Senin, 15 Januari 2018

Tahta Harga Diri

Jalan hidup Zian, penuh liku. Di masa tuanya saja, setelah berkeluarga dan punya anak, ia meredam tingkah liarnya. Jauh sebelum itu, ia hanyalah pemuda nakal dengan masa depan yang tak jelas. Menuruti nafsu demi mengecap nikmat dunia di balik gemerlap kehidupan kota. Tak ada hari tanpa pesta dan hura-hura. Tak peduli, entah siang atau malam. Hingga tempat hiburan, jadi serupa rumah baginya.
 
Dan jelas saja, pesta tanpa kawan, bukanlah pesta yang sesungguhnya. Pesta butuh sorak-sorai bersama untuk membungkam kegundahan. Karena itu, tampillah Sony sebagai teman terbaik bagi Zian. Seorang lelaki yang lihai merancang pesta, juga dapat dipercaya dalam menjaga rahasia. Hingga untuk segala idenya, Zian tak pernah keberatan untuk menghamburkan uang ayahnya yang menjabat sebagai camat.

Kehadiran seorang perempuan yang kemudian ia nikahi setelah mengandung buah nafsunya, seketika, mengubah keadaan. Apalagi ketika istrinya itu melahirkan seorang putri yang tak direncanakan. Perlahan, ia mulai belajar menjadi suami sekaligus ayah yang bertanggung jawab. Hingga akhirnya, ia teguh menarik diri dari gemerlap kehidupan kota, dan menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk dalam memperlakukan seorang wanita.

Tapi di tahap selanjutnya, beban hidup datang menimpa. Zian yang berstatus sebagai kepala keluarga, kelimpungan juga memenuhi kebutuhan hidup. Dan celaka, sebab ia tak membentuk keterampilannya semasa kuliah, sedang ia lulus dengan IPK di bawah standar. Tak ada pekerjaan dan lowongan yang tersedia untuk kualifikasi demikian. Itu berarti tak ada penghasilan sendiri, di kala bergantung pada belas kasih orang tua, ia rasa, sungguh merendah harga diri.

Pada puncak kebingungan soal masa depan, Zian pun terpikir untuk menjadi seorang politisi. Menjadi walikota. Apalagi citra baik keluarga besarnya, masih terjaga di tengah masyarkat. Dan ditambah lagi, ia punya pengalaman sebagai mantan berandalan kota yang berjejaring dengan para penguasa massa dan kapital. Jelas, itu adalah modal besar untuk memenangkan pertarungan politik. Dan untuk jalur kotor itu, Sony yang masih berandal, rela menjadi kaki tangannya.

Atas perantaraan Sony, Zian kembali mengakrabkan diri dengan kehidupan kelam, meski untuk sekadarnya saja. Ia mulai membangun komunikasi dengan para penguasa kota yang punya kepentingan soal pemerintahan. Ia turut saja pada pola politis, bahwa semua yang sevisi adalah kawan yang harus dirangkul, selain itu adalah lawan yang harus disingkirkan. Dengan taktik itu, ia berhasil mendapatkan dukungan dan sokongan dari orang-orang berduit dan para pengendali massa. Dan jelas, ia sepakat untuk balasan timbal balik, kala ia terpilih menjadi wakilota, kelak.

Sesuai rencana, siasat Zian berhasil. Ia mampu mengalahkan pesaingnya dalam pemilihan. Menumbangkan seorang petahana yang telah memerintah bertahun-tahun. Kekuasaan pun, berada dalam genggamannya. Tapi kekuasaan itu, bukanlah sebenar-benarnya kekuasaan. Tanpa sadar, kekuasaannya telah disandera berbagai kepentingan. Kekuasaannya telah dibeli mereka yang mengantarkannya menuju tahta. 

Kini, Zian harus melunasi utang budinya kepada para penyokong. Ada yang meminta izin usaha secara eksklusif, meminta pengendalian pangsa pasar, hingga meminta lahan dan modal usaha, meski harus mengorbankan kepentingan masyarakat umum. Dan semua itu, tak bisa ia abaikan begitu saja. Ada kesepakatan yang diistilahkan kontrak politik, yang harus ia tunaikan secara sembunyi-sembunyi, demi ketahanan pemerintahan.

Dunia politik, akhirnya menyeret Zian, kembali dalam kehidupan yang membelenggu nurani. Pemerintahannya pun, berjalan di tempat. Kesejahteraan masyarakat tak mengalami peningkatan. Sedang di sekelilingnya, berseliweran orang-orang yang terus meminta jatah satu per satu. Keadaan itu jelas membuatnya bingung. Kalut, sebab jalan kebebasan yang telah ia pilih, malah menjerumuskannya ke dalam lingkaran kebiadaban.

Yang paling memiriskan bagi Zian adalah kondisi anak semata wayangnya, Rina. Anak itu hilang kewarasan setelah mengalami tindak kekerasan, sampai dihantui trauma mendalam. Dan semua itu, masih bersangkut-paut dengan ambisi politiknya di jalan yang bernoda. Jauh sebelumnya, ada serangkaian dosa yang disadarinya sendiri, akan berubah menjadi karma. Hingga kegilaan sang anak, ia pastikan sebagai buah dari dosa-dosannya pula.

Dari semua masalah yang membelenggu hidunya kini, kondisi mental sang anak, menjadi alasan terbesar Zian sampai tak pernah bisa merasa bahagia. Itu karena ia tahu, bahwa apa yang menimpa sang anak, jelas atas kesalahannya sendiri. Dan karena semua telah terjadi, ia tak bisa apa-apa, selain berusaha menebus rasa bersalah, sedikit demi sedikit. Mencurahkan segenap kasih sayang pada sang buah hati, meski itu tak akan cukup untuk mengimpaskan dosa-dosanya, seumur hidup.

Dan sabagaimana biasa, setiap kali urusan di kantor selesai, Zian segera pulang ke rumah. Sebagai prioritas utama, kondisi sang anak, ingin selalu ia pantau secara langsung. Ia masih berharap dan berusaha agar kondisi kejiwaan anaknya, kembali stabil. Dan untuk itu juga, sering kali, ia pulang membawa bingkisan demi menyenangkan perasaan sang anak. Entah makanan lezat, pakaian indah, atau boneka-boneka yang akan menemani sepinya sepeninggal sang ibu.

Zian terus peduli. Apalagi, sudah tak akan ada yang bisa menghibur hati sang anak, lebih dari ibunya sendiri. Keberadaan seseorang pengasuh yang ditugaskan khusus untuk menemani dan menghiburnya sejak seminggu lalu, tak berdampak sama sekali. Dan beruntung bagi Zian. Mungkin untuk menyenangkan sang anak beberapa waktu, ia bisa berharap kepada Minah, seorang perawat, keponakannya sendiri, yang datang dari pulau seberang, sejak semalam.

“Bagaimana kabarmu hari ini, Nak?” tanya Zian, sambil mengusap-usap rambut anaknya yang kusut.

Dan sebagaimana kemungkinannya, sang anak, Rina, enggan mengeluarkan sepatah-kata pun. Apalagi, ia jadi semakin malas berkata-kata sepeninggal ibunya, sebulan lalu.

Zian pun berjongkok, menggenggam tangan anaknya, kemudian menuturkan pertanyaan yang lain. “Hari ini, kau habis main apa dengan Minah?”

Rina bergeming. Menggeleng atau mengangguk pun, tidak. Hingga beberapa detik berselang, ia pun mengutarakan keinginannya. “Aku ingin apel,” katanya, dengan tutur yang manja. Terlihat aneh untuk perempuan berumur 18 tahun. 

Zian pun beranjak, mencari dan memerintahkan Minah untuk segera membawakan apel untuk sang anak.

Tak berlangsung lama, Minah datang menghadap Rina dengan sikap yang bersahabat. “Silahkan, Dik, apelnya dimakan,” bujuknya, sambil menyodorkan sebuah piring berisi buah apel.

“Potong kecil-kecil!” perintah Rina, setelah melihat buah apel cuma terbelah dua.

Minah pun bergegas menuju ke dapur, lalu kembali, sembari menenteng sebilang pisau.

Dan seketika, Rina berteriak histeris, sambil meronta-ronta. 

Segera saja, Zian datang mengecek apa yang terjadi. Lalu dengan cepat, ia melucuti dan menyembunyikan sebilah pisau yang digenggam Minah. Ia kemudian membisikkan kata-kata peringatan, agar Minah tak sekali pun menampakkan sebilah pisau di hadapan anaknya. 

Tanpa berlama-lama, dengan sikap tenang, Zian pun mendekat pada anaknya, lalu berupaya meredakan emosi yang tak terkendali. Dipeluknya sang anak dengan penuh penyesalan, seakan menyesali kesalahannya sendiri.

Sembari meneteskan air mata, Zian pun terkenang kejadian tiga tahun lalu. Di satu waktu itu, Sony yang setengah waras, di bawah pengaruh alkohol, bertamu ke rumahnya, meminta jatah balas budi untuk tahta politik yang telah Zian raih. Sony yang hidup dalam ketidakjelasan ekonomi, datang bukan untuk meminta keistimewaan di bidang usaha, sebagaimana yang lain, tetapi meminta seorang perempuan.

“Aku ingin anakmu!” pinta Sony.

Jelas, sebagaimana seharusnya, Zian menolak. “Apa? Dia kan masih kecil!”

Sony jadi geram. “Aku tak peduli!” Ia lalu mengancam dengan senjata ampuh yang telah beberapa kali digunakannya, seperti saat meminta uang untuk berfoya-foya. “Kalau tak mau, terserah kau saja. Tapi, jangan salahkan aku jika foto-fotomu yang tak pantas dengan wanita-wanita penghibur ini, menyebar di dunia maya!” gertaknya, sembari menunjukkan foto tak senonoh Zian di layar telepon genggam. “Kau tahu bagaimana akibatnya? Kau akan jatuh kawan, sehina-hinanya!”

Zian pun jadi lemah terkuali. Ia lalu memohon agar anaknya tak dijadikan tumbal politik. 

Tapi nafsu Sony, tak meluluh sedikit pun. Ia tetap berkeras bahwa si anak gadis, memang bayaran yang setimpal untuk utang politik Zian.

Dan akhirnya, di malam yang rusuh itu, dengan tega, Zian meninggalkan Sony dan anaknya di satu rumah yang sepi. Ia pergi, tanpa peduli bagaimana keadaan anaknya setelah ia kembali. 

Di malam itulah, setiba di rumah, Zian menemukan anaknya meringkuk ketakutan di sudut kamar. Dilihatnyalah juga Sony, berbaring tak berdaya, dengan darah yang mengental di bagian perutnya. Di samping jasad itu, tampak sebilah pisau yang sengaja dititipkan Zian untuk sang anak, beberapa hari sebelumnya, sebagai senjata perlindungan diri. Zian yakin, adegan mengerikan itu, akan berlangsung seperti yang diangan-angankannya.

Kini, seiring waktu, ada ketenangan di hati Zian, sebab ia tak lagi dihantui ancaman atas utang politiknya oleh Sony. Ia tak lagi diperas dengan gambaran-gambaran masa lalu yang hina. Dan sebagaimana harapannya, ia tetap bertahta, dengan nama baik yang masih terjaga, meski dengan menumbalkan jiwa anaknya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar