Warga
desa tahu betul watak Tamsil. Tak ada yang meragukan soal kejujurannya. Sejak
masih kanak-kanak, ia telah menunjukkan perbedaan dibanding anak-anak lain
dalam soal kejujuran.
Tak
akan lekang dari ingatan warga tentang satu peristiwa, saat Tamsil masih duduk bangku
SMP. Kala itu, setiap pagi, ia lekas memunguti buah mangga yang jatuh dari satu
pohon, di sebuah kebun, sebelum binatang dan anak-anak usil mendahuluinya.
Pemilik kebun adalah Rumo, seorang kakek yang hidup sebatang kara. Seseorang
tua renta yang meyambung hidup dengan menjual buah mangga. Tanpa pamrih, buah
yang terkumpul, lalu diserahkan Tamsil kepada si empunya.
Sungguh,
tak ada yang tahu bagaimana jalan ceritanya, sampai kejujuran Tamsil begitu
kokoh. Anak yatim-piatu yang diasuh seorang warga sejak berumur lima tahun itu,
sungguh tak bisa berbohong. Yang pasti, kecurigaan warga menjurus pada lelaki tua yang dipanggilnya "kakek". Tamsil yang sering bergaul dengan si kakek sejak kecil, diduga belajar pendidikan
budi pekerti darinya.
Sikap
jujur Tamsil yang tanpa kompromi, terbawa hingga dewasa. Sampai akhirnya, ia telah
cukup umur dan merasa diri cakap menjadi pemimpin warga desa. Niatnya baik,
untuk mengubah perangai warga desa yang jauh dari sifat kejujuran. Ia ingin memperbaiki
watak pemuda desa, bahkan para tetua yang masih gemar berdusta.
Dan
atas tekadnya yang menggebu, ia pun mengajukan diri sebagai calon kepala desa.
Sebuah keputusan yang berani dan dianggap warga kurang rasional. Alasannya
karena di bawah hitung-hitungan politik, jelas ia tak punya basis dukungan yang
memadai. Perangai yang mulia, bukanlah jaminan untuk terpilih. Apalagi warga
desa kerap memilih bukan dengan akal sehatnya, tapi demi uang dan ruang-ruang
pemuas nafsu mereka.
Keraguan
juga, bahkan datang dari ayah angkatnya sendiri, Ruli. Ia telah menasihati Tamsil agar
mengurungkan niatnya menjadi kepala desa dengan sejumlah alasan politis. Namun
Tamsil tak peduli. Ia merasa, kebenaran hanya bisa benar jika dicapai dengan cara
yang benar. Ia tak mau pusing soal taktik politik yang menurutnya tak bisa lagi
disebut politik, sebab baginya politik adalah pertarungan gagasan untuk
kehidupan yang lebih baik.
Prinsip
soal poitik yang jujur, dipegang teguh Tamsil dari awal hingga akhir pemilihan
kepala desa. Tak sepeser pun ia merogoh kocek pribadi hanya untuk merebut
suara warga. Yang ia lakukan hanyalah mendatangi warga desa untuk berdialog secara
langsung, serta menyosialisasikan visi-misinya. Sedang pada waktu yang sama, di ruang-ruang
rahasia, seorang calon yang menjadi pesaingnya, merebut simpati warga desa
dengan mengadakan pesta miras dan orkes dangdut.
Dan
benar saja, di akhir perhelatan itu, Tamsil kalah telak dari seorang calon
kepala desa yang lain. Ia bahkan hanya memperoleh satu suara dari jumlah suara
yang ada. Suara yang dipastikan berasal dari dirinya sendiri. Sebuah kenyataan
yang membuat Tamsil begitu radikal soal nilai kejujuran. Sampai
akhirnya, ia tak memercayai siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Bahkan segala
hal tentang desanya, ia anggap berlumur dusta.
Dimulailah
perangai Tamsil yang kelewat baik, hingga wataknya dianggap aneh oleh warga
desa. Ia mulai menyendiri sebab menilai tak ada lagi kebenaran selain dirinya. Ia
juga malas betutur sapa dengan siapa pun, sebab kata-kata orang lain, ia anggap kebohongan
belaka. Sampai puncaknya, ia tak sudi lagi menginjakkan kali di tanah desa yang
menurutnya terkutuk.
Demi
idealismenya, berhijralah Tamsil ke sebuah perkebunan kecil, di selingkaran
tanah yang dianggapnya suci. Ia pun memulai kesendirian di bawah sebuah pohon mangga,
pada luasan sejauh daun pohon itu berjatuhan. Bahkan ia memutuskan membuat
sebuah rumah pohon dari rerumputan dan tangkai kayu yang juga ia
kumpulkan di bawah pohon tersebut. Tak lupa, ia membawa serta sandang pemberian
kakek Rumo, sang pemilik pohon mangga yang telah meninggal.
Waktu
akhinya dilewati Tamsil dalam keterasingan. Tak ada siapa-siapa bersamanya,
kecuali binatang liar yang tak henti mendendangkan nyanyiannya masing-masing.
Dan untuk bertahan hidup, ia hanya memanfaatkan buah mangga yang begitu lebat.
Sesekali, ia juga mengkonsumsi udang dan ikan yang didapatkannya dari dalam
aliran sungai yang masih dinaungi si pohon mangga. Dari sisi sungai itulah
pulalah, ia menghapuskan dahaganya.
“Nak,
aku bawa makanan untukmu,” kata Ruli, sosok di mana Tamsil menggantungkan hidup
sejak kecil.
Dari
atas rumah pohonnya yang menggantung, Tamsil pun terjaga. Hunian beratap daun
dan alang-alang, serta berdinding dan berlantai kain itu, tampak bergoyang.
Tamsil kemudian mengintip di celah-celah rumahnya. “Pulanglah! Aku tak akan
sudi menerima pemberian dari para pendosa, termasuk darimu, penghianat!”
Kata-kata
Tamsil, jelas terdengar tak sopan di telinga Ruli. “Bagaimana bisa kau mengatakan
aku pendosa dan pengkhianat, Nak. Bukankah aku sendiri yang telah merawatmu
sedari dulu?” kata Ruli, yang memang telah memosisikan diri sebagai ayah angkat
bagi Tamsil.”
Tamsil
tertawa pendek. “Ya penghianat memang tetap merasa diri sebagai pahlawan?”
katanya, kemudian tertawa meledek. Ia lalu menuturkan sindiran sarkas, “Ya,
pahlawan yang telah merelakan dan mendukung seorang penjahat untuk menjadi
pemimpin desa ini? Dan, dengan begitu, dia tetap menganggap diri sebagai
pahlawan?”
Ruli
bak menelan pil pahit. “Sadarlah, Nak. Aku tahu, aku telah memilih orang yang
salah. Tapi itu demi kebaikanmu juga. Kau tahu sendiri, masih butuh waktu lama
untuk warga desa belajar tentang kebaikan. Dan aku khawatir, jika kau terpilih
sebagai kepala desa, kau akan menuai celaka,” ujar Ruli.
Tamsil
mendengus. “Dasar penghianat. Memang seorang pengecut hanya akan jadi
penghianat. Bilang saja kalau kau takut jika para warga mengendus bahwa kau
telah mengalihkan suara padaku, dan hidupmu berakhir tragis. Kau takut pada
para penjahat itu? Dasar! Kau memang penghianat!”
Ruli
jadi bingung mencari alasan untuk mengelak dari tuduhan itu. “Anggaplah aku ini
penghianat, Nak. Terserah kau saja. Yang pasti, aku melakukannya untukmu!”
“Kau memang penghinat!” sergah Tamsil.
“Bagaimana bisa kau diam saja dan pura-pura tak tahu kalau ayahku telah
meninggal dengan cara yang tragis, hanya karena ia hendak menunaikan tugas
mulia? Bagaimana bisa kau pura-pura tak tahu, kalau ayahku meninggal demi
memberantas aksi pencurian uang rakyat di desa ini?” vonis Tamsil lagi, disusul
tawanya yang semakin tak keruan.
Ruli
terdiam. Seperti kehabisan kata-kata. Ia tahu betul kenyataan itu, sebab ia dan
ayahnya sendiri, kakek Rumo, adalah saksi sejarah serta korban intimidasi para warga
sepanjang waktu. Ia tahu betul, ayah Tamsil yang duda kala itu, dilenyapkan para
warga saat hendak mengungkap kasus korupsi pemerintah desa, bukan karena
menghilang, sebagaimana rumor yang diembuskan para tetua desa sejak puluhan
tahun lalu. Ia pun tahu alasan kenapa kebun ayahnya, Rumo, dipilih sebagai
tempat untuk menguburkan ayah Tamsil, tepatnya di bawah sebuah pohon mangga.
Semua itu agar keduanya tak banyak bicara. Atau kalau tidak, mereka akan
mencelakakan diri mereka sendiri sebagai tertuduh di tengah konspirasi para
warga desa.
“Kenapa
diam? Kau pasti tak bisa menyangkal kenyataan yang kuketahui dari kakek Rumo
ini, kan?” ledek Tamsil, dengan terus tertawa. “Aku tahu sekarang, di desa ini,
hanya ada dua orang manusia sejati dan patut disebut pahlawan. Hanya ayahku dan
kakek Rumo.”
Ruli
tak ingin memperpanjang perdebatan dengan orang yang memang dianggapnya sudah
tak waras. Maka sebelum pergi, ia menawarkan lagi makanan yang dibawanya pada
Tamsil. “Aku tinggalkan makanan untukmu di sini. Aku harap kau sudi
menyantapnya.”
Seketika,
Tamsil mengulangi penegasannya. “Sudahlah, penghianat! Bawa pulang saja makanan
itu. Makanan dari para pendosa adalah haram. Sehina makanan dari hasil
korupsi!”
Dan,
Ruli terpancing untuk menandaskan seruannya. “Bagaimana bisa kau menganggap
makanan dariku haram, Nak, sedangkan kau tumbuh besar dari apa yang selama ini
kuberikan padamu?” katanya, sambil berharap Tamsil luluh dan segera berubah
pikiran.
Tak
ada sanggahan dari Tamsil. Tak ada suara. Seakan ia sedang memikirkan tentang
pikirannya sendiri.
Akhirnya,
pulanglah Ruli dengan harapan besar, bahwa ia akan menjumpai rantang kosong
esok pagi.
Kala senja masih membias di ufuk barat, sampai menerobos celah-celah dedaunan, Tamsil terus menggugat dirinya sendiri. Ia geli mendengar bahwa darah dan tulangnya, telah bertumbuh dari unsur-unsur yang haram. Ia miris membayangkan bahwa tubuhnya sekadar onggokan dosa yang menumpuk, yang membalut jiwa yang dipikirnya suci.
Dan
kala burung masih menari-nari di atas langit sambil bersiul-siul, juga saat
penghuni alam lainnya tengah mendendangkan lagu selamat datang malam, bunyi berdebam
terdengar dari bawah pohon mangga. Dan bersama dengan itu, Tamsil pun melayang,
meninggalkan raganya yang terbujur kaku, dengan darah yang tak henti mengucur
deras dari kepalanya, hingga membasuh tanah suci, tempat ayahnya terkubur
puluhan tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar