Musik
adalah sesuatu yang aku nikmati, namun tak pernah bisa kukuasai. Aku telah
mendengar banyak nasihat dan kiat untuk menjadi seorang musisi, namun tak ada
yang benar-benar jitu. Dan dalam waktu yang panjang, aku bahkan telah
mendengarkan lagu begitu banyak. Tapi sayang, tak banyak yang bisa aku nyanyikan
dengan baik, apalagi kuiringi dengan petikan gitar yang menawan dan membius.
Tapi akhirnya, aku terus berusaha menjadi seorang pemusik. Berhasrat bisa bernyanyi dan memetik gitar dengan lihai. Dan untuk itu, aku rela membeli beberapa buku tentang teknik bermain gitar. Aku juga mengunduh beberapa video tutorial permainan gitar, khususnya untuk beberapa lagu yang kuanggap menarik. Hingga setiap saat, aku memaksa diri untuk berlatih, meski untuk menyetel gitar saja, aku belum mahir.
Semangatku
mendalami musik, bukan tanpa alasan. Sebagaimana semua hal di dunia, tak ada
yang terjadi tanpa alasan. Dan pasti, butuh alasan yang gila untuk melakukan
hal-hal gila. Seturut itu, aku pun menasbihkan perjuanganku pada seorang wanita
yang kudamba. Satu dari sekian wanita yang menegaskan padaku, bahwa hidup sebagai
seorang lelaki yang tak berseni, apalagi tak punya skill bermusik, sungguh
menyedihkan.
Jelas,
aku tak akan berkeras menekuni musik jika saja satu wanita yang kumaksud,
memiliki pandangan yang berbeda. Sial saja, sebab hatiku telah terperangkap bersama
dia, seorang wanita yang gandrung pada musik, sampai mencita-citakan seorang pemusik
untuk menjadi pendamping hidupnya. Dan sebagai lelaki pantang menyerah, aku terus
belajar, berbekal keyakinan bahwa bakat hanyalah mitos, dan minatlah yang
menentukan.
Dan
kupastikan, kau tak akan menduga kalau awal dari keteguhanku belajar musik, sampai
handal seperti sekarang, dipacu oleh rasa kecewa yang mendalam. Kecewa atas
perasaanku yang tak bersambut padanya, sampai aku harus menikmati kesepianku
sendiri, bersama gitar. Hingga benda tua itulah yang terus menghiasi
hari-hariku yang panjang. Mengiringiku kala melantunkan lagu-lagi lirih, untuk
merayakan kekalahanku, juga sakit hatiku.
Jika
saja kau tak akan kecewa mendengar sejarah hidupku, akan kuceritakan semuanya.
Akan kututurkan bahwa aku pernah jatuh hati pada seorang wanita yang telah
membuat perasaanku hancur. Dan mungkin kecewamu akan bertambah kala mengetahui
bahwa kehebatan permainan gitarku yang kau puji-puji, juga tercapai karenanya. Untuk
itu, fakta sejarah bahwa dimensi angan dan melodi gitarku, teruntuk perempuan
yang lain, sepertinya tak patut kau ketahui.
Satu
hal yang mungkin sedikit menawar kecewamu, bahwa kisah terselubungku itu,
adalah kisah kasih tak sampai. Aku tak punya kisah cinta yang nyata dengannya,
kecuali dalam angan yang kurangkai sendiri. Aku tak pernah mengutarakan
perasaan padanya, meski dalam dunia imaji, aku memeluknya begitu erat. Dan mungkin
benar, bahwa kisah menggantung itu, akan tetap jadi penghalang bagi kisah kita,
kecuali kau mampu memberiku kesan-kesan yang lebih.
Dan
kuingat lagi, satu malam yang menjadi awal dari kisahku yang menggantung di
dunia angan-angan bersamanya. Waktu itu, di sebuah kafe, aku bertekad mengakhiri
kekalutan hatiku yang terpendam sekian lama. Kutitilah langkah untuk menyatakan
perasaan padanya, berbekal sebingkis cokelat sebagai perantara, sebab pada biodata
singkatnya di media sosial, ia menulis: Pencinta
Cokelat.
“Aku
punya hadiah untukmu,” kataku, gugup, kemudian menyodorkan sebingkis cokelat.
Jelas
saja, ada raut keheranan di wajahnya. Sebagai teman dekat, pastilah
ia bisa membaca sikapku yang aneh. “Untuk?” sergahnya.
Aku
jadi semakin deg-degan. Tapi, aku kuasa juga berucap, “Untukmu!”
Seketika,
ia menggeleng. “Aku tak suka cokelat.”
“Bukannya
kau suka cokelat?” tanyaku segera, tak habis pikir, seakan ia berbohong.
Tanpa
bersuara, ia menggeleng lagi.
Dengan
perasaan kecewa, kubiarkan saja cokelat itu tergeletak di antara aku dan dia.
Beberapa
detik selanjutnya, alunan lagu menyesaki ruang udara. Satu lagu yang seakan menyuarakan
nyaliku yang ciut, hanya terdiam dalam kebingungan, sampai tak sanggup berterus
terang tentang perasaan.
…
Aku
mencoba ungkap rasa ini
Namun
ku tak sanggup
Tak
mampu kuberbicara
Begitu
berat untuk kusampaikan
Tak
mampu kumenatapmu
Terlalu
indah bagiku
…
Kulihat,
dia tampak terkesima, saat satu lagu itu, selesai dilantunkan oleh seorang lelaki
dengan bekal gitar akustik. “Ah…, aku suka!” serunya, kemudian menoleh padaku.
“Kau tahu, aku suka sekali lagu ini. Dan aku telah menemukan seseorang yang
bisa membawakannya dengan sempurna!”
Melihat
raut kekagumannya, seketika, membuatku ingin jadi pemusik. Paling tidak, aku
bisa bernyanyi dengan iringan gitar yang kupetik sendiri. Hitung-hitung,
keterampilan itu akan membuatnya terkagum padaku. Hingga, aku pun berhasrat
mengetahui identitas lagu yang selesai mengalun. “Memangnya, itu lagu siapa?”
Dengan
sikap protes, ia lalu mengutarakan kekecewaan, “Dasar kamu! Harusnya kau tahu
lagu keren begitu. Lagunya Cokelat! Terlalu Indah!”
Seketika,
aku merasa bodoh sendiri. Dan aku pun sadar, bahwa sekian lama kami berteman,
aku tak bernar-benar mengenalnya.
Semenjak
saat itu, aku bertekad belajar memainkan gitar sambil bernyanyi. Aku berniat
untuk mengkhatamkan semua lagu Cokelat dengan iringan gitar klasik yang telah
kubeli sejak lama. Aku menggelutinya dengan
serius, sembari berharap, kelak, aku akan menjadi seorang lelaki yang ia
kagumi.
Hingga seiring waktu, kala aku mulai mengandalkan diriku sendiri dalam persoalan bernyanyi dan bermain gitar, kusaksikanlah satu kenyataan yang sungguh menyakitkan. Kulihat, sebelum aku sempat beradu, ia telah jatuh ke dalam pelukan seorang lelaki yang pernah membuainya. Seorang lelaki yang pernah menyanyikan lagu Cokelat-Begitu Indah dengan baik, kala cokelat yang kuberikan padanya, terabaikan begitu saja.
Semua
sudah terlambat.
“Nyanyikanlah
sebuah lagu untukku dong...!” pintamu, manja.
Dengan
angan-angan yang terbelah dua, aku pun melantunkan sebuah lagu untukmu, diiringi petikan gitarku sendiri:
…
Biar
saja malam menggelap
Aku
tak peduli
Dalam
mimpi yang dingin
Aku
memelukmu
Pada
terang yang mengganti
Aku
terus mencari
Sejauh
kaki melangkah
Kita
akan bertemu
…
“Ah…,
aku suka lagu itu!” serumu. Tampak senang. “Aku boleh tahu itu lagu siapa?”
Aku
pun merasa terpuji. “Terima kasih,” balasku, sembari merekahkan senyuman. “Itu
lagu ciptaanku.”
Kau
tampak semakin senang. “Kau menciptakannya untukku?”
Aku
jadi bingung menentukan jawaban. Ingin berkata jujur, tapi tak ingin kau
kecewa. Ingin menegaskan bahwa dialah satu-satunya inspirasiku, tapi tak ingin
kau merasa jadi yang ke dua. Dan kepadamu, kuputuskanlah untuk tidak menyinggung
atau menceritakan apa pun tentang dia. Sampai akhirnya, dengan terpaksa, aku
mengangguk saja untuk tanyamu, sekadar untuk menjaga perasaanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar