Di
masa kanak-kanak, kita melalui banyak hari yang kurang harmonis. Aku terbiasa abai,
tapi kau cerdik mencari perhatian. Saat waktuku bermain sepak bola, kau malah
merengek. Kau memaksaku berbetah-betahan bersamamu, entah bermain boneka, parade
masak-masakan, atau mengejar capung di halaman rumah. Dan akhirnya, aku sering
mengalah.
Kau
memang manja dan beruntung. Tak perlu memohon untuk segala keinginan. Bahkan cukup
menangis, apa pun bisa terkabulkan, termasuk agar aku menjadi pelayanmu. Dan
terperangkap bersamamu, sering kali berbuah celaka bagiku. Kau pasti masih
ingat saat kupatahkan kepala boneka barbiemu,
tanpa sengaja. Kau lalu menangis, dan aku mesti dapat jeweran.
Hubungan
kita, memang terikat dalam nuansa ketidakadilan. Hanya karena kau lebih muda,
aku harus menyayangimu tanpa alasan. Tapi tidak sebaliknya, bahwa aku yang
lebih tua, harusnya kau hormati tanpa perlu kumohon sekali pun. Kau jelas
menyalahgunakan kekanak-kanakanmu untuk menang, sedangkan aku yang lebih tua,
tak bisa apa-apa.
Aku
memang sial, sebab dilahirkan tujuh tahun lebih dulu darimu. Saat kau berumur 5
tahun, aku sudah 12 tahun. Bagimu kala itu, wajar jika laki-laki dan perempuan bermain
bersama. Tapi aku mulai keki. Akhirnya, atas kuasamu, aku terpaksa menemani, dengan
rasa benci. Dan saat kau berumur 10 tahun, sedang aku 17 tahun, petaka
berlanjut. Kau masih manja, sedang aku mulai berjarak dengan wanita karena rasa
yang belum bisa kau mengerti.
Sampai
akhirnya, waktu bergulir begitu cepat. Saat ini, umurmu 17 tahun. Kau tampak
mulai mengerti maksudku, tentang kenapa lawan jenis berjarak bukan karena rasa benci,
tapi mau berbalut malu. Aku jelas paham kekalutan itu, sebab telah melewatinya sekian
lama. Hingga kini, di usia 24 tahun, perasaanku jadi seumpama mentari
pagi; segan, tapi hadir demi tanggung jawab.
Kini,
di usia dewasa, kau semakin menawan. Itu wajar. Kuduga, kau mulai dilanda badai
kasmaran. Sesuatu yang akan membuatmu berpikir berulang kali sebelum keluar
rumah. Tentang bagaimana riasan di wajahmu, keserasian warna rok dan bajumu, juga
aroma badanmu; segala hal yang tak pernah kau hiraukan secara detail sebelumnya.
Atas
perubahanmu, aku pun jadi korban. Sebelum mengantarmu ke sekolah setiap pagi,
misalnya, aku harus menunggu lebih lama hingga kau selesai berdandan. Kau
sungguh lelet. Mungkin karena kau yakin bahwa aku akan mengantarmu sampai di
sekolah tepat waktu. Apalagi, kau memang tak peduli bahwa sesampaimu dengan
selamat, aku harus menempuh jalur yang berlawanan, menuju ke kantorku, sekitar
15 menit, sampai aku sering terlambat.
Tapi
pagi ini, ada yang berbeda. Kau bersiap lebih cepat, dengan tampilan yang tak
kurang mengangumkan dari kemarin. Kau tiba di halaman rumah saat aku masih memperbaiki
motor yang bermasalah. Memeriksa isi tangki, membersihkan busi, hingga mencoba
menyalakannya berulang-ulang. Hingga akhirnya, motor butut itu kembali menyala.
“Tisu,”
tuturmu, sambil menyodorkan beberapa lembar dari tasmu.
Kuterima
dengan senang hati, lalu membersihkan tanganku yang penuh noda.
Tiba-tiba
kau mendekat, lalu menyeka dahiku seketika. “Makanya, kalau kerja yang ikhlas,
supaya tidak lepotan begini,” katamu, sambil menjumput dagu dan
memaling-malingkan wajahku. Kau mengecek dan mengelap noda lain di bagian
pipiku.
Aku
hanya terpaku memandangmu. Ada sedikit perasaan aneh, sebab kau tak pernah
memerhatikanku selebih ini.
“Sekarang
sudah bersih. Kalau begini, lumayanlah. Kurasa, hari ini, akan ada wanita yang
terpesona melihat penampilan Kakak,” pujimu, meski kau bermaksud meledek.
Aku
memandangmu untuk beberapa saat lagi. Sekadar memastikan bahwa kau memang lebih
cantik daripada yang kulihat sepintas selama ini.
“Kenapa
bengong? Ayo berangkat!” titahmu, tegas. Terlihat menggemaskan. ”Kali ini,
bukan salahku lagi kalau Kakak terlambat.”
Aku
tersenyum. “Baiklah Nona manis, yang hari ini tampak menawan,” kataku,
sejujurnya, meski kau pasti menganggap itu ledekan semata.
Kita
pun melalui jalan seperti biasa. Sesadel tanpa banyak bicara. Aku fokus di
jalan demi keselamatanmu, sedang kau hanya menyandarkan lenganmu di punggungku.
Sesekali, kau akan melingkarkan tangan di perutku, saat jalan lowong dan aku
memacu kendaraan tiba-tiba. Selebihnya, aku tak tahu apa yang kau lakukan di
belakangku. Yang pasti, di saat dekat seperti ini, aku memikirkan banyak hal tentangmu,
meski kau mungkin sedang memikirkan seseorang yang lain.
Belakangan,
batinku memang berbeda terhadapmu. Perasaanku dekat saat kau jauh. Tapi, pikiranku
berkata, memang sebaiknya kau menjauh saat kita sedang berdekatan. Ada jarak di
antara kita yang tak bisa disatukan hanya dengan pelukan. Ada hati yang tak
berpadu, meski raga beradu. Kita sedunia, tapi tak sealam. Aku tak tahu
bagaimana cara mengubah keadaan itu.
Di
tengah kegundahanku yang menjalar, sampai juga kita di halaman sekolahmu. Tak
seperti biasa, kali ini senyumanmu tampak merekah sempurna. Kau seakan melepas rona
kebahagiaan sejati. Prasangka burukku pun menguat, bahwa itu karena beberapa
detik lagi, kau akan bertemu dengan lelaki pujaanmu. Kau akan meninggalkanku;
seseorang yang masih membawa bayang-bayangmu hingga bertemu lagi siang nanti,
saat kembali datang menjemputmu.
Setelah
kau menghilang di sudut ruangan, dengan berat hati, aku pun pergi, menggulung
kembali lintasan yang baru saja kita lalui. Membentangkan jarak di antara kita.
Membuat waktu kerjaku akan terasa semakin lama dan menyiksa. Hingga menyusun
laporan keuangan yang sederhana saja, menjadi perkerjaan yang sangat memusingkan
bagiku. Aku tak bisa konsentrasi. Semua ini bermula di hari kemarin, setelah
kutemukan kado dan surat cinta untukmu.
Waktu
terus bergulir. Akhirnya, setelah jam sekolahmu kuduga telah
berakhir, aku pun menelusuri jalan yang kulalui ke sekian kalinya, untukmu. Kulajukan
sepeda motorku secepat mungkin, sebab untuk kali ini, aku tak ingin membuatmu
menunggu barang sedetik saja. Aku takut ada seseorang yang menawarkan tumpangan
padamu, dan kau mengiyakan saja. Atau malah, kau yang memintanya.
Namun
setiba di satu titik, di tempat biasanya kau menunggu, aku sedikit heran. Kau
belum tampak. Aku pun menunggu. Detik berganti menit, kau tak juga datang. Menit
berganti jam, kau bahkan tak meresponsku melalui telepon atau pesan singkat. Sejam
lebih, aku masih bertahan sambil bertanya-tanya. Hingga akhirnya, aku menyerah.
Tanpa
petunjuk apa-apa, aku pasrah dan pulang ke rumah, sambil berharap menjumpaimu
di sana dalam keadaan baik-baik saja. Aku tak kuasa mengkhawatirkanmu lebih
lama lagi.
Tapi,
ternyata aku tak juga menjumpaimu. Kau menghilang tanpa kabar.
Sampai
akhirnya, di sore hari yang hampir gelap, kau tiba dengan seorang lelaki. Kupastikan,
dialah lelaki yang membuatmu terlena. Karena itu, ia pantas dienyahkan dari
muka bumi.
Dengan
emosi yang tak keruan, aku pun bergegas menghampiri lelaki itu. Dan entah setan
apa yang merasukiku, tanpa basa-basi, kulayangkan sebolak-balik tamparan di
pipinya. Tamparan pertama untukmu sebagai adikku. Tamparan ke dua untukmu
sebagai wanita pujaanku.
“Lelaki
macam apa kau, sampai membawa seorang wanita tanpa kabar hingga nyaris malam
begini!” bentakku.
Lelaki
itu tertunduk mematung. Seakan tak yakin kalau aku telah memberi ucapan selamat
datang yang tak lazim untuknya.
Kau
juga tak kalah kagetnya. Kau tampak terenyak sambil memeluk tasmu. Tanganmu
sedikit gemetar. Bibirmu memucat. Pastinya, kau tak menyangka aku bisa
selancang itu. Serupa kau tak menyangka bentuk perasaanku padamu.
“Jangan
macam-macam dengan Adikku. Pokoknya, aku tak sudi lagi melihat kau dekat-dekat
dengannya,” gertakku. Kemudian dengan intonasi kata yang merendah, aku
mengucapkan kalimat penutup, “Pulanglah. Aku tak butuh penjelasan apa-apa
darimu.”
Tanpa
berkata-kata lagi, lelaki yang tak kutahu namanya itu, pulang. Ia bahkan pergi
tanpa sedikit pun melirik kepadamu. Dan karena itu, aku yakin, ancamanku
berhasil.
Setelah
terpaku beberapa detik untuk memahami momen yang tak mungkin kau sangka-sangka,
kau pun bergegas masuk ke dalam rumah. Berlari, sambil menjatuhkan air matamu. Lalu,
kudengar suara gaduh dari dalam ruangan. Kuduga, kau membung tasmu di sembarang
tempat, hingga mengenai perabotan. Dan kulihatlah, guci peninggalan ayah, telah
berserakan di lantai.
Akhirnya,
aku jadi khawatir sendiri terhadapmu. Aku takut kau melakukan tindakan yang
tidak-tidak. Karena itu, aku pun menyusulmu ke lantai dua rumah, yang menjadi
wilayah kekuasaanmu selama ini. Aku bermaksud mengecek keadaanmu, juga untuk menenangkanmu.
“Dik,
maafkan aku atas kejadian tadi,” kataku, memelas, meski sedikit pun aku tak
menyesal telah bertindak demikian.
Tangisanmu
semakin kencang. “Kenapa Kakak melakukan itu? Kenapa?”
Aku
tetap membela diri demi martabat sebagai lelaki, “Dik, itu demi kebaikanmu
juga. Aku yakin, tak ada laki-laki baik yang memperlakukan wanita seperti itu, yang
membawa anak orang lain tanpa kabar hingga hampir malam.”
“Tapi itu bukan salahnya, Kak. Dia tak tahu
apa-apa. Dan tentang mengabari Kakak, HP-ku lobet,
sedangkan aku tak hafal nomor telepon Kakak,” katamu, sambil terisak.
Kuulangi
lagi kata-kata penyesalanku. “Maafkan aku kalau kau kurang berkenan, Dik. Tapi
yakinlah, aku bermaksud baik untukmu.”
“Sudahlah,”
selamu seketika, dengan tangis yang kembali menjadi-jadi. “Aku sudah dewasa,
Kak. Aku tahu dengan siapa aku aku mesti bergaul!”
“Tapi
aku merasa kau bergaul dengan laki-laki yang salah, Dik,” tegasku lagi.
Kau
lalu berdiri, menamparku, kemudian mendorong badanku hingga terhempas ke dinding.
Aku
sungguh tak menyangka kau tega melakukan itu.
Kini,
aku ingat lagi almarhum ayah. Kala itu, kau memaksa ikut bermain ke sungai. Karena
kesal, aku pun meninggalkanmu seorang diri di sana, sambil berharap kau lenyap
saja dari muka bumi. Dibawa arus sungai sampai jauh. Sungguh, saat itu, aku
menganggapmu hanyalah perempuan kecil yang telah mencuri kasih sayang ayah
dariku. Tapi akhirnya, ayah menghadiahiku sebuah tamparan atas tindakan itu.
Dan dari tamparanmu dan tamparan ayah, aku disuguhi kebingungan yang sama: bagaimana
bisa aku dipersalahkan hanya karena mengharapkan cinta yang seharusnya menjadi milikku?
Di
saat ini pula, teringatlah satu rahasia terbesar yang diungkapkan ayah di akhir
hidupnya kepadaku. Saat itu, aku sudah berumur 17 tahun, dan mungkin dianggap telah
cakap memegang amanah. Kuketahuilah bahwa kau bukanlah siapa-siapa kami. Kau
hanyalah seorang bayi malang yang ditemukan ayah di depan rumah, di saat aku
masih belum mengerti apa arti kakak-adik selain serumah dan bersama sejak
kecil.
Kala
itu, ayah pun berpesan: Nak, sepeninggal
ibumu saat kau masih enam tahun, aku tak pernah berpikir lagi untuk menikah. Aku
tak akan merasa sepi karena punya kamu. Karena itu, aku berharap, sepeninggalku
nanti, kau juga tak akan merasa kesepian, sebab kau punya seseorang yang bisa
kau jadikan teman hidup. Soal rahasia besar ini, tunggulah sampai kira-kira ia
siap menerima kenyataan yang sesungguhnya.
Dan
kini, aku pun bingung sendiri, kapan waktu yang tepat untuk menjelaskan rahasia
itu kepadamu. Menjelaskan asal-usulmu. Menjelaskan bahwa tak ada rintangan
untuk kita menyatu dalam cinta, selain bahwa kau selama ini hanya menganggapku
seorang kakak, dan tak mungkin lebih.
“Kakak
turun saja! Kali ini, aku benci Kakak!” katamu dengan air mata yang terus
menetes. Tapi aku masih melihat ada keseganan di balik tatapanmu. Aku yakin, kau
tak akan benar-benar membenciku.
Aku
berdiam diri saja. Memandangimu dan mencoba memastikan bahwa hubungan kita akan
segera membaik.
Kau
pun kembali berdiri, lalu mendorongku, sambil memukul-mukul punggungku. Kau
melakukan itu, sampai akhirnya aku keluar dari kamarmu, lalu kau menutup pintu
rapat-rapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar