Tak
semua dalam kendali sadar. Ada yang terlahir tertimpa cela, hingga mati membawa
rasa bersalah. Hidup beserta kutukan yang hanya bisa diterima, sampai tak ada
guna bertanya mengapa. Hanya sebuah ketidakberdayaan, yang lalu disangka tindakan
aktif dan sengaja, meski itu berlangsung tanpa akal sehat sekali pun. Satu takdir
kehidupan yang terjadi tanpa hak untuk memilih jalan selainnya.
Hidup
Jurgan dilingkupi misteri yang sama. Ia mengembuskan napas pertama, sembari membawa
petaka. Ia terlahir ketika seseorang pergi meninggalkan dunia, selamanya.
Terlahir, sembari membunuh ibunya sendiri. Satu kejadian tragis yang sebenarnya,
tak ia sadari. Terjadi begitu saja, tanpa daya untuk melawan. Hingga ia harus
menerima kenyataan, bahwa kelahirannya, adalah sebab ibunya meninggal.
Terlahir
sebagai pembunuh. Begitulah Jurgan menerima takdir. Kenyataan yang membuat ia hidup
dalam keterasingan. Merasa bersalah dan terus dipersalahkan. Kala tak sempat
mengecap kasih dari sang ibu, ia malah berkalang nestapa karena dikucilkan. Ibunya
pergi, tanpa sekali pun memberinya belaian. Nahas, sang ayah yang begitu sedih
ditinggal pergi istri tercinta, malah turut mempersalahkan dan membenci dirinya
sejak lahir, sepanjang waktu.
Sampai
akhirnya, terjadi satu peristiwa yang membuat Jurgan turut mengutuk dirinya
sendiri. Di satu pagi yang tenang, saat umurnya genap 12 tahun, ia terbangun
dalam suasana hening, tanpa suara gaduh dari tingkah emosional sang ayah. Tak ada gertakan
memerintah, meminta sarapan dan segala macam. Hingga, ia menyaksikan ayahnya
terkulai lemas, di samping belati yang memerah. Berbaring tak berdaya,
diikelilingi darah yang mulai mengental dari arah lehernya.
Seketika,
setelah sang ayah mengakhiri hidupnya sendiri, trauma mendalam, bercokol di memori
Jurgan. Ia jadi takut soal apa pun perihal darah. Bahkan untuk sekadar menepuk
nyamuk yang hinggap di tubuhnya, ia tak mau, sebab takut melihat darah yang
melepek. Tampakan darah bisa memunculkan rasa mual dan muak di benaknya, sebab
ia akan terbayang dirinya sendiri yang terbalut darah pembunuhan sejak lahir, hingga
ia pun teringat lagi, telah menjadi sebab ayahnya bersimbah darah, mati, di
waktu kemudian.
Jurgan
merasa ada roh kehausan darah yang menyertai hidupnya. Bernafsu seperti iblis
yang ingin manusia saling menumpahkan darah di muka bumi. Rasa-rasanya, bau
anyir darah, menyesaki ruang kehidupannya setiap saat. Darah sebagai pertanda
kematian itu, seakan membalut jiwa dan raganya. Menyelubungi dirinya begitu
erat, hingga ia tak bisa lepas dari bayang-bayang pembunuhan, sebagaimana
kenyataan, bahwa ia memang terlahir berlumuran darah, bersamaan dengan kematian
ibunya.
Nuansa
kelam kehidupan Jurgan, akhirnya membuat ia menjadi seorang lelaki yang tak
bernyali. Ia enggan melanglang ke mana-mana, sebab takut orang mengindrainya,
dan musibah kematian terjadi lagi. Ia kukuh mengurung diri, sebab tak ingin lagi ada
darah dan kematian akibat kehadirannya di bumi. Ia tak ingin banyak tingkah,
hingga celaka berdarah menimpa dirinya atau orang lain. Bahkan, ia tak ingin menghadiri
upacara penyembelihan hewan, sebab tampakan darah akan membuat ia bernapas
setengah mati.
Dan,
terjadilah kegemparan di desa. Jurgan yang fobia darah selama bertahun-tahun,
berubah seketika. Di usia 22 tahun, ia malah menjadi seorang lelaki yang menikmati
prosesi penyembelihan hewan yang dipesan di rumah jagal, tempat ia bekerja sejak
tiga minggu lalu. Bahkan ia jadi sangat telaten menguliti dan mencincang hewan
dengan pisau miliknya, sebuah pisau yang tajam-mengkilap. Dan warga, meskipun turut
bersyukur atas kemampuan Jurgan mengendalikan diri, tetap dilanda keheranan.
Tak
ada yang tahu pasti, apa gerangan yang membuat Jurgan berani bersentuhan dengan
darah. Para warga hanya menduga, Jurgan telah menerima keadaan dirinya sebagai
manusia biasa, yang tak semestinya takut pada darah. Kenyataan bahwa ibu dan
ayahnya meninggal atas dirinya, diduga warga, telah mampu ia kompromikan. Begitu
pun dengan kepergian istrinya yang tengah mengandung, yang menghilang entah ke
mana, sejak sebulan lalu, diduga warga telah memberinya pemahaman bahwa darah
dan kepergian, tak mesti bersangkut-paut.
Sejak
Jurgan berani berurusan dengan darah, Senda, seorang duda, tetangganya sendiri
di tepi bukit terpencil, menjadikannya partner terbaik dalam berkerja. Lelaki
yang sering bertindak selaku penjagal hewan itu, jelas merasa terbantu atas
kehadiran Jurgan. Pesanan daging ternak di rumah jagal milik Pak Jur, tempat
mereka bekerja, terpenuhi tepat waktu. Semua karena Jurgan begitu telaten
melaksanakan tugasnya. Urusan menguliti, memotong, dan mencincang, ia tunai
dengan baik.
Dan
saat mereka begitu dekat, di waktu petang, tanpa dikira Senda yang baru saja
pulang dari pasar, Jurgan datang menghampirinya di persimpangan jalan dengan napas terengah-engah. Ia lalu menyampaikan kabar buruk.
“Jangan
pulang ke rumahmu!” kata Jurgan, dengan embusan napas yang memburu. “Warga
sedang berkumpul di sana. Mereka sedang mencarimu.”
Senda
sedikit menengadah. Matanya tertuju pada asap yang membumbung ke langit, tepat di
sekitar lokasi rumahnya berada. “Apa yang terjadi?”
Jurgan
menarik napas dalam-dalam. Tampak mencoba menenangkan diri. “Pak Jur ditemukan
warga dalam keadaan meninggal di belakang rumah jagal.”
Jelas
saja, Senda kaget. “Lalu?”
“Mereka
menduga, kau adalah pelakunya,” tutur Jurgan seketika, lalu mengusap-usap
dadanya. “Mereka menemukan pisau andalanmu, tergeletak di samping Pak Jur.”
Mata
Senda membelalak. Raut wajahnya suram. Tampak ketakutan. “Bagaimana bisa?”
“Aku
juga tak tahu,” kata Jurgan, sembari menampakkan raut kebingungan. “Lebih baik,
kau menyelamatkan diri,” sambungnya lagi, sambil menyepah lengan Senda. “Ayo
cepat, kita bergegas ke bukit. Di sana, ada balai kecil, tepat di lahan milik kakekku.
Ada baiknya kau berdiam diri di sana, sebelum keadaan menjadi jelas dan
tenang.”
Senda
pun menuruti saran Jurgan. Tanpa banyak cakap, ia mengikuti ke mana pun Jurgan
menuju. Mereka lalu melangkah ke belakang perkampungan, sampai menghilang di
balik semak-semak. Menyeberangi sungai, hingga melewati belukar, juga pepohonan
yang menjulang tinggi. Tak peduli perih tergores duri, kayu, atau batu, mereka
terus melangkah, sekencang-kencangnya. Bergegas, demi lolos dari kejaran warga,
sebagaimana yang tergambar dalam khayalnya.
Lebih
dari sejam kemudian, mereka berdua pun tiba di puncak bukit yang lengang. Tak
ada apa-apa, kecuali bebatuan, pepohonan, juga binatang dengan kesibukan masing-masing.
Mereka berdua kemudian menyeret raga yang kehabisan daya menuju tepi bukit,
tepatnya di sebuah balai kecil beralaskan tanah. Untuk beberapa saat, mereka
pun mengistirahatkan diri di bawah teduhan pohon kemiri yang berjajar dan
menjulang. Meresapi tiupan angin yang menghapus peluh, sembari meneguk air
hujan yang tertadah pada sebuah ember.
”Apa
yang menjadi dugaanmu, sampai warga tiba-tiba menuduhku sebagai pelaku?” tanya
Senda, setelah ia bosan dalam keheningan, sedangkan Jurgan hanya diam sedari
tadi, sebagaimana wataknya yang memang tak banyak cakap, kecuali ada persoalan
penting.
Dengan
raut wajah yang datar-datar saja, seperti biasa, Jurgan mengutarakan
pendapatnya. “Karena pisau andalanmu ditemukan di samping jasad Pak Jur.”
“Sial!”
kesal Senda. “Bukankah sebaiknya mereka menemui dan meminta klarifikasi
kepadaku terlebih dahulu? Kenapa hanya karena persoalan pisau itu, mereka
seketika mencapku sebagai pelaku?”
Jurgan
segera menimpali. “Aku kira, istri Pak Jur turut mempersangkakan dirimu. Ia
tahu kalau kau beberapa kali protes soal imbalan kerja. Mungkin ia menduga, kau
tega membunuh Pak Jur karena kau tak terima atas besaran gaji selama ini, dan
warga mengamini dugaan itu.”
Senda
menggeleng-geleng saja. Tampak tak terima. Kekalutan, jelas tergambar di
wajahnya. Ia lalu menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan emosi.
Tak berselang lama, ia bertanya, “Kau percaya padaku kan?”
Lagi-lagi,
dengan sikap yang biasa, Jurgan mengangguk, tanpa menoleh pada Senda.
Anggukan
Jurgan, sedikit menenangkan perasaan Senda. Dengan perasaan aman, ia lalu membaringkan
badan secara perlahan, kemudian menatap langit yang mulai kelabu.
Jurgan
pun berdiri. Beranjak ke arah barat. Menuju pada sebuah drum, tempat air hujan
tertampung. Ia lalu menggosok-gosok pisau kesayangannya pada sebuah batu asah.
Sesekali, ia meraba sisi tajam pisau yang tampak mengkilap, kemudian digosoknya
lagi. Begitu terus. Sampai nanti, ia berhenti kala memperoleh hasil terbaik.
Sambil
terus mengasah pisaunya, pikiran Jurgan terbawa ke masa lalu. Ia teringat lagi
pada satu obrolan dengan istrinya.
“Pak,
aku hamil,” kata Sumi, istrinya.
Bukannya
merasa senang, raut sedih berbalut amarah, malah tergambar di wajah Jurgan.
“Apa? Kau hamil?”
Sumi
mengangguk, takut. “Aku ingin seorang anak, Pak.”
Jurgan
menyanggah seketika. “Perempuan bodoh! Berapa kali aku harus bilang, kau tak
boleh hamil!” gertaknya, seusai melayangkan tamparan keras di wajah sang istri.
Sumi
tertunduk. Menangis. Kehabisan kata-kata.
Seketika,
rasa kasihan, menjangkiti perasaan Jurgan. “Jangan menangis. Aku mohon…!”
Sumi
berusaha meredakan tangisnya. Ia jelas tak ingin suaminya semakin murka.
Tapi
tetap juga, emosi Jurgan, meninggi secara perlahan. Sampai terdengarlah erangan
kerasnya di langit-langit kamar, sebelum ia kembali menuturkan perasaan kesal. “Aku
tak menggaulimu! Tak akan pernah! Kau tahu kenapa? Karena aku tak ingin kau
hamil! Semua itu karena aku menyayangimu! Aku tak ingin kau pergi
meninggalkanku! Kau mengerti?”
Sumi
ketakutan. Tak kuasa bersuara. Hanya mengangguk.
“Kalau
tahu, kenapa kau membangkang!” bentak Jurgan lagi, sembari meronta-ronta
sendiri. Beberapa perabot rumah pun, dilemparnya ke sembarang tempat. Hingga
akhirnya, ia bertanya dengan amarah terpendam, “Siapa yang telah mengantarkan
bakal bayi terkutuk itu ke dalam rahimmu?”
Sumi
bungkam.
Kesal,
Senda pun melayangkan gertakan, tamparan, hingga pukulan bertubi-tubi kepada
sang istri.
Dalam
ketidakberdayaannya, Sumi lalu menyebutkan sebuah nama dengan tutur gagu.
Sebuah nama yang jelas tak asing di telinga suaminya.
Dan
seketika, sembari terbayang wajah seseorang yang telah mengantarkan istrinya
pada gerbang kematian, Jurgan lalu menghujamkan pisau, tepat di tempat persemayaman
janin yang dianggapnya terkutuk, di rahim istrinya, berulang kali. “Aku
mencintaimu! Aku tak butuh siapa pun selain dirimu! Aku tak menginginkan
seorang anak yang akan terlahir sebagai pembunuh dan membunuhmu! Aku tak ingin!”
Ia lalu mendekap istrinya yang jatuh terkulai, bersimbang darah. “Tapi kenapa
kau melakukannya!” murka Senda.
Tanpa
sempat berkata-kata lagi, Sumi memejamkan mata untuk selamanya. Ia terbunuh,
bersama bakal bayinya sendiri. Dan kini, tanpa diketahui siapa-siapa, jasadnya
telah terurai di jurang lembah yang sepi.
Bersama
perpaduan amarah dan kesedihan, Jurgan pun tersadar dari menungannya.
Dan
di sisi lain, Senda yang nyaris terlelap, bangkit dari pembaringan. Ia lalu
menatap ke langit sore, kemudian menoleh ke segala arah. Mencar-cari keberadaan
Jurgan. Hingga matanya tertuju ke sebelah utara, pada sebuah selendang yang
menggantung di rentangan tali. Dengan penuh rasa penasaran, ia melangkah menuju
kain berwarna biru itu. Kain pembalut badan yang selama ini terlipat rapi di dalam
lemari kamarnya. Satu benda milik seorang perempuan, temannya memadu kasih
secara sembunyi-sembunyi.
Tepat
di langkah terakhir, kala ia hendak mengambil selendang kenangannya, tiba-tiba,
ia menapaki sebuah benda tajam, sebuah besi pipih, yang seketika menembus
punggung kakinya. Dan tak cukup sedetik, selingkaran besi, memborgol pergelangan
kakinya, erat, sampai dagingnya terkelupas hingga ke tulang. Pelan-pelan, ia
berhasil menarik kakinya dari tusukan besi yang tertanam. Lalu, sembari meredam
rasa sakit yang tak terkira, ia mencoba lepas dari cengkraman besi. Tapi
sia-sia. Borgol itu, tersambung dengan rantai logam yang terikat pada satu
tiang besi.
Sambil
meringis kesakitan, dengan posisi tubuh yang tengkurap di tanah, Senda pun
melihat kenyataan atas kepicikan yang telah menyeretnya sampai ke puncak bukit.
Di sela-sela pepohonan, terlihat juga olehnya, di tempat yang jauh, di bawah
lembah, di kaki bukit, sebuah atap rumah mengkilap terang. Dan tanpa keraguan
sedikit pun, ia yakin bahwa rumahnya masih berdiri kokoh. Sedangkan rumah
Jurgan yang semi permanen, telah menghilang di bawah bumbungan asap yang berarak
ke langit.
Tak
lama berselang, Senda mendengar gemerisik dedaunan kering, susul-menyusul. Semakin
terdengar, detik demi detik. Dan kala ia menoleh, dilihatnya Jurgan berdiri
tepat di sisi belakang. Berdiri dengan raut wajah yang datar, dengan tangan
kanan yang menggenggam sebilah pisau yang tajam-mengkilap.
Setelah
mengulur waktu beberapa detik, saat langit nyaris gelap, Jurgan pun menuntaskan
kehendaknya yang terakhir. Kehendak yang ditandaskannya dengan sebuah pisau
kesayangan, yang telah menyelamatkan istrinya dari kelahiran jabang bayi yang
dianggapnya terkutuk. Kehendak yang dilakoninya dengan senang hati, sebagaimana
saat ia mengurusi seekor sapi sembelihan. Dan semua itu dilakukannya dengan
perlahan, setahap demi setahap.
Hingga
akhirnya, berpencarlah jasad Senda di satu jurang yang dalam, menyusul bakal
bayinya yang masih tertanam dalam perut sang ibu. Dan dalam kekalutan hati yang
sulit diterka, Jurgan pun melayangkan tubuhnya, jatuh ke dasar jurang yang sama,
yang berbatu, menyusul Senda, seorang lelaki yang ia cap telah mengantarkan
istrinya pada kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar