Tumbangnya
rezim Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, membawa angin segar bagi dunia pers
Indonesia. Pers yang sebelumnya mendapat kekangan dari pemegang kekuasaan
negara, akhirnya menikmati kebebasan seluas-luasnya dalam era Reformasi. Bahkan
tak lama setelah peralihan kekuasaan, tepatnya 23 September 1999, lahir UU No.
40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yang bertujuan untuk mewujudkan
kemerdekaan dan kebebasan pers.
Euforia
atas kemerdekaan pers, tak pelak, memberikan pengaruh pada pertumbuhan pers.
Atas dasar hak setiap warga negara untuk mendirikan perusahaan pers menurut UU
Pers, muncullah banyak media dengan karekteristik dan tujuan tertentu, baik
cetak maupun elektronik. Terlebih dengan sokongan teknologi telekomunikasi
berbasis internet, membuat media siber muncul bak cendawan di musim hujan.
Ditilik
pada website resmi Dewan Pers, www.dewanpers.or.id, tercatat ada sekitar 1724
perusahaan pers yang telah terverifikasi, baik secara administrasi atau
faktual. Namun legalitas perusahaan pers selaku pelaksana usaha pers, tak
lantas menjamin kendali atas pertumbuhan media, terutama media siber abal-abal.
Sebagaimana dilansir kompas.com (21/12/2016), Ketua Dewan Pers Yosep Adi
Prasetyo menuturkan bahwa terdapat 43.400 media siber, tetapi yang telah
terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 234 media.
Pertumbuhan
media pers yang tak terkendali, akhirnya turut meningkatkan kebutuhan akan jasa
para wartawan. Namun pada tahap inilah, upaya menghadirkan insan wartawan yang
profesional, mengalami rintangan berat. Kualitas wartawan, kini diperhadapkan
dengan kebutuhan media yang terus meningkat, serta kepentingan pemilik media yang
pragmatis. Imbasnya, muncul sejumlah wartawan tanpa keterampilan yang memadai,
namun cukup bisa mewujudkan kepentingan bisnis sebuah media.
Realitas
Kini
Profesionalisme
wartawan menjadi persoalan yang sangat penting saat ini. Di tengah iklim
kemerdekaan dan penjunjungan terhadap independensi pers, profesionalitas
wartawanlah yang menjadi penentu terhadap kualitas sebuah media. Tanpa wartawan
yang profesional, maka percuma berharap adanya media yang mampu mewujudkan
fungsi pers sebagai wadah informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial,
semata-mata untuk kepentingan masyarakat.
Tingkat
profesionalitas wartawan, paling tidak dapat disandarkan pada penegakan prinsip
dan etika jurnalistik. Secara rinci, menurut Zulkarimein Nasution (Etika
Jurnalisme dan Prinsip-Prinsip Dasar, 2015: 115), terdapat delapan nilai pokok
yang patut menjadi pegangan wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik,
yaitu akurasi, independensi, objektivitas, balance, fairness, imparsialitas,
menghormati privasi, dan akutabilitas kepada publik.
Kalau
penegakan prinsip dan etika jurnalistik direfleksikan pada realitas wartawan
Indonesia, maka akan tampak banyak persoalan. Sebagaimana dilansir di laman republica.co.id
(5/1/2017), Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan bahwa pada tahun
2016, Dewan Pers menerima sebanyak 750 aduan, yang sebagian besar terkait
dengan pelanggaran kode etik dan perilaku wartwan. Bentuknya dapat berupa
pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, nilai keberimbangan, dan
kepentingan privasi seseorang.
Timbulnya
masalah pada profesionalitas wartawan, tentu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
dan keterampilan jurnalistik wartawan sendiri. Para wartawan yang tidak
memahami teknik, prinsip, dan etika jurnalistik, pastilah bermasalah di
lapangan pemberitaan. Bak berjalan tanpa arah. Implikasinya, keterampilan jurnalistik
pun, tak akan terasah dengan baik. Dan lahirnya wartawan sejati, akan tetap jadi angan-angan semata.
Sebagaimana
diutarakan oleh Djafar H. Assegaff (Perlawanan dalam Kungkungan: Menegakkan
Mutu dan Profesionalisme Pers, 2002: 81-82), masalah yang dihadapi dalam
pendidikan jurnalistik adalah pembentukan watak dan sikap sebagai wartawan.
Sikap dan watak sebagai wartawan tidak bisa diajarkan dari buku semata, tetapi
harus dibentuk dalam suasana kerja. Sikap adalah kemampuan wartawan untuk
bekerja di dalam tekanan waktu dan bekerja secara bergegas. Wartawan harus mampu
menangkap peristiwa dan menuliskannya secara tepat.
Di
luar faktor kompetensi, profesionalitas wartawan juga tak bisa dilepaskan dari tekanan
pemilik perusahaan pers. Atas kepentingan profit, para wartawan sering kali
disetir untuk kepentingan tertentu yang bertentangan dengan prinsip dan etika
jurnalistik. Selain itu, tekanan juga dapat berasal dari oknum masyarakat yang
memiliki kepentingan pada fakta pemberitaan, baik tekanan dalam bentuk intimidasi
maupun kekerasan fisik. Namun pada akhirnya, tekanan apa pun jadi tak berarti
apa-apa, jika sikap dan watak wartawan, telah terbentuk dengan baik.
Butuh
Pembenahan
Timbulnya
persoalan terkait profesionalitas wartawan, perlu segera diatasi. Jika terkait
dengan kompetensi wartawan, maka sistem pendidikan keterampilan, urgen untuk
diwujudkan. Apalagi, sudah tak terelakkan bahwa status wartawan, telah dianggap
sebagai profesi, sehingga lekat dengan profesionalitas. Paling tidak, wartawan
telah memiliki panduan etik dan sejumlah organisasi perhimpunan yang lazim ada pada
profesi secara umum. Namun sayang, sistem pendidikan keterampilan yang juga
merupakan karakteristik dari sebuah profesi, masih belum menjadi perhatian
serius di dunia kewartawanan.
Sebagai
gambaran, jumlah wartawan di Indonesia menurut berita yang dilansir di mediaindonesia.com
(2 September 2016), telah mencapai sekitar 80.000 orang. Namun hanya sekitar 8.000
orang dari mereka yang telah melulusi uji kompetensi. Bahkan jika ditilik pada
laman resmi Dewan Pers, www.dewanpers.or.id, hanya terdapat sekitar 6.460 orang
wartawan yang telah mengantongi sertifikat kompetensi.
Diabaikannya
pendidikan profesi kewartawanan, setidaknya bisa dilihat dari lambatnya
pengadaan sistem pendidikan keterampilan watawan. Baru pada tahun 2010, Dewan
Pers sebagai lembaga yang juga berfungsi meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan sesuai Pasal 15 ayat (2) f UU Pers, menetapkan Peraturan Dewan
Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan (Peraturan SKW).
Peraturan SKW tersebut merupakan rumusan kemampuan kerja wartawan, yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan
dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.
Secara
umum, kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers,
konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam
kerangka Peraturan SKW, item-item itu terbagi dalam tiga komponen besar, yaitu:
(a). Kompetensi kesadaran (awareness), mencakup kesadaran tentang etika dan
hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi; (b). Kompetensi
pengetahuan (knowledge), mencakup pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik,
pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus; (c). Kompetensi keterampilan (skills),
mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi,
serta menggunakan alat dan teknologi informasi.
Lebih
lanjut, Peraturan SKW juga membagi kualifikasi dan jenjang kompetensi wartawan
dalam tiga kelompok besar, yaitu wartawan muda dengan kompetensi melakukan
kegiatan jurnalistik, wartawan madya dengan kompetensi mengelola kegiatan
jurnalistik, dan wartawan utama yang memiliki kompetensi untuk mengevaluasi
serta memodifikasi kegaiatan jurnalistik. Sesuai tingkat kualitasnya, tiap-tiap
kualifikasi tersebut, memiliki mekanisme dan sistem pengujian yang berbeda-beda.
Jenjang
kompetensi ini, selanjutnya, jadi penting sebagai panduan penataan karir insan
wartawan, semisal reporter yang cukup berkualifikasi wartawan muda, redaktur
berkualifikasi wartawan madya, sedangkan redaktur pelaksana dan pemimpin
redaksi berkualifikasi wartawan utama. Jika begitu, bisa dipastikan bahwa
ruang-ruang media pers akan diisi oleh orang yang benar-benar kompeten di
bidangnnya.
Atas
hadirnya Peraturan SKW sebagai kesepakatan Dewan Pers bersama perwakilan
organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, dan masyarakat pers, maka hal
yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengimplementasikannya dengan baik. Pelaksana
uji kompetensi yang telah diverifikasi oleh Dewan Pers, baik perguruan tinggi,
lembaga pendidikan kewartawanan, perusahaan pers, maupun organisasi pers, harus
melaksanakan pengujian secara ketat, sesuai dengan panduan umum yang juga
tercantum dalam Peraturan SKW.
Tak
kalah penting dari sekadar pelaksanaan uji standar kompetensi dan sertifikasi,
setiap perusahaan pers juga harus merumuskan dan menegakkan Peraturan SKW dalam
kebijakan-kebijakan internalnya. Setidaknya, perusahaan pers harus memberikan
jaminan kepada masyarakat bahwa wartawan yang mereka pekerjakan, telah memenuhi
standar kompetensi wartawan sesuai dengan jenjang karir mereka dalam struktur redaksi.
Lebih
dari itu, organisasi wartawan atau perusahaan pers, juga harus proaktif dalam
mengawasi dan mengevaluasi kinerja anggotanya sesuai dengan prinsip dan kode
etik jurnalistik. Jika terdapat wartawan yang melakukan pelanggaran, maka seyogianya,
melalui usulan majelis/dewan etik organisasi wartawan atau perusahaan pers,
sertifikat dan kartu kompetensi wartawan yang bersangkutan, patut diusulkan
untuk dicabut oleh Dewan Pers.
Mekanisme
pencabutan predikat kompetensi, diatur secara jelas dalam Peraturan Dewan Pers
No. 3/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Pencabutan Sertifikat dan Kartu Kompetensi
Wartawan (Peraturan PSKKW). Alasan-alasan pecabutan predikat dalam peraturan
itu, secara umum, mencakup pelanggaran kode etik jurnalistik, memalsukan karya
jurnalistik dan identitas perusahaan pers saat uji kompetesi, serta tidak
menjalankan tugas jurnalistik atau bekerja di sebuah perusahaan pers yang tidak
memenuhi standar perusahaan pers.
Penegasan
terhadap wartawan abal-abal, pun terdapat dalam Peraturan PSKKW. Di dalam
peraturan tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa wartawan yang melakukan
plagiat, membuat berita dusta atau bohong, menerima suap atau menyalahgunakan
profesi wartawan, atau melanggar hak tolak/ingkar dan off the record, tidak dapat
lagi mengikuti ujian kompetensi. Ini menandakan bahwa pelanggaran pada kaidah
pokok jurnalistik, tak pantas lagi ditolerir.
Akhirnya,
harapan besar atas profesionalitas wartawan, tertumpu pada penegakan Peraturan
SKW dan Peraturan PSKKW. Untuk itu, Dewan Pers perlu memverifikasi lebih banyak
lagi lembaga uji kompetensi wartawan, agar niat baik wartawan untuk mengukuti
uji kompetensi, dapat terwadahi secara baik. Selain itu, Dewan Pers juga perlu
mengambil sikap tegas terhadap organisasi wartawan dan perusahaan pers yang
tidak mengindahkan Peraturan SKW dan Peraturan PSKKW, semisal mencabut status
terdaftar atau verifikasinya.
Di
luar itu, harapan besar, jelas ditumpukan pada niat baik dan tindakan proaktif
organisasi wartawan dan perusahaan pers dalam menegakkan Peraturan SKW dan
Peraturan PSKKW. Tak kalah pentingnya, peran serta masyarakat juga dibutuhkan dalam
melakukan pengawasan terhadap insan pers, termasuk melakukan pengaduan ke Dewan
Pers jika menemukan indikasi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar