Suasana
adalah pintu masuk bagi kenangan. Kadang menyusup melalui pengindraan suhu, nada,
juga aroma. Dan bagiku, hujan adalah suasana yang komplit. Ia selalu
menghadirkan kenangan tentang kita. Dentingnya mengenangkan kita yang terperangkap
di balai kecil, dinginnya mengenangkan kita yang berbagi jaket, atau aromanya
yang mengenangkan perjalanan kita selepas reda.
Ini
adalah musim hujan kedua yang kulalui tanpamu. Sejak dua tahun lalu, hujan
telah menjadi bingkai kenangan kita. Kenangan yang semakin menjauh, seumpama
kumpulan titik hujan yang mengalir entah ke mana. Kenangan yang menyatukan kita
di masa lalu, meski kita telah berjarak saat ini. Semua karena kau telah mengikatkan
hati pada seseorang, yang menyudahi adegan-adegan kita selanjutnya.
Aku
masih ingat hujan yang mengakhiri tentang kita. Kala itu, rasaku yang menumpuk dan
mambuncah bertahun-tahun, hendak kuluruhkan padamu. Kuhampirilah kau di sebuah
kedai kopi, tempatmu menjadi pramusaji, sambil membawa selingkaran gelang
untukmu. Aku menunggu hingga lewat tengah malam, saat tugasmu selesai, dan
tak ada lagi halangan bagiku menyampaikan maksud.
“Aku
punya hadiah,” kataku, sambil menyerahkan sekotak kado berisi gelang.
Kau
yang duduk tepat di depanku, terlihat semringah. “Terima kasih. Ada momen apa
hingga kau tiba-tiba memberiku sesuatu?”
Aku
berdeham sekali. “Coba lihat jam dan tanggal sekarang,” pintaku.
Kau
lalu mengecek waktu di telepon genggammu. “Jam 1 lewat 2 menit. Tanggal 12
Desember. Lalu?”
“Itu
artinya kau berulang tahun hari ini,” ucapku, sambil tersenyum.
Seketika,
raut wajahmu menampakkan keterkejutan yang tak terkira. Dan kuduga, itu bukan
karena kado yang kuberikan, tapi karena aku memberikannya di harimu yang
spesial. “Terima kasih! Aku benar-benar lupa. Terima kasih!” katamu, sedikit
terharu.
Aku
mengangguk.
Senyap
sejenak.
Tiba-tiba
kau bertanya, “Ada lagi yang ingin kau katakan?”
Dan
entah kenapa, aku tak berdaya mengutarakan maksud yang sebenarnya, jikalau aku
ingin kita lebih dari sekadar sahabat. Mungkin karena kita terlalu dekat, sampai
aku tak tahu bagaimana caranya. Mungkin juga karena aku takut perasaanku tak
bersambut, dan aku malah kehilangan sahabat dekatku. Akhirnya, aku memilih
membiasakan keadaan. Kurasa, kita cukup bahagia dalam kebersamaan, meski bukan atas
nama apa-apa.
“Tak
ada. Aku hanya berharap yang terbaik untukmu,” kataku.
“Begitu
saja?” tanyamu, dengan raut datar.
Aku
mengangguk, menegaskan kebodohanku, kemudian bermaksud memecah
keheningan, “Bukalah kado itu. Aku harap kau sudi mengenakan sesuatu yang sederhana
dariku.”
“Nanti saja kalau kita sedang tidak bersama. Aku kadang lebih suka melakukan sesuatu yang spesial tanpa diketahui siapa-siapa,” dalihmu, sembari melempar senyuman yang singkat. “Aku permisi sebentar. Ada pekerjaan di belakang.”
Kau
lalu pergi, melanjutkan tugasmu. Merapikan perkakas sajian hingga beberapa
waktu.
Tak
lama setelah itu, pekerjaanmu kelar. Aku lalu mengantarmu pulang. Kita
melintasi jalan yang lengang tanpa obrolan hangat seperti biasa. Kau tiba-tiba
tak banyak bertanya, sedangkan aku tak enak hati mengganggu ketenanganmu
meredakan lelah. Maka, di bawah rintik hujan malam itu, dimulailah hubungan
kita yang dingin.
Keesokan
harinya, kulihatlah kenyataan yang sungguh membuatku terenyuh. Kau tak mengenakan
gelang dariku, dan malah mengenakan gelang lain yang tak kutahu dari siapa.
Hingga seiring waktu, kubaca juga bahwa kau semakin dekat dengan teman sekampus
kita, dengan seseorang lelaki yang juga menjadi sahabat dekatku selama ini.
Hari
demi hari, aku menjadi seseorang yang tak kau butuhkan lagi. Kau tak tertarik
meminta apa-apa pun dariku, seperti sebelumnya. Tak lagi memohon agar aku mengantarkanmu
ke mana saja yang kau mau, atau merengek sampai aku bersedia menggendong tasmu yang kau
bilang membebani. Kenyataan itu berhasil membuatku merasa seperti lelaki yang tak
berguna.
Akhirnya,
sebagaimana hubungan kita yang terjalin tanpa ikrar apa-apa, kita pun berjarak
tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal.
Di
tengah kekalutanku tentang kita, tepat tanggal 1 Mei lalu, kutulislah pengharapanku
yang canggung di akun media sosial milikku: Selagi
langit yang menaungimu masih cerah, biarlah aku menunggu musim depan, ketika
hujan membasahimu dan aku ada untuk menghangatkanmu kembali.
Kuharap
kau sempat membawa untaian kata itu. Aku ingin kau tahu bahwa aku masih sedia
menunggumu, meski harus ada kenangan yang lain di antara kenangan kita. Jika
pun benar kau menyimpan perasaan yang sama padaku, kau boleh kembali kapan
saja. Tak perlu menyalahkan dirimu yang sempat berpaling. Akulah yang salah,
yang tak pernah benar-benar menegaskan perasaanku padamu sedari awal.
Dan
entah bagaimana kronologinya, hujan benar-benar telah membasahi perasaanmu di
musim ini. Kemarin, aku dapat kabar dari seseorang yang telah mengikat hati denganmu, seseorang yang kusebut sahabatku juga:
“Kau
datang sendiri? Si dia mana?” tanyaku, tanpa kuasa mengeja namamu, kala lelaki
yang bersamamu selama ini, datang menemuiku di sebuah kafe untuk beberapa
kepentingan.
Lelaki
itu pun mengambil posisi duduk tepat di depanku. “Aku tak ada hubungan lagi
dengannya. Dia kukuh menyudahi hubungan kami. Aku sungguh berat menerima
kenyataan itu. Tapi aku juga tak bisa memaksa dia untuk terus bersamaku,”
katanya, dengan raut wajah yang penuh kekecewaan.
Aku
melanjutkan pertanyaan. Bermaksud mengorek informasi tentang alasan apa yang
membuatmu mengakhiri hubungan dengannya. “Ada masalah serius apa yang terjadi
di antara kalian?”
Dengan
cekatan, ia lalu membakar dan mengisap-isap sebatang rokok. “Aku juga tak tahu.
Masalah itu ada padanya. Yang pasti, aku masih menginginkannya sampai kapanpun.
Dan aku tak akan sudi seseorang merebut hatinya sebelum aku benar-benar
merelakan ia pergi,” katanya, dengan keteguhan yang tampak mendalam.
Atas
kerisauannya, juga atas perasaanku yang menggantung padamu, aku memilih untuk
tak membahas tentang kita dan tentang kalian lagi. Untuk waktu selanjutnya,
obrolan kami pun beralih pada topik yang lain.
Sampai
akhirnya, selang berapa hari, kulihatlah sebuah bukti yang membuatku tercengang. Di tengah
hubungan kita yang telah membeku, aku melihat gelang pemberianku melingkar di pergelangan
tanganmu. Gelang itu tampak elok menggantikan posisi gelang pemberian darinya.
Dan
sore ini, kala aku tengah mengetik cerita tentang kita, hujan, dan sebuah
cincin, gerimis turun di bawah mentari yang tengah bersinar terang. Kurasa, itu
sebuah pertanda untuk jalan hatiku yang bimbang, kala kisah kita yang masih
menggantung, tersandera kisahmu dengannya, dengan seseorang yang juga sahabat
baikku sendiri, yang menyudahi kisah kalian tanpa kerelaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar