Aku
tak akan lupa pada waktu-waktu itu. Para pemberontak mengobrak-abrik kampung
halaman kami. Menjarah harta benda para penduduk. Menagih uang untuk bekal
perjuangan mereka menegakkan negara dalam negara. Tak peduli pada perempuan
atau anak-anak, mereka memalak dengan cara sadis. Tangis pun berjatuhan, darah
berceceran, hingga nyawa menandas.
Tak
lama kemudian, datanglah bala tentara negeri. Melawan para pemberontak dengan penuh
emosi. Mengadu kekuatan. Berbalas peluru. Meledakkan granat, susul-menyusul.
Mencabut nyawa demi hidup. Bertempur atas nama perdamaian. Sampai kulihatlah
kehancuran yang sesungguhnya. Mayat-mayat bergelimang darah, tergeletak di tanah
kampung yang porak-poranda.
Hingga
datanglah tiga orang tentara ke rumah kami. Masuk dengan tingkah beringas, seolah
mereka menyasar sarang pemberontak. Memeriksa segala ruang tanpa permisi,
kemudian menyeret aku dan ayah-ibuku dengan kasar, bak penjahat. Sampai
terkumpullah kami di ruang utama. Dinterogasi penuh tendensi buruk. Dituduh
sebagai bagian dari pemberontak.
“Kami
tahu kalau Si Tua Bangka ini adalah seorang kepala desa. Dan entah demi apa, ia
rela menjadi antek para pemberontak. Mengumpulkan pajak untuk persenjataan para
sialan itu. Bangsat!” bentak salah seorang di antaranya, yang mengenakan
topeng, sembari mendaratkan ujung senjata di pelipis ayahku. “Benar begitu
kan?”
Kami
bertiga menggeleng. Tak menjawab. Hanya bungkam. Takut.
Terdengar
tawa salah seorang di antaranya, yang berwajah beringas. “Oh. Bodohnya kita,
Kawan,” katanya. “Apa gunanya kita meminta pengakuan dari mereka? Ya pastilah,
sekhinat apa pun Si Tua ini, mereka akan kompak untuk berbohong.”
“Kami
tetap setia pada negara, Pak!” kata ayahku. Lirih.
Tapi
kata-kata kejujuran, malah membuat mereka semakin beringas. Seakan-akan kami
tengah berdusta sepenuh jiwa.
“Kacung
pembohong!” bentak seorang yang bertopeng lagi.
Tanpa
aba-aba, si petopeng pun menghantam ayahku dengan sepatu, lutut, dan popor senjata,
silih berganti. Dan ketika ayahku terkulai lemah di pojok ruang utama, si
petopeng pun menembakkan sebuah peluru, tepat di kepala ayahku.
Kami
kaget. Ketakutan tak terkira. Tak menduga kalau mereka akan setega itu.
Seketika,
ibuku bangkit sembari menyeretku tanganku. Berusaha berlari. Meloloskan diri.
Namun
akhirnya, satu tembakan terdengar menggelegar di udara. Membuat genggaman ibuku
melemah perlahan. Ia lalu jatuh tak berdaya, dengan darah yang terus mengalir
dari dadanya.
Aku
yang dicekam ketakutan, pasrah menghentikan langkah. Menjatuhkan tubuh di atas
dedaunan kering. Berlutut, menangisi ibuku yang meregang nyawa. Tak peduli jika
harus mati juga seketika.
“Kita
apakan dia?” tanya seseorang yang berwajah tirus dan berhidung pesek, kala
mereka telah berada di hadapanku, di sela pohonan yang tak jauh dari rumahku.
“Menurutmu,
apa yang cocok untuk anak pengkhianat semacam ini, Kawan?” tanya balik si petopeng.
Kedua
orang yang menampakkan wajah, menggeleng. Seperti tak punya ide.
Si
petopeng pun tertawa terbahak-bahak. “Kau tahu sendiri, aku sudah lama tak
berusua dengan wanita cantik!”
Kedua
kawan si petopeng, menampakkan kekalutan di wajahnya. Seakan-akan tahu maksud
si petopeng, namun bingung untuk bersepakat atau tidak.
Si
petopeng, lalu membuka tabir wajahnya. “Kau masih ingat padaku?”
Seketika
aku terkaget. Jelas saja, aku masih mengingatnya.
“Ya.
Kau pasti masih ingat seseorang yang telah kau hinakan cintanya dahulu, yang
kau tolak pinangannya, hanya karena ia tak setampan dan sekaya yang kau dan
orang tuamu mau. Akulah orang itu!” bentaknya, lalu menggenggam kasar kedua
belah pipiku dengan tangan kanannya. “Tapi tak mengapa. Lupakan itu.
Setidaknya, aku bisa memberikan semua cintaku padamu, malam ini.”
“Jadi
kau…?” tanya seorang kawannya yang lain, setelah tahu, ada cerita masa lalu
tentang kami.
“Jadi
kalian…?” timpal seorang yang lainnya lagi. “Aku tak mau ikut campur soal ini,
Kawan. Ini semua rencanamu. Aku tak ingin dipersalahkan.”
Mereka
berdua pun bergegas pergi.
“Aku
tak peduli!” serunya, lalu tertawa.
Dengan
nafsu yang menderu serupa nafsu membunuhnya, ia lalu memperlakukan aku secara
biadab.
Dan
terjadilah semua.
Tapi
di tengah ketidakberdayaan, beruntung, aku masih bisa menyelematkan diri. Aku
berhasil menumbangkannya setelah menimpakan sepotong kayu tepat di pelipisnya.
Bersama
ketakutan dan kecemasan yang tak terkira, aku pun berlari, menyelamatkan diri ke
atas bukit, dan menetap di sana hingga waktu yang lama. Bersembunyi dari radar
si pengkhianat negara, yang kutahu, akan terus mencariku sampai mati.
***
“Kau
terlahir sebagai biang revolusi, Nak!” kata ibuku, di waktu yang lampau, saat
aku mulai tahu tentang istilah-istilah rumit.
“Maksud
Ibu?” tanyaku, penasaran, setelah ia mengucapkan soal tafsir kelahiranku di
tanah air ini untuk ke sekian kalinya, dan aku tak paham betul apa yang ia
maksud.
Ia
pun tersenyum, lalu mengusap-usap kepalaku. “Kehadiranmu di dunia ini,
dibarengi dengan ketidakadilan dan kebiadaban yang tak terkira, Nak.
Kakek-nenekmu, mati terbunuh di tangan pengkhiant negara.”
Aku
mendengar penuturannya dengan seksama.
“Sejak
aku mengandungmu, aku telah menjadi kejaran pengkhianat negara. Semua karena
kau, Nak. Mereka takut kalau kelak, kau lahir dan meruntuhkan kekuasaan
mereka,” katanya, dengan tatapan yang tegas. “Tapi aku yakin, kelak, kau akan menggulingkan
kekuasaan mereka yang zalim.”
“Kenapa
pemerintah ini dikatakan zalim, Bu?” tanyaku, penasaran.
Ia
tersenyum lagi. “Aku paham sejarah, Nak, sebab aku mengalaminya. Dan aku tahu,
sejarah negara ini hanyalah perjalanan waktu yang tak membawa perubahan apa-apa,
selain perubahan aktor. Kebiadaban tetap merajalela. Ketidakadilan di
mana-mana. Para penjahat bahkan masih dihormati bak raja. Dan parahnya, mereka
menjadi penguasa negara saat ini,” katanya, lalu menepuk-nepuk pundakku. “Kau akan
mengubah keadaan ini, Nak! Aku yakin itu!”
Waktu
pun bergulir cepat menuju ke masa depan.
Dan
kini, kulihatlah di layar televisi, orang-orang berkumpul di seluruh pelosok
negeri. Mereka menuntut agar presiden yang telah meneteskan noda hitam pada sejarah
bangsa di masa kelam, segera dihukum mati. Satu tuntutan yang mencuat setelah
aku mengungkapkan surat wasiat ibuku, tentang kronologi kepergian anggota
keluargaku dahulu, dan semua peristiwa yang menyertainya.
Nyawa
sang presiden pun, telah berada di ujung waktu. Pengadilan telah memutuskannya sebagai
tersalah dan dijatuhi hukuman mati. Ia dinyatakan sebagai seorang penjahat yang
menyalahgunakan kekuasaannya sebagai anggota militer kala bertugas di masa lalu.
Paling tidak, dua orang pensiunan tentara, sudah cukup membenarkan peristiwa
itu. Satu peristiwa yang membuatku terlahir tanpa melihat anggota keluargaku
secara utuh.
Hingga
tampaklah di layar televisi, sebuah peti keluar dari ruang eksekusi. Satu
penampakan yang membuat segenap penduduk yang mendamba keadilan, bersorak-sorai
tanpa henti. Mereka tahu, di dalam peti itu, terbaring kaku seorang mantan
presiden, pensiunan tentara, dengan bekas peluru yang menembus tubuhnya untuk tindak
pengkhianat terhadap negara yang ia lakukan di waktu lampau.
Tiba-tiba,
aku jadi rindu pada ibuku. Aku ingin sekali menyampaikan padanya bahwa aku
telah menjadi biang revolusi. Aku ingin menyampaikan padanya bahwa aku telah
berhasil menumbangkan kekuasaan yang zalim demi menegakkan keadilan,
sebagaimana yang ia idam-idamkan.
Dan
seketika, aku juga merindukan sosok ayahku yang barangkali turut mendambakan
aku sebagai biang revolusi, sebagaimana ibuku. Sosok yang entah siapa, yang
selama ini, tak pernah diterangkan ibuku, sampai akhirnya ia meninggal.
“Ceritakan
padaku soal ayah, Bu?” pintaku pada satu hari di masa lampau.
“Kau
tak perlu tahu tentang dia! Itu tidak
penting!” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar