Jalan
hidup Zian, penuh liku. Di masa tuanya saja, setelah berkeluarga dan punya
anak, ia meredam tingkah liarnya. Jauh sebelum itu, ia hanyalah pemuda nakal
dengan masa depan yang tak jelas. Menuruti nafsu demi mengecap nikmat dunia di
balik gemerlap kehidupan kota. Tak ada hari tanpa pesta dan hura-hura. Tak
peduli, entah siang atau malam. Hingga tempat hiburan, jadi serupa rumah baginya.
Dan
jelas saja, pesta tanpa kawan, bukanlah pesta yang sesungguhnya. Pesta butuh
sorak-sorai bersama untuk membungkam kegundahan. Karena itu, tampillah Sony sebagai
teman terbaik bagi Zian. Seorang lelaki yang lihai merancang pesta, juga dapat
dipercaya dalam menjaga rahasia. Hingga untuk segala idenya, Zian tak pernah
keberatan untuk menghamburkan uang ayahnya yang menjabat sebagai camat.
Kehadiran
seorang perempuan yang kemudian ia nikahi setelah mengandung buah nafsunya, seketika,
mengubah keadaan. Apalagi ketika istrinya itu melahirkan seorang putri yang tak
direncanakan. Perlahan, ia mulai belajar menjadi suami sekaligus ayah yang bertanggung
jawab. Hingga akhirnya, ia teguh menarik diri dari gemerlap kehidupan kota, dan
menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk dalam memperlakukan seorang wanita.
Tapi
di tahap selanjutnya, beban hidup datang menimpa. Zian yang berstatus sebagai
kepala keluarga, kelimpungan juga memenuhi kebutuhan hidup. Dan celaka, sebab ia
tak membentuk keterampilannya semasa kuliah, sedang ia lulus dengan IPK di bawah
standar. Tak ada pekerjaan dan lowongan yang tersedia untuk kualifikasi
demikian. Itu berarti tak ada penghasilan sendiri, di kala bergantung pada
belas kasih orang tua, ia rasa, sungguh merendah harga diri.
Pada
puncak kebingungan soal masa depan, Zian pun terpikir untuk menjadi seorang
politisi. Menjadi walikota. Apalagi citra baik keluarga besarnya, masih terjaga
di tengah masyarkat. Dan ditambah lagi, ia punya pengalaman sebagai mantan
berandalan kota yang berjejaring dengan para penguasa massa dan kapital. Jelas,
itu adalah modal besar untuk memenangkan pertarungan politik. Dan untuk jalur
kotor itu, Sony yang masih berandal, rela menjadi kaki tangannya.
Atas
perantaraan Sony, Zian kembali mengakrabkan diri dengan kehidupan kelam, meski
untuk sekadarnya saja. Ia mulai membangun komunikasi dengan para penguasa kota
yang punya kepentingan soal pemerintahan. Ia turut saja pada pola politis, bahwa semua yang sevisi adalah
kawan yang harus dirangkul, selain itu adalah lawan yang harus disingkirkan. Dengan
taktik itu, ia berhasil mendapatkan dukungan dan sokongan dari orang-orang
berduit dan para pengendali massa. Dan jelas, ia sepakat untuk balasan timbal
balik, kala ia terpilih menjadi wakilota, kelak.
Sesuai
rencana, siasat Zian berhasil. Ia mampu mengalahkan pesaingnya dalam pemilihan.
Menumbangkan seorang petahana yang telah memerintah bertahun-tahun. Kekuasaan
pun, berada dalam genggamannya. Tapi kekuasaan itu, bukanlah sebenar-benarnya
kekuasaan. Tanpa sadar, kekuasaannya telah disandera berbagai kepentingan.
Kekuasaannya telah dibeli mereka yang mengantarkannya menuju tahta.
Kini,
Zian harus melunasi utang budinya kepada para penyokong. Ada yang meminta izin
usaha secara eksklusif, meminta pengendalian pangsa pasar, hingga meminta lahan
dan modal usaha, meski harus mengorbankan kepentingan masyarakat umum. Dan semua
itu, tak bisa ia abaikan begitu saja. Ada kesepakatan yang diistilahkan kontrak
politik, yang harus ia tunaikan secara sembunyi-sembunyi, demi ketahanan pemerintahan.
Dunia
politik, akhirnya menyeret Zian, kembali dalam kehidupan yang membelenggu
nurani. Pemerintahannya pun, berjalan di tempat. Kesejahteraan masyarakat tak
mengalami peningkatan. Sedang di sekelilingnya, berseliweran orang-orang yang
terus meminta jatah satu per satu. Keadaan itu jelas membuatnya bingung. Kalut,
sebab jalan kebebasan yang telah ia pilih, malah menjerumuskannya ke dalam
lingkaran kebiadaban.
Yang
paling memiriskan bagi Zian adalah kondisi anak semata wayangnya, Rina. Anak
itu hilang kewarasan setelah mengalami tindak kekerasan, sampai dihantui trauma
mendalam. Dan semua itu, masih bersangkut-paut dengan ambisi politiknya di
jalan yang bernoda. Jauh sebelumnya, ada serangkaian dosa yang disadarinya sendiri, akan berubah
menjadi karma. Hingga kegilaan sang anak, ia pastikan sebagai buah dari dosa-dosannya
pula.
Dari
semua masalah yang membelenggu hidunya kini, kondisi mental sang anak, menjadi alasan
terbesar Zian sampai tak pernah bisa merasa bahagia. Itu karena ia tahu, bahwa
apa yang menimpa sang anak, jelas atas kesalahannya sendiri. Dan karena semua
telah terjadi, ia tak bisa apa-apa, selain berusaha menebus rasa bersalah, sedikit
demi sedikit. Mencurahkan segenap kasih sayang pada sang buah hati, meski itu
tak akan cukup untuk mengimpaskan dosa-dosanya, seumur hidup.
Dan
sabagaimana biasa, setiap kali urusan di kantor selesai, Zian segera pulang ke
rumah. Sebagai prioritas utama, kondisi sang anak, ingin selalu ia pantau
secara langsung. Ia masih berharap dan berusaha agar kondisi kejiwaan anaknya, kembali stabil. Dan untuk itu juga, sering kali, ia pulang membawa bingkisan demi
menyenangkan perasaan sang anak. Entah makanan lezat, pakaian indah, atau
boneka-boneka yang akan menemani sepinya sepeninggal sang ibu.
Zian terus peduli. Apalagi, sudah tak akan ada yang bisa menghibur hati sang
anak, lebih dari ibunya sendiri. Keberadaan seseorang pengasuh yang ditugaskan
khusus untuk menemani dan menghiburnya sejak seminggu lalu, tak berdampak sama
sekali. Dan beruntung bagi Zian. Mungkin untuk menyenangkan sang anak beberapa
waktu, ia bisa berharap kepada Minah, seorang perawat, keponakannya sendiri,
yang datang dari pulau seberang, sejak semalam.
“Bagaimana kabarmu hari ini, Nak?” tanya Zian,
sambil mengusap-usap rambut anaknya yang kusut.
Dan sebagaimana kemungkinannya, sang anak, Rina, enggan mengeluarkan sepatah-kata pun. Apalagi, ia jadi semakin malas berkata-kata sepeninggal ibunya, sebulan lalu.
Zian
pun berjongkok, menggenggam tangan anaknya, kemudian menuturkan pertanyaan yang
lain. “Hari ini, kau habis main apa dengan Minah?”
Rina
bergeming. Menggeleng atau mengangguk pun, tidak. Hingga beberapa detik berselang,
ia pun mengutarakan keinginannya. “Aku ingin apel,” katanya, dengan tutur yang
manja. Terlihat aneh untuk perempuan berumur 18 tahun.
Zian
pun beranjak, mencari dan memerintahkan Minah untuk segera membawakan apel
untuk sang anak.
Tak
berlangsung lama, Minah datang menghadap Rina dengan sikap yang bersahabat.
“Silahkan, Dik, apelnya dimakan,” bujuknya, sambil menyodorkan sebuah piring
berisi buah apel.
“Potong
kecil-kecil!” perintah Rina, setelah melihat buah apel cuma terbelah dua.
Minah
pun bergegas menuju ke dapur, lalu kembali, sembari menenteng sebilang pisau.
Dan
seketika, Rina berteriak histeris, sambil meronta-ronta.
Segera
saja, Zian datang mengecek apa yang terjadi. Lalu dengan cepat, ia melucuti dan
menyembunyikan sebilah pisau yang digenggam Minah. Ia kemudian membisikkan kata-kata
peringatan, agar Minah tak sekali pun menampakkan sebilah pisau di hadapan
anaknya.
Tanpa
berlama-lama, dengan sikap tenang, Zian pun mendekat pada anaknya, lalu
berupaya meredakan emosi yang tak terkendali. Dipeluknya sang anak dengan
penuh penyesalan, seakan menyesali kesalahannya sendiri.
Sembari
meneteskan air mata, Zian pun terkenang kejadian tiga tahun lalu. Di satu waktu
itu, Sony yang setengah waras, di bawah pengaruh alkohol, bertamu ke rumahnya,
meminta jatah balas budi untuk tahta politik yang telah Zian raih. Sony yang hidup
dalam ketidakjelasan ekonomi, datang bukan untuk meminta keistimewaan di bidang
usaha, sebagaimana yang lain, tetapi meminta seorang perempuan.
“Aku
ingin anakmu!” pinta Sony.
Jelas,
sebagaimana seharusnya, Zian menolak. “Apa? Dia kan masih kecil!”
Sony
jadi geram. “Aku tak peduli!” Ia lalu mengancam dengan senjata ampuh yang telah
beberapa kali digunakannya, seperti saat meminta uang untuk berfoya-foya.
“Kalau tak mau, terserah kau saja. Tapi, jangan salahkan aku jika foto-fotomu
yang tak pantas dengan wanita-wanita penghibur ini, menyebar di dunia maya!”
gertaknya, sembari menunjukkan foto tak senonoh Zian di layar telepon genggam.
“Kau tahu bagaimana akibatnya? Kau akan jatuh kawan, sehina-hinanya!”
Zian
pun jadi lemah terkuali. Ia lalu memohon agar anaknya tak dijadikan tumbal
politik.
Tapi
nafsu Sony, tak meluluh sedikit pun. Ia tetap berkeras bahwa si anak gadis,
memang bayaran yang setimpal untuk utang politik Zian.
Dan
akhirnya, di malam yang rusuh itu, dengan tega, Zian meninggalkan Sony dan
anaknya di satu rumah yang sepi. Ia pergi, tanpa peduli bagaimana keadaan anaknya
setelah ia kembali.
Di
malam itulah, setiba di rumah, Zian menemukan anaknya meringkuk ketakutan di
sudut kamar. Dilihatnyalah juga Sony, berbaring tak berdaya, dengan darah yang
mengental di bagian perutnya. Di samping jasad itu, tampak sebilah pisau yang sengaja
dititipkan Zian untuk sang anak, beberapa hari sebelumnya, sebagai senjata
perlindungan diri. Zian yakin, adegan mengerikan itu, akan berlangsung seperti
yang diangan-angankannya.
Kini,
seiring waktu, ada ketenangan di hati Zian, sebab ia tak lagi dihantui ancaman
atas utang politiknya oleh Sony. Ia tak lagi diperas dengan gambaran-gambaran
masa lalu yang hina. Dan sebagaimana harapannya, ia tetap bertahta, dengan nama
baik yang masih terjaga, meski dengan menumbalkan jiwa anaknya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar