Awalnya,
tak ada yang ganjil dari kepribadian Sutomo. Seperti lazimnya kepala keluarga, ia
tetap bertanggung jawab demi keutuhan rumah tangganya. Tetap gigih mencari penghasilan
untuk kebutuhan diri sendiri dan istrinya, Sumia. Bahkan tak hanya mengandalkan
pendapatan sebagai pegawai negeri, ia juga menyambi sebagai penambak ikan lele.
Harta
benda yang berkecukupan, tak membuat Sutomo dan istrinya tampil
bermewah-mewahan. Buktinya, ia hanya menggunakan sepeda motor jadul untuk
menjalankan tugasnya sebagai sekretaris desa. Istrinya pun tak kalah sederhana.
Jangankan menggunakan perhiasan di sana-sini, merias wajah dengan bedak
seadanya saja, tak pernah ia lakoni.
Prinsip
hidup Sutomo yang penuh kesederhaaan, sebenarnya bukanlah sebab Sumia rela
tampil polos. Sebagai seorang wanita, besar juga keinginannya untuk berhias dan
mengenakan anting, cincin, gelang, kalung, dan pernak-pernik lainnya. Apalagi, wajar
ia berhasrat, sebab suaminya memang orang yang mampu. Namun kesederhaaan itu,
terpaksa saja ia jalani, atas titah sang suami.
Setiap
bulan, Sumia memang mendapat uang belanja yang cukup. Tapi penyerahan uang itu,
selalu disertai wanti-wanti sang suami, bahwa ia tak boleh menggunakannya untuk
membeli bahan tata rias, apalagi perhiasan. Jika ia membangkang, maka ia
kemungkinan menuai gombalan kalau ia cantik tanpa perlu berhias, atau malah
mendapat murka yang tak terkira.
Larangan
suaminya untuk berdandan dan berhias, tak pernah dipermasalahkan Sumia. Ia
memang menyadari posisinya sebagai istri yang senantiasa harus patuh dan taat
pada perintah suami. Kemauan dan kebahagiaan sang suami adalah tujuan utama
baginya. Ia tak pernah menghiraukan olokan para tetangga atas penampilannya
yang tawar.
Kepatuhan
Sumia, sebenarnya, juga demi menjaga emosi sang suami yang kurang stabil.
Apalagi ketidakstabilan itu paling sering terpancing karena soal penampilannya.
Emosi yang meluap akibat kecembuaruan yang berlebihan. Emosi akibat prasangka
yang tidak-tidak. Keadaan itu pun, telah
dipahami Sumia di awal pernikahan.
Jelas
saja Sumia masih ingat kejadian dua tahun lalu. Kala itu, ia hendak berkunjung
ke kediaman keluarga Kardi untuk membantu pengurusan mayat ibu sang bujang desa
itu. Dengan riasan yang sesederhana mungkin, ia pun hendak berangkat. Namun
Sutomo yang melihat gelagatnya menjadi geram, hingga melayangkan tamparan di
pipinya. Sang suami menuding bahwa ia hendak bermain hati dengan Kardi. Sebuah
alasan yang tak masuk akal sebab kala itu, Kardi telah mendekam di penjara atas
kasus kepemilikan narkoba. Sebuah perihal yang harusnya diketahui juga oleh Sutomo, sebab ia bersama Kardi saat peristiwa penggerebekan terjadi.
Dan
belakangan ini, emosi Sutomo jadi semakin liar dan sulit ditebak. Sebuah
keadaan yang membuat pekerjaannya terbengkalai. Ia jadi suka bediam diri untuk
waktu yang lama. Ketika disapa sang istri untuk hal-hal yang lazim, ia malah
membalas dengan luapan amarah yang sulit diredakan. Karena itu, Sumia pun
memilih untuk mendimkan keadaan. Hingga, jadilah suami-istri itu serupa patung
yang tak bertegur sapa sepanjang waktu.
Puncak
dari ketidakstabilan Sutomo, akhirnya pecah hari ini. Istrinya yang hendak
berbelanja ke pasar, dicurigainya macam-macam.
“Mau
ke mana kamu?” tanya Sutomo. Nada suaranya menggertak.
Sumia
pun meringkuk takut. “Mau ke pasar, Pak. Keperluan dapur habis.”
Sutomo
bangkit dari posisi duduknya. Ia menggeleng-geleng sambil berdecak-decak.
Seakan menemukan kebohongan besar dari perkataan istrinya. “Jadi itu alasanmu,
iya? Kau pura-pura pergi ke pasar lalu mengunjungi mantan kekasihmu yang hari
ini keluar dari penjara. Begitu kan rencanamu?”
“Maksud
Bapak?” tanya balik Sumia. Ia jadi semakin takut suaminya bertindak kasar.
“Kau
jangan pura-pura tidak tahu kalau Kardi dibebaskan dari penjara hari ini. Dasar
pembohong besar!” solot Sutomo. “Kau kira aku percaya saja selama ini, kalau
kau tak ada rencana main hati lagi sama Kardi?” Sutomo lalu tertawa terbahak-bahak,
seperti orang tak waras. “Aku tak bodoh, Sayang!” katanya, sambil menjumput
dagu sang istri.
Bulir
air mata pun meluncur ke pipi Sumia. “Sudahlah, Pak. Berapa kali sudah aku
harus bilang kalau aku dengan Kardi tak ada hubungan apa-apa sejak dari dulu.
Percayalah, Pak!” tegas Sumia, sambil menggenggam tangan sang suami. “Apa lagi
yang tak aku syukuri menikah dengan Bapak. Sosok yang tak banyak menuntutku,
segala macam. Mana bisa pula aku hendak hidup bersama penjahat macam Kardi,
Pak. Percayalah!”
Seketika, kata-kata
dari sang istri, perlahan membuat ketidakwarasan Sutomo mereda. Ia merasa
tenang dianggap lebih baik daripada Kardi. “Jadi kau benar-benar lebih percaya
padaku kan, bahwa Kardi memang pemadat, pemilik barang haram, dan pantas
dipenjara? Kau tak percaya kata orang-orang kan, bahwa aku telah menjahati
Kardi?” tanya Sutomo, meminta penegasan.
Sumia
mengangguk sambil tersenyum.
Keadaan tersebut membuat Sutomo benar-benar tenang, hingga akhirnya membolehkan sang istri pergi ke pasar.
Dan,
dugaan Sutomo tak benar-benar salah. Diam-diam, Sumia punya rencana bertamu ke
rumah Kardi. Tapi maksudnya bukan untuk bermain hati. Ia cuma hendak meminta
penjelasan, bahkan meminta maaf, sekiranya benar kata orang-orang kalau suaminya
telah melakukan fitnah kepada Kardi karena cemburu buta di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar