Kuawali
malam dengan riang gembira. Itu karena aku terbayang-bayang padamu. Terbuai
imajinasiku sendiri, tentang pertemuan kita satu jam ke depan, sesuai
perjanjian. Terlena membayangkan rona wajahmu yang manis dan tak menjemukan, bak
titisan bidadari, sampai membuat hatiku bergetar. Dan kupastikan, getarannya
akan bertambah dahsyat saat aku benar-benar menatapmu. Mungkin seumpama aku tersambar
sejuta petir yang mengalirkan daya ke dalam tubuhku, hingga aku sanggup menjalani
hidup selama-lamanya, bersamamu.
Telah
lama aku menanti untuk sebuah momen pertemuan kita. Pertemuan spesial, hanya antara
aku dan kamu. Satu saat yang pas untuk aku meluruhkan semua isi hati yang
selama ini terpendam. Dan sore tadi, entah bagaimana bisa, aku sanggup mengajakmu
bertemu di sebuah restoran yang mewah. Restoran kelas atas, yang terpaksa
kupilih demi menyenangkan hatimu. Tak peduli berapa banyak isi kocek yang harus
kukeluarkan, asal kau merasa nyaman, hingga menerima tawaran perasaanku.
Jelas
saja, aku tak ingin kecewa. Aku tak ingin menyatakan perasaan, yang kemudian,
tak kau respons seperti yang kuinginkan. Aku tak ingin sakit hati, sedang kau
merasa berdosa. Tapi akhirnya, kuyakini juga, bahwa keadaan buruk itu, tak akan
terjadi. Tanpa maksud mendahului takdir, kupastikan, kau akan menyambut
perasaanku dengan setulus hati. Aku bisa melihat tanda-tandanya dari raut
senang di wajahmu, setiap kali kita bertemu. Hingga saat aku memberimu
perhatian, kau akan tampak malu-malu dan salah tingkah.
Isyarat
perasaanmu, memberiku kepercayaan diri untuk segera menuntaskan kekalutan. Hanya
butuh sedikit keberanian untuk berucap, hingga sekat-sekat di antara kita,
sirna seketika. Dan jika begitu, maka kebersamaan kita pun, bukan lagi atas
nama pertemanan yang penuh perhitungan. Kesegananmu padaku akan sirna kala
memohon perihal apa pun, dan aku mewujudkannya dengan senang hati. Keinginanmu akan
menjadi kesempatan bagiku untuk berkorban, tanpa berharap balas.
Demi
memastikan semua berjalan sesuai rencana, malam ini, aku tak mau memedulikan
hal lain. Kuabaikan tugas kuliahku, juga ajakan-ajakan untuk bermain game atau
futsal. Dan untuk menghindari kebimbangan, aku tak ingin menghiraukan pesan dan
panggilan yang masuk ke telepon genggamku. Aku tak mau tahu tentang informasi apa pun,
termasuk yang bersifat darurat, sebab perhatianku bisa tercuri darimu. Aku tak
ingin duduk di hadapanmu, sedang pikiranku direcoki persoalan lain.
Dan
demi akhir yang indah, aku tak lupa memerhatikan penampilan. Kusisihkan banyak
waktu untuk menyerasikan pakaian, menata rambut, hingga memilih jenis parfum
yang mampu menghidupkan suasana romantis, juga membangkitakan kepercayaan
diriku. Setidaknya, dengan begitu, aku telah mengenyahkan rintangan pada diriku
sendiri, sehingga aku bisa berucap dengan tenang. Untuk itu, aku pun berlatih
melafalkan kata-kata pernyataan untukmu, sambil berkhayal tentang
kelangsungan obrolan kita.
Aku
akan berkata: Riana, aku merasa ada yang
berbeda tiap kali aku dekat denganmu
Kau
akan tampak malu-malu. Seakan meminta agar aku segera menegaskan isi hatiku: maksudmu?
Akan
kutatap matamu dalam-dalam: Aku sulit
menjelaskannya. Dan kata-kata, tak akan cukup untuk menggambarkannya. Tapi jika
memang pantas, aku menamakan itu, cinta.
Matamu
akan tampak berkaca-kaca. Seperti meminta agar aku segera menandaskan.
Kutegaskanlah
dengan sungguh-sungguh: Aku jatuh cinta
padamu.
Kau
akan tampak tersipu.
Jika
begitu, aku akan berlutut di sampingmu, menawarkan sebuah cincin, sembari
meminta kepastian: Sudikah kau menjadi
kekasihku?
Dan
kubanyangkan, kau akan menangis bahagia, kemudian menjawab tanpa ragu: Ya!
Demikianlah
bayanganku tentang obrolan kita, nanti.
Dan bersama
khayalan yang terus menjalar, aku pun siap berangkat. Kutiliklah jam di dinding. Sisa 15 menit menuju jam 9. Itu artinya, aku punya 15 menit sebelum sampai.
Kutimbang-timbang, aku butuh 10 menit dalam perjalanan. Jika tak ada rintangan,
maka masih tersisa 5 menit untuk menunggu, kalau memang aku datang lebih awal.
Dan jelas saja, di momen yang spesial ini, aku tak ingin datang terlambat barang
sedetik saja.
Setelah
memastikan tak ada yang terlupa, aku pun bergegas menuju titik di mana sepeda motorku
terparkir. Aku ingin segera melaju di jalan beraspal, sekencang-kencangnya. Tapi
sial, kunci motorku tak ada. Aku menaruhnya entah di mana, atau terjatuh di sembarang
tempat. Aku pun jadi kalang kabut. Kutelusuri segala ruang. Kusibak barang yang
kira-kira menutupi benda kecil itu. Namun, pencarianku tak juga berhasil.
Hingga akhirnya, aku mendapati kunci itu bersemayam dengan tenang di dalam
helm yang sebelumnya kutenteng.
Segera
saja, aku kembali bergegas.
Belum
juga aku menyalakan sepeda motor, sebuah pesan singkat masuk dalam gawaiku.
Kutilik nama pengirim di layar utama, dan kulihat, hanya seorang relawan dari
Palang Merah. Tanpa kusibak dan kubaca pesannya, bisa kupastikan, itu hanya
berisi pemintaan donor darah. Jelas, aku tak mau tahu, sebab perhatianku malam
ini, hanya untukmu saja. Hingga akhirnya, nomor yang sama, melakukan panggilan
langsung ke telepon genggamku. Dan tegas saja, aku mengabaikannya tanpa peduli.
Dan
sampai juga aku di lintasan jalan raya. Sebagaimana biasa, jalanan macet. Aku
harus lihai mencari celah agar dapat menyusup dan menjauhi kendaraan yang bergumul.
Hingga aku harus bersabar, sebab rintangan bukan hanya soal kendaraan yang
padat. Angkot berhenti di sembarang tempat, penyeberang jalanan menyimpang dari
zebra cross, pengemis memalang
jalanan setelah lampu hijau, anak jalanan menyemrautkan lalu lintas di
persimpangan jalan, adalah rintangan yang komplit sebagai penguji
kesabaran.
Setelah
melewati segala macam rintangan yang menguras emosi, tiba juga aku di tempat
yang kita perjanjikan, tepat jam 9 lewat 3 menit. Syukurlah, kau tak datang
lebih awal sampai kecewa atas keterlambatanku. Hingga untuk
waktu-waktu selanjutnya, aku rela menanti, bahkan sampai pagi sekali pun. Itu
tak masalah, asal kerisauan hatiku, segera tuntas malam ini. Jelas, aku tak
ingin menyambut pagi dengan perasaan yang masih menggantung.
Waktu
terus bergulir. Setengah jam berlalu, aku tetap bersetia menunggumu. Hingga
setengah jam selanjutnya, keteguhanku pun tak berubah. Tapi, muncul juga
kekhawatiran dalam hatiku, kalau-kalau kau berhalangan. Hingga akhirnya, aku
menghubungimu. Tapi hasilnya, nihil. Telepon genggammu tak aktif untuk
merespons panggilan dan pesan singkat dariku. Dan akhirnya, tersisa waktu
kurang dari satu jam lagi, saat aku harus menyerah, meninggalkan tempat, jika
tak mau diusir satpam.
Dalam
detik-detik yang tersisa, jelas saja, batinku tersiksa. Sedetik seakan
merentang jadi sejam. Dan itu, sungguh menyakitkan. Bukan karena
ketidakmunculanmu, tapi karena deru hasratku menyatakan cinta. Hingga sampailah
waktu. Tepat jam 11 malam, kau tak juga datang. Aku pun terkalahkan oleh ruang
dan waktu. Aku harus memendam kembali perasaan yang telah menggunung. Harus
beranjak pergi dengan rasa pilu dan kecewa. Pulang membawa tanda tanya, tentang
apa gerangan yang mambuatmu tega mengenyahkan separuh nyawaku malam ini.
Kutilik
lagi telepon genggamku. Berharap ada penjelasan atau permintaan maaf darimu. Namun
tak ada pesan yang kuterima. Yang terlihat di notifikasi, hanyalah sebuah pesan
dari pencari donor darah, yang sedari tadi, kuabaikan begitu saja. Dengan tanpa
perasaan apa-apa, kusibaklah pesan itu, sekadar untuk mengenyahkannya dari daftar
notifikasi. Hingga akhirnya, mataku terpaku pada isi pesan yang kuanggap tak
penting itu:
…Dibutuhkan segera darah O+ untuk pasien atas
nama Riana Velita, yang saat ini sedang kritis di rumah sakit, setelah mengalami
pendarahan akibat kecelakaan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar