar
untuk dijual. Berjalan kaki sekitar tiga jam. Hitung-hitung untuk dapat biaya pembeli
garam dan beberapa butir telur. Pak Kunto memang tak punya lahan untuk bercocok
tanam. Makanya, jika musim hujan adalah berkah baginya. Ia akan turut menjadi
buruh di ladang tetangga. Digaji harian untuk menanami sawah-sawah tetangganya.
Sesekali Kastuni kecil ikut.
Karena
tak cukup biaya, keinginan Kastuni untuk bersekolah selalu saja tertunda.
Bisa makan dan tidur nyanyak, sudah
cukup bagi Pak Kunto dan anak semata wayangnya. Padahal Kastuni tampak punya
bakat dan kecerdasan terpendam. Keadaan saja yang mengurung kemampuan luar biasanya
itu. Di umurnya yang tujuh tahun, ia sudah bisa mengeja, berhitung dasar, dan
menggambar pemandangan. Sekadar bertanya pada ayahnya yang hanya tamatan SMP. Karena
penasaran tentang sekolah, pernah suatu hari Kastuni menuruni lereng gunung,
lalu menyeberangi sungai untuk sampai di sebuah bangunan SD. Ia berjalan bersama, Bio,
anjing kampung kesayangannya.
Dengan
pakaian lusuh nan kumalnya, ia akhirnya muncul di lingkungan sekolah. Tepat di
waktu istirahat jam pelajaran. Karena rasa malu layaknya anak kampung, ia hanya
duduk di bawah pohon beringin. Memandangi anak-anak sekolah suka ria bermain.
Menelan air liurnya kala tertarik mengecapi es krim yang dijilati anak-anak
sebayanya. Tak sekali pun ia tak pernah mencicipi itu selama hidup.
“Hai,
nama kamu siapa?” tanya anak laki-laki bertubuh gempal.
“Namaku
Kastuni. Kamu namanya siapa?” balasnya bertanya.
“Subian.
Kamu tak sekolah?” tanya Subian.
“Tidak.
Ayahku tak punya biaya. Tapi ia janji, suatu waktu jika ada uang, ia akan
menyekolahkanku,” balasnya polos, sembari menyeka ingusnya yang merayap turun
dari kedua lubang hidungnya.
“Memangnya
ayahmu kerja apa?”
“Penjual
kayu bakar. Kami tinggal di lereng gunung sana,” jelas Kastuni, sambil menunjuk
rumahnya yang nampak sebesar semut. Hanya nampak bias cahaya dari atap sengnya.
“Jauh
ya. Suatu saat, kau tak keberatan kan kalau aku berkunjung ke rumahmu. Aku jadi
penasaran. Pasti bangunan sekolah ini terlihat kecil jika dilihat dari tempat
sejauh itu,” renung Subian. “Kalau kau ke sini lagi dan punya waktu,
jalan-jalanlah ke rumahku. Rumahku yang beratap warna merah di sana. Sebut saja
kalau kau temanku.”
Kastuni
hanya mengangguk. Nyengir, hingga terlihat gigi susunya ompong.
Kedua
anak beda kasta bak langit dan bumi itu, mengobrol begitu akrab. Di perkenalan
pertamanya, mereka tampak sudah seperti teman baik.
Jam
pelajaran pun dimulai. Mereka berpisah sambil memendam tekad untuk bertemu
kembali. Kastuni pun bergegas menanjaki lereng gunung, menuju rumahnya. Berjalan
lebih satu jam melewati semak belukar dan pepohonan rindang. Sesekali ia
singgah beristirahat, atau memanjati pohon jambu biji yang tumbuh liar. Namun
ia tak boleh santai. Harus cepat-cepat. Takut membuat khawatir ayahnya. Jam
satu siang, biasanya sang ayah sudah tiba di rumah. Ia harus tiba di rumah
sebelum itu.
Langit
gelap. Malam.
“Ayah,
aku ingin sekolah. Boleh kan? Tahun lalu, ayah kan pernah berjanji padaku, kalau
tahun ini, aku akan sekolah? Umurku sudah tujuh tahun ayah,” rengek Kastuni
kala menunggu nasi matang ditanak di beranda rumah panggung mereka.
Pak
Kunto tersentak dengan pertanyaan anaknya. Rasa kasihan mengetuk kalbunya. Merasa
seperti ayah tak berguna. “Ayah tak pernah melarangmu bersekolah Nak. Ayah
sangat ingin kau bersekolah agar hidupmu tak susah seperti ayah. Tapi apa boleh
buat. Ayah tak punya uang lebih untuk biaya sekolahmu,” tuturnya, sembari
mengusap ubun-ubun kepala sang anak.
Hening
untuk sesaat. Kastuni mencoba memahami keadaan. “Tapi aku ingin sekolah ayah,”
tutur Kastuni dengan wajah cemberutnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Menahan air
matanya jangan sampai menetes.
“Maafkan
ayah Nak. Besok-besok kalau kayu bakar kita laku, atau ayah dapat kerjaan
banyak di lahan tetangga, ayah akan menabung duitnya untuk kamu sekolah,”
tuturnya sambil merekahkan senyum pada anaknya. Tapi sebenarnya haru melanda
jiwanya. “Kamu sabar ya.”
Malam
itu berlalu dengan gelisah yang berkecamuk di hati ayah dan anak. Mereka
memendam tekad masing-masing. Pak Kunto bertekad mencari uang untuk sekolah
anaknya, sedangkan Kastuni bertekad segera bersekolah. Keadaan membuat mereka harus
lebih banyak diam. Membiasakan diri mengalah daripada menuntut.
Sepuluh
hari selanjutnya, Kastuni tak bisa menahan hasratnya untuk kembali turun bukit.
Mengunjungi sekolah. Ia berharap, di sana akan bertemu lagi dengan Subian.
Sesampainya di lingkungan sekolah, sekitar jam 9 pagi, para murid masih belajar
di kelas. Kastuni pun melewatkan waktunya duduk di bawah pohon rambutan. Di
balik celah besar pada susunan papan dinding sekolah, ia menatap ke arah seorang
guru yang sedang menerangkan pelajaran di dalam kelas. Ia menyimak serius.
Jelas saja, si guru bertanya-tanya tentang gerak-gerik Kastuni yang sedari tadi
menatap ke arahnya.
Setelah
lonceng istirahat jam pelajaran berdenting, sang guru pun bergegas keluar.
Mengampiri Kastuni yang menenteng beberapa lembar kertas bekas dan sebuah pensil.
Itu diperolehnya dari tempat sampah sekolah. Rencananya akan dibakar sore hari.
“Nama
kamu siapa Nak?”
“Kastuni
Pak.”
“Kamu
tak sekolah?”
“Belum
Pak. Ayahku belum punya uang cukup untuk aku sekolah.”
“Ayah….
Hai Kastuni,” sorak Subian ke arah mereka.
Sekarang,
Kastuni tahu kalau ayah Subian adalah seorang guru.
“Kalian
sudah saling mengenal?” tanya ayah Subian.
“Iya
ayah. Hari Jumat lalu, dia bermain ke sini. Kami sudah saling mengenal. Kan
Kastuni?”
Kastuni
hanya mengangguk sambil menyungging segan.
“Ayah,
tak mengapa kan kalau Kastuni kuajak ke rumah? Kami ingin bermain bersama,”
pinta Subian.
“Iya Nak. Tak mengapa. Setiap hari juga boleh,” balas ayahnya sembari tersenyum penuh
kesan. “Ambil ini. Pergi sana beli es. Beli juga untuk Kastuni,” sambungnya,
sambil memberikan uang ke Subian.
Sepulang
sekolah, Kastuni pun bertamu ke rumah Subian. Jaraknya hanya 50 meter dari
sekolah. Mereka lalu melewati hari yang panjang bersama. Menonton televisi,
bermain kelereng, hingga mandi di sungai. Tak terasa sore menjelang. Sudah terlambat
bagi Kastuni untuk pulang ke rumah. Ia sadar bahwa tindakannya itu akan membuat
ayahnya khawatir. Namun kesenangannya bermain dengan Subian membuatnya lupa
waktu. Untuk hari ini, ia ingin bermain terus.
Jam
lima sore, datanglah Pak Kunto ke rumah Subian. Ia mendapat petunjuk dari warga
kalau Kastuni sedari tadi bermain di rumah salah satu rumah. Ia pun bergegas ke
rumah berlantai satu dengan taman yang luas itu.
“Permisi
Pak…,” Ayah Kastuni mengedip-ngedipkan matanya. Memicing-micingkannya dalam-dalam. Ia
mengenal sosok yang mengarah padanya. Lelaki tegap yang hendak membukakan pagar
rumah untuknya, ayah Subian. Ekspresi serupa ditunjukkan lelaki berkumis itu.
“Kunto!”
terka ayah Subian.
“Subandi?”
“Hahaha.”
Mereka tertawa lepas. Hampir bersamaan.
Mereka
saling memegang pundak, lalu berpelukan. Berulang begitu sampai tiga kali.
Kedua teman kecil di masa lalu itu tak menyangka bisa dipertemukan kembali.
“Ayo
masuk ke rumah. Haha. Dari mana saja kau selama ini kawan?” tanya Subandi
sambil menepuk-nepuk lengan Kunto.
“Ya.
Aku di sekitar sini saja. Seperti inilah aku sekarang. Kau tampak semringah
saja Bandi. Sekarang kau pasti sudah menjadi seorang dosen seperti cita-citamu
dahulu kan?” balas Kunto.
“Haha.
Cita-citaku tak kesampaian. Aku sekarang hanya seorang guru SD,” balasnya.
“Kamu sendiri bagaimana. Sudah jadi ahli mensin handal? Atau kau sudah memiliki
bengkel yang memiliki cabang di mana-mana?” tanya balik Subandi.
“Takdir
hidupku jauh dari yang kucita-citakan. Aku sekarang bukan siapa-siapa dan tak
punya apa-apa. Aku hanya pekerja serabutan. Ya, baginilah keadaanku sekarang.
Tapi aku bangga, teman baikku dahulu sukses seperti ini,” balas Kunto,
tersenyum, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Isyarat kekagumannya.
“Haha.
Yang penting kan bahagia. Tak mesti kaya. Itu katamu dulu, kawan. Yang pasti
kau bahagia kan dengan perempuan dambaanmu semasih kita SMP dahulu. Kalian
sampai menikah kan?”
“Iya.
Kami memang jadi menikah. Tapi, ya namanya perempuan yang punya latar belakang
orang berada, dia sulit meninggalkan kebiasaannya berfoya-foya. Akhirnya usaha
bengkel yang kurintis bangkrut. Karena tak tahan hidup menderita, ia akhirnya pergi
entah ke mana.”
“Kamu
sudah punya akan darinya?”
“Iya.
Namanya Kastuni. Warga di sini menduga kalau ia main di rumahmu. Makanya aku ke
sini.”
Seketika
juga, Subian disoraki oleh ayahnya agar ia beserta Kastuni menghadap kepadanya.
Betapa kagetnya Kastuni ketika melihat ayahnya duduk di samping ayah Subian. Ia
takut kena marah. Kalaupun tidak sekarang, pasti sesampainya di rumah
nanti.
“Dari
mana saja kamu Nak. Kamu tahu kan, kalau sore-sore begini, kau seharusnya sudah
ada di rumah. Kau membuat ayah khawatir saja. Jika pulang selarut ini, berarti
kau akan kemalaman di tengah jalan,” tutur ayah Kastuni.
“Maafkan
aku ayah. Aku hanya ingin bermain dengan Subian untuk hari ini saja,” balas
Kastuni. Air maya menetes di pipinya yang tirus.
“Sudahlah
Kunto. Namanya juga anak-anak. Masih suka bermain hingga lupa waktu. Yang pasti
kan dia baik-baik saja di sini. Bermalam di sini juga kami tak
mempermasalahkan,” tutur Subandi.
“Iya
Om. Biarlah Kastuni di sini saja. Kami ingin bermain bersama,” pinta Subian.
“Iya
Nak. Aku senang kalian bisa menjadi teman baik. Tapi Kastuni harus pulang. Kami
takut kemalaman jika telat. Rumah kami jauh di bukit sana,” balas Kunto.
“Kunto,
aku paham keadaanmu sekarang. Aku juga tahu betapa besar keinginan Kastuni untuk
bersekolah. Jadi jika tak keberatan. Biarkanlah ia tinggal di sini dan
bersekolah dengan Subian. Mereka pasti akan sangat bahagia. Kau tak usah merasa
segan. Setidaknya ini tanda terima kasihku karena dulu kau telah menjadi teman
kecilku yang baik. Kaulah yang membuat masa kecilku indah dikenang. Izinkahlah
aku membalas budi dan berterima kasih,” pinta Subandi.
Setelah
melalui percakapan yang alot, akhirnya Kunto menyepakati anaknya tinggal dan
bersekolah. Apalagi, ia juga tak tega melihat betis kurus Kastuni harus
menapaki jalan setapak terjal selama dua jam lebih untuk pergi-pulang ke
sekolah. Akhirnya, jadilah Subian dan Kastuni teman baik di sekolah setiap
hari, seperti ayah mereka dahulu. Sepasang sahabat kecil.
***
Setelah
sehari sebelumnya tak menjumpai Pak Subian, berbekal petunjuk dari Ketua RT,
Reza akhirnya mengunjungi sebuah alamat. Di sanalah kiranya Subian pindah empat
tahun lalu. Sesampainya di alamat yang ditunjukkan, Reza akhirnya mendapati
sebuah rumah yang sangat sederhana. Di bawah naungan pohon beringin yang
menjulang tinggi. Berdinding anyaman bambu dan beratap jerami. Kontras dengan
rumah pertama yang ditemuinya di perumahan elit, kemarin.
“Ada
apa anak muda? Cari siapa?” tanya lelaki gendut yang sedang membelah kayu bakar
kepada Reza. Seperti tak bersahabat. Ia hanya sekali menoleh Riza yang melongok
di belakangnya.
“Aku
cari seseorang bernama Pak Subian Om. Berdasarkan alamat yang kudapakan, ini
rumah Pak Subian,” balasnya terbata-bata.
“Namamu
siapa? Ada kepentingan apa kau mencarinya?” dongkol lelaki itu.
“Namaku
Reza Subian Kastuni. Ayahku yang meminta aku menemuinya Om.”
Lelaki
berkumis itu menegapkan badannya. Menatap tajam ke arah Reza. “Jadi kau ini
anak Kastuni?
Akulah orang yang kau cari, Nak,” tuturnya, mencoba tersenyum
tapi kaku. Meletakkan kapak yang digenggammnya. Mendekat, lalu memeluk erat Reza.
“Bagaimana kabar ayahmu Nak?”
“Ayahku
sudah meninggal seminggu yang lalu. Di detik-detik akhir hidupnya, ia memintaku
menemui Om. Dia menitip sebuah surat. Entah apa isinya. Aku dilarang
membukanya. Ini surat yang kumaksud Om,” jelas Reza, lalu menyodorkan sebuah amplop
dari tas ranselnya.
Pak
Subian hanya berdiri melongok. Menatap kosong ke arah Reza. Bak melihat
tabrakan kendaraan terjadi di depannya. Seperti tak percaya apa yang barusan
didengarnya.
“Maafkan aku kawan. Kehadiranku
dalam keluargamu dahulu kuakui menimbulkan masalah. Tapi yakinlah, aku tak
maksud merebut kasih sayang orang tuamu. Aku tak pernah meminta dijadikan anak
angkat oleh mereka. Tapi karena keadaan yang memaksa sepeninggal orang tuaku,
aku terpaksa menggantungkan nasibku pada orang tuamu. Kurasa kau tahu itu.
Kini aku telah berkeluarga.
Semenjak itu, aku tak tinggal lagi bersama kedua orang tuamu, orang tua angkatku.
Terus terang, mereka sangat merindukanmu. Mereka sering sakit-sakitan karena
memikirkan keadaanmu. Pulanglah ke mereka sebelum semuanya terlambat Saudaraku.
Jika kau tak bisa memaafkan aku, setidaknya maafkanlah dirimu. Berdamailah
dengan masa lalumu.
Aku yakin kau masih ingat masa-masa
kecil kita. Sebenci apa pun kau kepadaku sekarang, kuharap masa-masa itu masih
bisa membuatmu memaafkan aku, kelak. Maafkan aku. Terima kasih sudah menjadi
teman kecilku.”
Membaca
surat itu, membuat Subian merasa sangat berdosa. Berdosa pada Kastuni dan kepada
kedua orang tuanya. Ia ingin segera pulang, menemui orang tuanya. Bersimpuh di hadapan
mereka. Memohon maaf atas kebandelannya selama ini. Mengakui bodohnya sikap
kekanak-kanakannya yang tak terima kanyataan bahwa saudara angkatnya, Kastuni, akan
turut menerima warisan orang tuanya kelak.
Subian Merenung lama. Menangis tersedu. Lalu kembali
memeluk Reza. “Nak, tingggallah denganku. Anggap saja aku sebagai Ayahmu,”
pinta Subian pada Reza.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar