Seorang
anak kecil berhenti di sela-sela gedung pertokoan. Berdiri di tepi jalan,
sambil mengedarkan pandangan ke sisi depan. Hingga matanya tertuju pada ragam
permainan di balik kaca jendela yang bening. Terpaku penuh hasrat pada alat permainan
yang barangkali ia idam-idamkan. Mungkin mainan serupa mobil, pesawat, atau
boneka.
Seperti
tanpa peduli, ia terdiam saja di antara lalu-lalang khalayak. Menjadikan
tubuhnya yang kurus, bak pemecah gerombolan manusia yang datang silih berganti.
Membiarkan langkah-langkah kaki mendekat, lalu menjauhinya. Seolah-olah ia
datang seorang diri di tengah pusat perbelanjaan yang ramai, tanpa seorang
penuntun yang harus ia susul segera.
Siapa pun
yang sudi memerhatikan sang anak, akan tahu bahwa ia berbeda dengan anak yang
lain. Ia seakan keluar dari hutan, dan tersesat di tengah kerumunan. Baju
kumalnya, tampak kebesaran untuk tubuhnya yang kurus. Pun, celana pendek yang
tak sampai menutupi bekas luka di lututnya, terhias tambalan di sana-sini. Rambutnya
kusut. Kulitnya kusam.
Tapi,
siapa peduli. Di kota besar, sudah cukup jika memerhatikan anak masing-masing. Tak
usah peduli pada anak siapa yang terbuang di tengah kerasnya kehidupan kota.
Tak usah tanya ke mana mereka menuju, sebab hidup para anak gelandangan, memang
tak perlu dipertanyakan. Semua tahu soalnya, cuma tak ingin peduli. Mungkin
juga pada diri sang anak di depan toko.
Namun,
aku merasa ada yang berbeda. Kukira, anak misterius itu, bukan sosok yang
dididik secara berandal, sampai jadi berandalan sungguhan. Juga tak didik
berpangku tangan, sampai jadi pengharap belas kasih. Pada matanya, terpancar kekuatan
yang membungkam ketakberdayaannya. Seakan mengharap mainan secara cuma-cuma,
tetapi tidak juga mencuri.
Sebagai
seorang perempuan, aku bisa merasakan kemalangan nasibnya. Aku memang tak punya
anak, tapi aku punya naluri keibuan. Atau paling tidak, aku juga pernah hidup
sebagai seorang anak-anak. Dan aku bisa memastikan, betapa ia berjuang menahan
diri untuk tidak memperturut keinginannya sendiri. Satu keinginan yang sangat
manusiawi sebagai seorang anak kecil.
Rasa
iba yang begitu mendalam, akhirnya menuntunku pada sebuah rencana. Aku bertekad
mewujudkan hasratnya. “Pak, aku ingin memberi mainan untuk anak itu,” pintaku,
sambil menunjuk pada sang anak yang kumaksud. “Boleh kan?”
Suamiku
pun menoleh pada sang anak yang berdiri kaku di luar toko mainan kami, hingga tampak
raut keengganan di wajahnya. “Bukan aku tak mau, Bu. Kasihan sih, kasihan. Tapi
anak jalanan semacam itu, tak baik dikasih hati. Sekali dikasih, selanjutnya
minta lagi. Belum lagi kalau teman-temannya datang. Kita bisa bangkrut.”
Aku
membantah, “Tapi aku yakin, anak itu berbeda, Pak. Dia bukan anak-anak berandal
seperti yang kita bayangkan,” kataku, tegas, lalu meminta dengan nada memelas, “Aku
mohon, Pak, untuk sekali ini saja. Bapak tahu sendiri, aku telah divonis tak
akan bisa mengandung. Ya, paling tidak, aku bisa mencurahkan kasih sayang pada
anak-anak, meski bukan anak kita.”
Walau tidak sepenuhnya menerima, ia akhirnya pasrah. “Terserah Ibu saja kalau
begitu.”
Tanpa
menunggu lama, aku pun melangkah ke luar toko. Menghampir dan menjemputnya
untuk masuk ke dalam toko, memilih-milih permainan yang memikat hatinya.
“Mau
mainan, Nak?” tanyaku, dengan sikap seramah mungkin.
Ia
tampak heran dan bingung, kemudian mengangguk pelan.
Aku
lalu menggenggam tangannya. “Masuklah. Pilih saja mainan yang kau sukai.”
Didorong
hasrat yang menggebu, ia pun melangkahkan kakinya perlahan, sembari melemparkan
pandangan para ragam permainan yang terpajang. Menerka-nerka warna, atau
mungkin bentuknya. Hingga, langkahnya pun
terhenti di depan sebuah mobil-mobilan beremot kontrol.
“Mau
yang itu?” tanyaku.
Ia
pun mengangguk segan, kemudian memandangku dengan mata berkaca-kaca.
Aku
pun berjongkok, lalu mengusap-usap rambutnya. “Namamu siapa?”
“Rinto,”
jawabnya.
“Nah,
Rinto, bawa pulang saja mainan ini,” tuturku, sambil menyodorkan mainan yang ia
dambakan. “Kau tak usah malu-malu.”
Senyuman
menggemaskan khas anak-anak pun, merekah di wajahnya. “Terima kasih banyak,
Bu.”
Tiba-tiba,
aku tergugah meminta dirinya. Hatiku seakan-akan menginginkan ia untuk tinggal
lebih lama. Menjadikan ia anak bagiku dan suamiku. Menjadikannya sosok kesayangan.
Dan, tak akan suramlah masa kecilnya jika mau. Ia boleh memilih mainan apa pun
yang ia sukai, tiap waktu.
“Nak
Rinto tinggalnya di mana?” selidikku lagi.
Dia
tampak enggan menjawab.
Aku
pun mencoba membujuknya. “Kalau aku tahu, suatu waktu, aku bisa berkunjung dan
membawakanmu sejumlah mainan.”
Tak
lama, ia membalas, “Aku tinggal di sana, Bu,” katanya, sambil menunjuk ke arah sebelah
kiri yang entah menyasar ke mana.
Kuterima
saja kalau ia belum mampu mengeja alamat rumah secara baik. “Memang, tinggalnya
sama siapa? Tadi ke sini sama siapa?”
Belum
juga si anak sempat menjawab, terdengar langkah berkelepak ke arah kami,
disusul suara bernada tinggi, “Rinto, bikin apa kamu di situ? Ibu kan sudah
bilang, ikuti langkah ibu ke mana pun pergi, dan jangan keluyuran ke mana-mana.
Kamu bisa hilang, Nak!”
Selang
beberapa detik, aku pun bertatapan dengan seorang wanita dewasa. Dan aku bisa
membaca wajahnya. Aku seperti pernah melihat ia sebelumnya. Wanita yang serupa sosok
bayangan di benakku, meski dengan penampilan yang jauh berbeda. Tampak memprihatinkan.
“Kau?”
terkanya. “Kau mau apakan anakku?”
Dia
mengenalku. Kami saling mengenal. Tapi aku tak kuasa berkata-kata.
“Sudah
cukup kau rebut suamiku! Jangan lagi anakku! Aku yang melahirkannya! Dia keluar
dari rahimku, bukan dari rahimmu yang mandul!” gertaknya, penuh emosi. “Bekasih-kasihlah
saja dengan suamiku yang telah kau curi, sampai kau mengandung anak jika
beruntung!”
Hinaan
semacam itu, tak cukup juga menggugah suaraku untuk membalas.
Seketika,
suamiku datang menghampiri. Kulihat raut kekagetan di wajahnya, kala menyaksikan
kehadiran seorang wanita yang tak mungkin ia lupakan.
Mereka
saling menatap beberapa detik. Tanpa senyum, tanpa kata.
Hingga
sumpah serapah wanita itu, kembali bergema. “Bekasih-kasihlah kalian, seperti
yang kalian lakukan di belakangku dahulu! Lanjutkan! Lakukan saja! Aku tak akan
mengganggu!”
Lagi-lagi,
mulutku tersekap untuk membalas. Suamiku pun demikian.
Dan
tanpa balasan sepatah kata pun dari kami, ia pergi, menyeret langkah gontai
sang anak yang seketika menangis, meninggalkan sebuah mainan yang telah kuberikan
padanya secara cuma-cuma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar