Di
satu pagi, tanpa sebab yang bisa kuduga, kau datang menghampiriku seorang diri.
Tanpa aba-aba, kau lalu duduk di satu bangku, tepat di depanku. Kau terlihat
segan, dengan senyuman yang tanggung. Terkesan tersipu-sipu. Sesekali sanggup
beradu tatap denganku, tapi lekas berpaling ke arah yang lain.
Seketika,
kau pun berucap dengan terbata-bata, “Kak, boleh-tidak aku bertanya sesuatu?”
katamu, lalu tertunduk dan menggaruk-garuk pungung tanganmu.
Demi
wibawa sebagai senior, aku pun berusaha menanggapimu dengan sikap yang biasa.
“Ada apa, Dik? Tak usah permisi kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan.
Kalau aku tahu, ya pasti aku jawab.”
Kau
masih tampak malu-malu. Lidahmu kelu berterus terang. Tapi setelah melayangkan
senyuman yang canggung lagi, kau pun memberanikan diri berucap, ”Apa yang harus
kulakukan agar aku bisa menulis cerpen, seperti Kakak?”
Jelas,
pertanyaanmu lumrah saja. Sebagai anggota baru di sebuah organisasi penulisan,
sudah sewajarnya kau bertanya pada senior, sepertiku. “Ya, tulis saja, Dik. Mulailah tanpa perlu memusingkan penilaian orang-orang! Tangan seorang penulis memang
harus lebih gesit dari kecepatan berpikirnya. Tak baik kalau penulis terlalu
banyak berteori. Baiknya, belajar dari aktivitas berpraktik,” kataku, sok-sok
bijak dan filosofis.
Kau
mengangguk, layaknya memahami. Kedua bibirmu berhimpitan, hingga kelok-kelok di
dagu dan pipimu, timbul tenggelam. “Tapi bagaimana caranya aku bisa memulai,
Kak. Kadang kala, keinginanku sangat kuat untuk menyelesaikan satu tulisan,
tapi aku tak tahu bagaimana harus memulai. Akhirnya, tak satu pun tulisan yang bisa
kuselesaikan,” keluhmu, dengan sikap yang lebih tenang.
Kulihat
raut wajahmu yang cemberut dan menyiratkan keputusasaan. Kau seperti punya
kemauan besar untuk bisa merampungkan tulisan. Maka, kuungkapkanlah satu
rahasia besar di balik kesanggupanku selama ini. “Memulai itu, hanya persoalan
motivasi. Untuk memulai dan terus menulis tanpa henti, kita harus punya alasan.
Maka, carilah alasan yang membuat kita harus atau bahkan terpaksa menulis.”
Dahimu
mengernyit. Kau tampak butuh penjelasan yang lebih mudah dipahami. “Alasan itu
misalnya apa, Kak?”
“Ya, terserah kamu. Ada kalanya, seseorang
penulis fiksi menulis untuk seseorang yang ia kagumi. Yang pasti, carilah
alasan yang awet, yang tidak berlaku sementara saja, sehingga alasan itu akan
membuat kita menulis tanpa henti.”
Kau
pun tersenyum lepas mendengar penjelasannya. Sedikit tersipu. Seakan-akan kau
telah menemukan motivasi menulis seketika itu juga.
Dan
seiring waktu, sejak obrolan pendek kita di pagi itu, aku pun melihat ada
perubahan pada kreativitas menulismu. Hari demi hari, tulisan cerpenmu terus
bertambah. Cerita yang kau suguhkan, juga semakin mengagumkan. Kau bahkan telah
mampu mengombinasikan diksi yang berirama, ide cerita yang tak lazim, juga alur
yang membuat ceritamu sulit ditebak.
Atas
pencapaian itu, kadang-kadang aku mamberimu pujian. Hanya sesekali saja. Aku
takut pujianku akan membuat motivasi menulismu, terbunuh. Aku takut kau akan
terbiasa dengan sanjungan, sampai merasa tak bersemangat lagi kala aku tak
sempat atau lupa mengutarakannya untukmu. Itu pun kalau akulah motivasi menulis
selama ini. Aku hanya merasa-rasa.
Sikapku yang dingin terhadapmu, sampai jarang mengomentari
tulisan di blogmu, akhirnya membuatmu datang menghampiriku. Kau bermaksud meminta pendapatku secara
langsung tentang beberapa tulisan yang baru saja kau unggah di bilik pribadimu
itu.
“Kalau
menurut Kakak, apa lagi yang harus kuperbaiki soal tulisan cerpenku?” tanyamu,
tampak lebih berani ketimbang saat kau bertanya tentang tips menulis padaku.
“Sepanjang
yang kutahu, kau menulis dengan sangat baik,” jawabku, tanpa semangat untuk
merincinya, sebab itu hanya akan berupa puji-pujian terhadapmu.
Kau
tersenyum sepintas. “Bagaimana dengan tulisan terbaruku?”
Aku menoleh padamu. Memandangimu lekat-lekat. “Maaf, aku
banyak urusan belakangan ini. Aku tak sempat lagi membaca isi blogmu. Lain
kali, kita bisa diskusi soal itu,” balasku, dengan sikap yang
datar saja, tanpa ada maksud untuk membuatmu senang atau kecewa.
Kau
pun tampak cemberut. Rona wajahmu yang cerah saat tiba, jadi padam seketika.
“Baiklah. Aku berharap, Kakak berkenan membaca dan memberikan saran jika ada
waktu,” pungkasmu, kemudian beranjak pergi.
Aku
tahu, kau pergi dengan rasa kecewa yang mendalam.
Sejujurnya,
aku telah membaca tulisan terakhir yang kau unggah di blogmu. Dari cerita polos
yang kau suguhkan, aku bisa menyimpulkan kalau dugaanku memang benar, bahwa kau
menjadikan aku motivasimu dalam menulis cerpen. Dan, itulah yang tak kuinginkan
terjadi.
Entah
sampai kapan, aku tak akan menghiraukan sikapmu padaku. Aku tak ingin peduli
tentang perasaanku, juga perasaanmu, serta bagaimana hubungan keduanya. Aku tak
ingin memusingkan tentang bagaimana akhirnya nanti, dalam kenyataan hidup. Hanya
dengan cara itulah, kita akan terus menulis.
Mungkin
kau masih ingat olokan teman-teman kita kepadaku, di suatu hari yang lampau. Saat
itu, mereka menjulukiku sebagai penulis karatan. Seorang penulis cerpen
melankolis yang tak juga menemukan pendamping hidup. Penulis yang selalu memenangkan
percintaan dalam setiap gubahannya, namun tak pernah terbukti di dunia
nyata.
“Apa
gunanya menulis terus kalau menaklukkan hati satu orang saja tak bisa?” tanya seorang teman kita.
“Kawan, seorang penulis cerita fiksi, butuh motivasi
yang awet untuk menulis. Sebuah angan-angan abadi, yang tak boleh diwujudkan
dalam kenyataan. Sebuah hal yang akan membuat imajinasi terus hidup dan liar. Biarpun
itu berupa harapan akan cinta, atau luka karena harapan itu. Dan mengikat hati
pada cinta yang membuai, adalah kematian bagi seorang penulis,” kataku, yang
membuat semua orang, juga teman kita, bahkan kau, mungkin sulit memahami
maksudnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar