Entah
beberapa kali kita berpapasan. Aku tak tahu, sebab aku tak menghitung jumahnya.
Yang pasti, sering kali. Tapi semua berlangsung begitu cepat, dan berlalu
begitu saja. Tak ada komunikasi berarti, yang membuat rangkaian perjumpaan itu,
menjadi penting untuk kuarsipkan. Paling, kau hanya memandangku, sembari
melayangkan senyuman terpaksa. Dan atas sikapmu yang dingin, aku sadar diri,
tak akan menjadi pemeran utama dalam imajinasimu.
Akhirnya,
banyak hari yang aku habiskan demi menemukan momen yang tepat bersamamu.
Beberapa kali aku berkunjung ke sebuah toko buku favoritmu, sambil
berharap-harap cemas, bahwa kau akan muncul tiba-tiba. Datang mencari buku yang
akan menjadi teman sepimu, atau sekadar berjalan-jalan. Apalagi kulihat, beberapa
hari sudah, blog pribadimu tak lagi memuat cerita-cerita baru. Kupastikan,
sebagaimana penulis, kau sedang kehabisan ide dan butuh bahan inspirasi,
semacam buku.
Dan
terjadi juga. Dari sekian banyak kemungkinan, akhirnya, kita bertemu di sebuah
toko buku yang kumaksud. Kau muncul sembari melayangkan senyuman singkat
padaku. Jelas, aku merasa gugup. Apalagi kala jarak kita semakin pendek.
Bersisian berdua, di antara jajaran buku yang bisu. Entah bagaimana juga bentuk
perasaanmu. Yang kulihat, kau sibuk sendiri, mencari buku yang kau tuju. Kau
tampak enggan mengobrol denganku, atau setidaknya bersapaan.
Jelas
saja, aku tak ingin melewatkan kesempatan emas itu. Aku ingin kita
berkomunikasi, lebih dari sekadar berbagi tanda. Dan kuharap, perlahan, kelak, kita
ditakdirkan menjalani sebuah kebersamaan, hingga kau tergugah untuk menjadikanku
sebagai tokoh utama dalam cerita-ceritamu.
“Hai,
Ringgo,” kataku, segan, sambil mengangkat tangan, sebahu. Kurasa, sebagai teman
sekampus, meskipun kita tak pernah mengobrol, kau tak akan heran namamu kusebut
tanpa perlu berkenalan lebih dahulu.
Kau
menoleh padaku, tersenyum singkat, kemudian berpaling lagi dariku.
Aku
pun jadi kikuk. Ada jeda tiga detik untuk aku meredakan kecanggungan, hingga ketenanganku
pulih untuk segera melontarkan kata. “Cari buku apa?”
Kembali,
kau menoleh padaku dengan tatapan yang tajam. “Entahlah. Aku tak punya target.
Aku hanya melihat-lihat. Kalau ada yang menarik, ya aku beli,” katamu, kemudian
lekas berpaling pada deretan buku yang terpajang. “Ada kalanya, kita tak perlu
menetapkan sasaran, biar keadaan yang menuntun kita pada pilihan.”
Seketika,
aku terkesan pada tutur katamu. Terdengar indah. Seakan-akan kau sedang membaca
kalimat-kalimat yang kau tuliskan di blogmu. “Ya, kau benar. Aku ke sini,
juga tanpa tahu akan beli buku apa.” Aku lalu berdehan. Memberi aba-aba sebelum
menuturkan sebuah permintaan. “Kamu ada saran buku untuk pembaca fiksi pemula,
seperti aku?”
Segera
saja kau melangkah ke sisi kiri. Mengambil sebuah novel terbitan lama. “Karena
kau mengaku diri pemula, novel ini, bisa jadi cocok untukmu. Ceritanya menarik.
Tata bahasannya juga rapi, tanpa majas-majas yang berlebihan.”
Aku
lalu menyambut sodoran buku pilihanmu. “Terima kasih,” kataku.
Sambil
tersenyum, kau mengangguk. Mengucap kata berpisahan, kemudian beranjak pergi,
sembari menenteng sebuah novel luncuran terbaru.
Dan
kala hadirmu belum cukup membalas penantianku yang lama, kau telah menghilang. Tapi
aku sadar, memang tak ada alasan untukmu berlama-lama denganku. Kita tak punya
relasi dalam soal apa pun, sehingga kau boleh mengabaikanku setiap saat. Namun anggapanku
bahwa kau adalah seorang lelaki yang cuek dan tak peduli, ternyata harus
kuralat sesegera mungkin. Sungguh, aku tak benar-benar merasa diabaikan,
setelah tahu, kau pergi dengan terlebih dahulu membayar tagihan untuk novel
yang kau pilihkan sendiri untukku.
Pertemuan
singkat kita di toko buku, menjadi awal dari sebuah kisah penuh misteri. Kau
memang tak seramah lelaki lain, tapi kukira, bukan berarti tak perhatian.
Rasa-rasanya, kau hanya ingin menjajaki kedekatan denganku secara perlahan.
Layaknya sebuah cerita fiksi, perlu juga mengulur-ulur adegan, untuk disambung
di lain waktu. Kau sengaja pergi kala aku masih memendam tanya, agar aku
mencarimu demi sebuah jawab. Kau bersikap cuek, setelah yakin bahwa benih-benih
rasa yang kau tabur dengan pesona, akan tumbuh dalam hatiku. Kau meninggalkanku
dengan sebuah buku, yang jelas akan membuatku terus terkenang tentang kita.
Benar
saja, hari demi hari, kita menjadi semakin akrab karena sebuah buku yang kau
hadiahkan padaku secara tidak langsung. Awalnya, aku menghampirimu, lalu
pura-pura memaksa agar kau sudi menerima uang pengganti dariku. Tapi, kau berkeras
menolak. Aku pun mengalah, setelah menegaskan padamu, bahwa aku akan tetap
menganggap buku itu adalah milikmu. Aku berjanji akan mengembalikannya suatu
saat nanti.
Dan
status kepemilikan buku yang menggantung, menjadi kedok untuk kita lebih dekat.
Bukan hanya aku, tetapi kubaca jelas, kau juga suka memanfaatkan benda itu
sebagai alasan untuk berkomunikasi denganku. Kau rajin mengapeli perkembangan
bacaanku. Kau menuntunku supaya membaca sampai tuntas, agar kita bisa
membedahnya sama-sama. Kau berucap tegas, tak akan mau menerima kembali novel
itu sebagai milikmu, sebelum aku mengkhatamkannya, dan mengerti sekilas soal
sastra.
Seiring
waktu, hubungan kita jadi semakin dekat. Tak ada kepura-puraan lagi, sampai
keseganan pun sirna. Kita berani jujur satu sama lain, untuk semua perihal tentang
kita. Tak ada halangan untukku meminta kala membutuhkanmu, sebagaimana kau
membutuhkanku. Ketulusanmu, sebagaimana ketulusanku. Kita, hanya kita. Hingga,
sampailah pada saat-saat yang membahagiakan, pada puncak cerita, kala kau
mengutarakan perasaan padaku, dan aku menerimanya dengan senang hati.
Pada
hari-hari yang panjang, kita pun sering jalan beriringan. Kau tak lagi
mengunjungi toko buku seorang diri, dan aku pun tak harus menanti kehadiranmu di
ruang dan waktu yang tak menentu. Kita bersama, penuh kerelaan, sebab kau dan
aku, telah mampu meleburkan ego pribadi ke dalam ego kita. Aku dan kau, di
satu, kita. Hingga, kita pun tak pernah mempermasalahkan siapa gerangan pemilik
novel yang telah mempertautkan kita dalam hubungan yang tak biasa.
Dan
sebagai pujaan hati dari seorang penulis, harapanku yang lain pun terwujud.
Kutilik beberapa cerita di blog pribadimu, dan aku bisa memastikan, bahwa kau
menuliskan tentang kita. Kau menulis tentang pertemuan kita di toko buku,
tentang kita yang berdiskusi soal karya-karya sastra, hingga tentang kita dalam
momen penghabis waktu yang tak penting. Kau menuliskan semua itu dengan penuh
perasaan, hingga narasimu kurasa lebih indah dari kisah nyata.
Tapi
akhirnya, yang kuduga, terjadi juga. Sebagaimana kegilaan penulis, kau larut
dalam duniamu sendiri. Kehadiranku sebagai tokoh utama dalam ceritamu, malah
merentangkan jarak di antara kita. Kau jadi sibuk bermain dalam imajinasimu
tentang kita, sampai lupa dengan hubungan kita di dunia nyata. Perhatianmu
tercurah pada kata-kata yang kau tuliskan, hingga kau tak berselera lagi bertutur
sapa denganku. Tanpa rasa bersalah, kau bahkan abai mempertanyakan kabarku
setiap waktu, seperti biasa. Hingga aku pun pasrah menerima kenyataan, bahwa
aku padamu, hanyalah ilusi yang hidup dalam kata-kata.
“Aku
merasa, hubungan kita cukup sampai di sini,” kataku, saat bertemu denganmu di
sebuah kafe. Aku bertutur dengan sedikit rasa takut, bilamana kau berat hati
menerima keputusanku. “Tapi aku tetap berharap, kita masih berteman baik,
seperti seharusnya.”
Kau
mengangguk-angguk. Seperti tanpa beban. “Ya, kalau itu keputusan yang kau
inginkan, aku tak masalah.”
Sungguh,
aku heran melihat sikapmu. Begitu tak acuh. Seakan-akan tak pernah ada rasa cinta
dalam hatimu, untukku. Sampai kuduga, kau tak lagi peduli padaku sedikit pun. Kau
telah menyimpan tentangku dalam dunia imaji. Kau mencintai kehidupan fiksi itu dan
seisinya, sebagaimana seorang penulis sejati yang tak pernah tulus mencintai
apa pun, selain kata-kata tertulis dan bayangan imajinasinya. Aku sadar tentang
itu, bahkan sebelum kita bertemu di toko buku.
“Ambillah
kambali novel milikmu ini,” kataku, sembari menyodorkan novel yang pernah
menghubungkan kita. “Aku memberikannya padamu, bukan karena kita berpisah,
tetapi karena aku telah memenuhi tantanganmu. Aku telah memahami arti dunia
fiksi, dan orang-orang yang bergelut dengan itu.”
Kau
tersenyum. “Apa kesimpulanmu?”
“Penulis
fiksi, hanya seorang pencinta kata-kata. Tak lebih dari itu,” tandasku.
Kau
mengangguk. Tampak setuju.
Aku
tersenyum singkat, pamit, lalu menghilang dari pandanganmu.
Keesokan harinya, kulihatlah, kau menuliskan cerita terakhir tentang kita di blog
pribadimu. Kau menuliskan, betapa tragis kisah seseorang yang jatuh cinta pada
seorang penulis. Betapa tragis kisah seseorang yang tak pernah dicintai kekasihnya
dengan tulus, sebab sang kekasih lebih mencintai kata-kata yang ia tuliskan.
Tanpa
mengharap apa-apa lagi, aku relakan kisah kita untuk kau tuliskan, meski dengan
sejumlah tafsir yang salah tentang diriku. Dan bagiku, apa yang telah kita
jalani, adalah bahan cerita yang lengkap dan menarik untuk ceritaku
selanjutnya. Cerita tentang penulis kisah cinta, yang tak pernah merasakan
cinta sesungguhnya. Dan atas rencana besar yang telah kususun sebelumnya, aku
yakin bisa mengalahkan kelihaianmu dalam soal menggubah cerita tentang kisah
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar