Aku
benci menjadi lelaki dewasa. Semua serba kaku. Tak ada kepolosan. Sekadar untuk
berucap saja, harus pandai-pandai memilih kata. Salah-salah, bisa dicap bodoh. Bertindak
pun, harus kuat-kuatan. Berkeluh kesah dengan manja, bisa dicap aneh. Dan atas
status dewasa, lelaki harus mengkhianati diri. Membungkam jiwa anak-anak dalam
dirinya, sepenuh daya.
Belenggu
kedewasaan, jelas membuat komunikasi menjadi rumit. Maksud-maksud sederhana,
tak bisa diungkapkan selugu anak balita. Kalau suka atau benci pada sesuatu,
harus dengan alasan yang masuk akal. Tak cukup karena alasan suka atau benci
saja. Karena itu pula, banyak lelaki dewasa suka memendam keinginan, daripada dicecar
tanya, termasuk pula aku.
Banyal
hal yang membebani hidupku belakangan ini. Yang paling utama, soal kuliah. Sebagai
mahasiswa semester X, aku bertekad menyelesaikan studi sesegera mungkin. Bukan
karena siapa-siapa. Bukan pula tuntutan orang tuaku, sebab mereka bisa memahami
tiap kali aku beralasan. Aku hanya sadar diri, agar lekas berbakti kepada kedua
orang tua.
Dilema
pun terjadi. Banyak embel-embel yang menyertai proses penyelesaian tugas
akhirku. Entah soal pencarian data, pencetakan dan pemberkasan, juga konsumsi
tambahan di kala berjibaku dengan laptop. Semua itu butuh biaya, sehingga
kuputuskanlah untuk pulang kampung, membantu ayahku mengurus ternak, sambil
berharap kecukupan biaya setelah aku pulang.
Tapi
jelas saja, aku sedikit prihatin menyaksikan perkembangan usaha ternak ayah
yang terus merosot. Aku masih ingat, semasa kecil dahulu, kala sore hari, aku
diajak ayah mengadangkan beberapa ekor kambing. Dan kala sore hari, aku akan
pulang sambil menunggangi salah satu di antara delapan sapi yang gemuk-gemuk.
Tapi kini, aku hanya melihat dua ekor kambing saja.
“Perasaan,
tahun lalu Ayah masih menggembalakan seekor sapi betina?” tanyaku padanya,
kemarin, saat kami duduk beristirahat, seusai menengok dan memberi pakan untuk
sepasang kambing.
Ia
pun menoleh padaku. “Aku titipkan ke pamanmu untuk jadi indukan agar bisa
berkembang biak,” katanya, lalu tersenyum, menampakkan barisan giginya yang telah
hilang beberapa biji. “Nah, hasilnya, nanti dibagi.”
Aku
bisa memahami itu.
Kami
pun saling mendiamkan beberapa saat.
Berselang
beberapa detik, ia memberi saran yang menegaskan ketangguhanya sabagai seorang
ayah. “Nak, kau lihat sendiri, tak ada pekerjaan yang berarti di sini. Ayah bisa
mengurusnya sendiri,” katanya, kemudian melepas batuknya yang kering. “Aku
kira, di kota, kau punya urusan yang lebih penting. Ada baiknya, kau kembalilah
secepatnya, dan mengurus persoalan kualihmu baik-baik.”
Ada
niatku menyanggah. Tapi kulihat dari matanya, itulah yang sebenarnya ia
inginkan. Aku pun mengangguk, mengisyaratkan persetujuan, tanpa kuasa
berkata-kata.
Dan
hari ini, setelah menetap dua hari saja di kampung, membantu kerja ayah
alakadarnya, kuputuskanlah untuk kembali ke kota, memulai misiku untuk
menyelesaikan kuliah. Aku akan pergi, dengan mengikat janji pada diriku
sendiri, bahwa aku tak akan pulang kampung lagi sebelum menyandang gelar
sarjana.
Menjelang
keberangkatan, kebimbangan pun kembali mengguncang jiwaku. Ada ketidaktegaan
meninggalkan mereka berdua untuk ke sekian kalinya, bersepi-sepi berdua,
ditemani senda-gurau binatang. Ada kekhawatiran kalau-kalau mereka jatuh sakit
atau tertimpa bala, dan aku tak ada untuk sekadar menemani. Ada ketakutan
jikalau musibah terjadi, hingga tak tersisa waktu untukku menyampaikan rasa
cinta dan terima kasih yang mendalam.
Jelas,
bayangan soal keadaan mereka, menjadi rintangan terberat bagiku sebelum pergi. Tapi
aku berusaha menyembunyikan kegalauan itu. Kupendam saja sebisa mungkin, sebab
aku tahu, mereka tak ingin aku pergi dengan beban pikiran yang tidak-tidak. Dan
kemungkinan besar, mereka malah khawatir jika aku pergi dengan kekhawatiran.
Khawatir kalau aku gagal mewujudkan cita, hanya karena terlalu mencemaskan
mereka.
Belum
lagi kalau kupikir-pikir, setangguh-tangguhnya aku menahan rasa, tak ada
apa-apanya dibanding ketangguhan mereka yang begitu menyayangiku, namun tak
menampakkan kekhawatiran secara berlebihan. Tak ada kesedihan, tangis, ataupun
ratapan, meski aku bisa menerka, ada kegalauan yang tak terkira, yang tersamar
dalam senyuman mereka berdua.
Pada
menit-menit terakhir sebelum berangkat, sebagaimana adabnya, duduklah aku,
berhadapan dengan mereka berdua. Meresapi baik-baik nasihat yang mereka
pesankan, agar aku menjaga diri dan fokus menyelesaikan kuliah. Mereka pun meminta
agar aku tak memusingkan hal lain, termasuk diri mereka. Kepentinganku lebih
utama bagi mereka. Dan aku melihat, nasihat itu terucap dari hati.
Hingga
akhirnya, terucaplah doa perjalanan yang akan mengiringiku sampai ke tujuan.
Doa yang kuyakin mujarab. Doa yang akan memberkatiku dalam kepergian, meski aku
sering lupa melakukan sebaliknya untuk kebaikan mereka yang tinggal. Aku pun memperoleh
keyakinan, bahwa atas doa mereka, semua akan baik-baik saja, sampai kami
kembali bertemu, seiring doa-doa yang juga akan terus kupanjatkan untuk mereka.
Bersama
cinta tak terucap, aku pun berdiri, mencium tangan ibuku. Merasa-rasai kasarnya
telapak tangan yang telah lama mencurahkan kasih padaku. Melindungiku dari
kerasnya dunia. Hingga aku kembali menegakkan badan, menyampaikan pinta agar ia
menjaga diri selama aku pergi, tanpa memandang bola matanya terlalu lama, sebab
takut aku takut mengucurkan air mata.
“Sekali
lagi aku pesankan, jaga dirimu baik-baik!” pintanya, sambil menepuk-nepuk
pundakku.
Aku
mengangguk, lalu menoleh pada ayah.
Kulihat,
ayahku tersenyum, lalu bergegas mengantarkan sekotak barangku menuruni tangga.
Seketika,
ibuku menyodorkan sejumlah uang. “Hanya ini yang bisa kami berikan.”
Sepintas
kulihat, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang kuperkirakan. Jumlah yang tak
pernah kuminta sebagaimana anak kecil yang suka mematok nominal. Jumlah itu, atas
dasar pengertiannya saja. “Terima kasih banyak, Bu,” balasku.
Sambil
tersenyum, ibuku lalu berpesan, “Gunakanlah baik-baik. Bukan demi aku, tapi
demi ayahmu. Kau tahu sendiri, dia tak lagi sekuat dahulu.”
Aku
mengangguk. Takzim.
“Uang
itu adalah hasil penjualan seekor sapi betina kita seminggu yang lalu” katanya.
Sontak
saja, aku terkaget. “Jadi sapi itu dijual?”
Ibu
hanya mengangguk.
Aku
jadi sangat iba.
Dengan
keteguhan hatiku yang mulai digerogoti rasa haru atas kasih ayah secara
diam-diam, aku pun meniti anak tangga, menghampiri ayah di tepi jalan. Dan lagi-lagi,
kurasakan bencinya menjadi lelaki dewasa, sebab aku tak lagi kuasa mengucapkan
kasih dan cinta, sambil memelukkannya. Aku benci itu. Sungguh.
Yang
akhirnya kulakukan hanyalah mencium tangannya sebagaimana biasa, sambil
berterima kasih untuk segala yang telah ia lakukan. Selepas itu, kupintalah juga
agar ia tak bekerja terlalu keras, sampai lupa menjaga diri. Dan tentu saja,
kuucapkan itu tanpa memandang bola matanya, sebab aku takut menitihkan air
mata, sampai ia kecewa, sebab anak lelakinya yang telah dewasa, ternyata masih
cengeng.
Dan
akhirnya, pergilah aku. Membawa bekal semangat, doa, dan materi yang harusnya
cukup bagiku untuk menyelesaikan kuliah sesegera mungkin. Dan untuk semua itu,
aku menekadkan dalam hatiku untuk tidak lagi berurusan dengan lela-leha yang
tak penting. Tidak lagi menghabiskan waktu dengan bermain game, bergurau tak
keruan, atau melanglang ke pusat perbelanjaan dengan teman-temanku, atau dengan
seseorang wanita yang seringkali membuatku lupa pada ayah-ibuku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar