Sungguh
berbunga-bunga perasaan Laila di awal perkenalannya dengan Khalil. Merasa
seperti bidadari yang terus disanjung-sanjung. Setiap kata untuknya, dihiasi
majas-majas yang indah. Jarang sekali ia disapa dengan namanya saja, tanpa
disertai frasa seumpama mata bulan, dagu pelangi, senyum surga, dan sejenisnya.
Atas
buaian yang tiada hentinya, tak butuh waktu lama bagi Laila untuk menjatuhkan
hati pada Khalil. Di benaknya, tergambar bayang-bayang di masa depan, bahwa
sang kekasih akan terus menghadirkan sanjungan yang membahagiakan. Sang kekasih
akan terus menggubah puisi yang istimewa, untuknya seorang. Dan sebagai
perempuan, itulah yang ia butuhkan.
Hanya
tiga bulan perkenalan, Laila pun memasrahkan diri untuk menjadi suami Khalil. Ia
jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia jelas tak ingin kehilangan kesempatan untuk memiliki
sang peramu kata. Apalagi, dipikirnya, kata-kata adalah sumber kesengsaraan dan
kebahagiaan, tergantung siapa yang mengutarakannya. Dan atas kepandaian Khalil berkata-kata,
ia yakin akan bahagia sepanjang masa.
Dan
benar saja. Di awal penikahan, angan-angan Laila jadi kenyataan. Suaminya,
semakin romantis saja. Setiap kali menjelang tidur, sang suami akan berlagak bak balerina, sambil melantunkan bait-bait puisi. Kala pagi menjelang pun,
sang suami akan menyuguhkan puisi puja-puji atas kecantikan wajahnya, meski
belum sempat dibasuh dan didandani.
Hingga
akhirnya, waktu membawa Laila pada kenyataan hidup bahwa puisi bukanlah sebuah
realita. Puisi hanya pelipur bagi orang-orang yang tak mampu memeluk isi bumi,
hingga berangan-angan tentang seisi langit. Apalagi ketika ia telah melahirkan
dua orang anak yang jelas tak membutuhkan puisi untuk bertahan hidup.
Mulailah
keluarga Laila dirundung percekcokan. Pangkal masalahnya jelas karena kebutuhan
keluarga kecil mereka terus meningkat, sedang Khalil tak juga punya inisiatif
untuk mencari pendapatan lebih. Pekerjaannya sebagai pedagang buku bekas, jelas
tak menjanjikan bagi kehidupan keluarga mereka.
Seiring
waktu, dua anak mereka semakin bertumbuh dengan kebutuhan yang bertambah pula,
tapi pendapatan sebagai pedagang buku bekas, tetap begitu-begitu saja.
Seadanya. Keadaan itu jelas membuat emosi Laila mudah tersulut. Terlebih kala
melihat suaminya tetap dengan kebiasaan lama. Terus saja menggubah puisi yang
tak memiliki nilai materi, di kala anak-anaknya mulai membutuhkan permaian,
pakaian, pangan bergizi, dan sebagainya.
“Apa
gerangan yang membuat bidadariku murung? Langit tak mendung, tapi wajahnya tak
bersinar?” katanya Khalil, sebagaimana kebiasaannya.
Laila
tetap cemberut dan menganggap kata-kata itu tidak patut membuatnya tersenyum.
“Sudahlah, Pak. Berhentilah bicara dengan cara berlebihan.”
“Kenapa,
Sayangku? Apa kau lupa, beginilah cara kita bermain-main di taman surga?" balas Khalil, sembari mengelus-elus rambut sang istri. "Masalah dunia boleh banyak dan bergunung-gunung, tapi ingatlah, langit masih lebih luas dan tinggi.”
Senyuman
Laila tak juga terpancing. “Sudahlah, Pak. Aku tak butuh puisi dan kata-kata
membuai seperti itu lagi. Bapak harusnya sadar sekarang, kita sudah punya dua
orang anak yang butuh banyak hal. Kalaupun Bapak mengira aku masih senang
mendengar puisi-puisi itu, tak apa-apa. Tapi sadarlah, anak-anak kita lebih
membutuhkan popok daripada selangit puisi,” tegas Laila. Tampak kesal.
Akhirnya,
Khalil pun bersikap biasa dan tak memosisikan dirinya sebagai pujangga lagi.
“Tapi kebutuhan hidup kita dan anak-anak kan masih terpenuhi, Bu. Tak usahlah
terlalu merisaukan masa depan. Apa gunanya kita pikir tentang waktu mendatang
kalau kita malah lupa menikmati kebahagiaan di saat-saat ini.”
Kekesalan
Laila, semakin menjadi-jadi. “Bapak kok malah menggampangkan keadaan?” katanya,
solot. “Baiklah, kita memang hidup berkecukupan sekarang. Tapi bagaimana nanti
kalau kedua anak kita sudah bersekolah? Kita butuh tabungan, Pak!”
Khalil
malah jadi tertantang untuk meluluhkan kecemberutan sang istri. “Sudahlah, Sayang.
Jangan khawatir begitu. Bukanlah lebih baik jika aku ada di sampingmu, daripada
aku sibuk dan melupakan keluarga kecilku yang bahagia ini?” katanya, sambil
tersenyum-senyum. “Apakah demi uang dan pekerjaan, kamu rela aku jarang di rumah dan
tak lagi membacakan puisi untukmu. Kau tak cemburu jika puisiku malah untuk orang
lain, bukan lagi untukmu seorang, Sayang?”
Bukannya
malah tenang, emosi Laila malah pecah. Ia pun bangkit dan mencabut
lembaran-lembaran puisi yang menempel di dinding. “Ini! ambil semua puisi
Bapak! Aku tak suka lagi dan anak-anak pun tak membutuhkannya,” katanya, sambil
membuang lembaran itu ke langit-langit kamar. Melayang-layang, dan jatuh
berserakan di atas kasur dan lantai.
Khalil
benar-benar tak menduga kalau sang istri akan memperlakukan puisi-puisi itu
dengan cara tak patut.
“Besok,
aku tak ingin Bapak menulis dan menempel puisi di dinding lagi. Kalau itu tetap
Bapak lakukan, lihat saja, kata-kata tak berguna itu akan jadi asap dan debu!”
ancamnya, kemudian melangkah pergi, menuju kamar sebelah, tempat kedua anaknya
tertidur.
Pertengkaran
Laila dengan sang suami, akhirnya membuat hubungan keduanya menjadi dingin.
Keadaan itu berlanjut di hari-hari berikutnya. Raut wajah Laila tak kunjung
bersahabat seperti dulu, dan Khalil pun tak ingin memancing pertengkaran dengan
candaan dan gombalan. Mereka hanya mengobrol untuk hal-hal yang memang perlu
diobrolkan.
Dalam
keadaan yang benar-benar tak nyaman, diam-diam, Khalil pun semakin terpacu
menggapai sesuatu yang dapat membuat Laila ceria kembali. Masih dengan puisi. Ia
mulai rajin menulis dan mengirimkan puisi ke beberapa media. Sejumlah puisi
yang diarsipkannya selama ini, juga ia tawarkan ke beberapa penerbit. Ia terus melakukan
itu dengan pantang menyerah, sebab ia merasa, hidup dan matinya, ada pada
puisi.
Sampai
akhirnya, setengah tahun berselang, usaha Khalil berbuah manis. Bukan karena
penjualan buku bekas yang semakin membaik, tapi karena buku-buku karangannya
mulai diterima khalayak. Perlahan, popularlah Khalil sebagai seorang penulis
puisi dengan buku yang tersebar di mana-mana. Bahkan ia mulai diundang sebagai
pembicara dalam acara kesastraan.
Kesohoran
pun membuat jadwal kegiatan Khalil semakin padat. Ia jadi lebih sering berada
di luar kota, sampai tak sempat berlama-lama dengan keluarga kecilnya. Ia jadi seperti ancamannya dahulu. Menjadi seorang penulis puisi untuk semua
orang, bukan untuk istrinya seorang.
Suatu hari, masuklah panggilan ke telepon genggam Laila dari sang suami, Khalil:
“Bagaimana
keadaan anak-anak?” tanya Khalil.
“Baik-baik
saja, Pak,” balas Laila.
“Syukurlah
kalau begitu,” Khalil jeda beberapa detik. “Oh, iya, aku sudah transfer uang ke
rekeningmu dari honorku sebagai penulis. Kukira, jumlah itu sudah lebih dari
cukup.”
Di
ujung telepon, Laila menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
mengering. “Baiklah. Semua akan akan kubelanjakan untuk keperluan anak-anak,”
katanya, sambil berharap suaminya mengucapkan kata-kata yang lebih berkesan,
yang khusus untuknya, seperti dahulu, bukan soal uang.
“Baiklah kalau begitu. Sudah dulu. Aku ada pertemuan beberapa saat lagi,” pungkas Khalil.
Tanpa
mengucapkan kata-kata balasan, telepon terputus. Laila benar-benar merasa ada
yang hilang. Ada keadaan yang diinginkannya kembali seperti dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar