Hari
tua adalah sejarah yang panjang. Seperti lembaran akhir buku yang harus dicapai
setelah lembaran-lembaran awal. Sebuah penghujung dari berkas-berkas cerita
yang diistilahkan kenangan. Masa di mana usia menjadi deretan detik yang
merangkai sebuah lakon yang nyaris lengkap dan tamat. Searsip kisah yang kerap
dijadikan bahan refleksi dalam menimbang-bimbang, tetang apa yang telah dan
akan dilakukan sepanjang waktu.
Jasri,
lelaki tua yang kini berstatus kakek, terperangkap dalam ruang nostalgianya. Tersenyum-senyum
sendiri kala mengenang jejaknya di masa lalu. Jejak yang membuat ia terkenang dalam
memori segenap warga desa. Ada sebuah jasa yang membuatnya patut digolongkan
sebagai pahlawan kemerdekaan, khusus di desanya sendiri. Dialah yang dahulu
mengusahakan pemekaran desa, sehingga warga yang dahulu dianaktirikan, bisa berkembang
lebih baik.
Lakon
Jasri tak berhenti pada soal pemekaran. Di awal desa baru terbentuk, atas
jasa-jasanya, para warga mengamanahkan ia sebagai kepala desa. Dimulailah
sejarah kepemimpinannya. Sebuah momentum baginya untuk membuktikan bahwa bebas
dari desa induk, memang merupakan keputusan terbaik. Bukan sebaliknya, bahwa
warga desa tetap jatuh di lubang yang sama, di dalam kungkungan aparat pemerintah
desa yang korup.
Dan
seiring waktu, terperciklah noda-noda pada lembaran kehidupan Jasri. Balas budi
warga yang mendaulatnya sebagai kepala desa, tak ia jalankan secara amanah. Semua
program desa dirumuskan secara tertutup dari, oleh, dan untuk kroni-kroninya sendiri.
Program itu pun diselenggarakan tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Hingga, sampailah
ia pada masa kehancuran, tatkala hakim memvonisnya bersalah atas penyalahgunaan
dana desa.
Sungguh,
Jasri telah berlaku kalap. Jabatan dan tuntutan, benar-benar membuatnya lupa
diri. Dana desa yang alakadarnya di masa lalu, sengaja ia salah gunakan demi
kepentingan pribadinya. Entah untuk mewujudkan keinginan istrinya atas sebuah
mobil, atau keinginan lain layaknya wanita sosialita. Entah juga untuk memenuhi
keinginan anak semata wayangnya yang terus meminta sepeda motor kualitas
terbaik, serta alat-alat elektronik lainnya.
Atas
noda hitam dalam sejarah hidupnya, Jasri pun dilanda kekalutan di masa tua. Raut
wajah ceria yang ditampakkannya di masa muda, kini terkubur dalam rona murung.
Ia bahkan kerap bersikap aneh. Dalam beberapa waktu, wajahnya terlihat
berseri-seri, tapi lekas berubah masam. Ketidakstabilan itu, terus berulang. Dan
akhirnya bisa dipastikan, ia tak waras lagi ketika terkenang masa lalu yang
memosisikan dirinya di antara jasa dan dosa.
Oleh
karena lembaran hidup yang abu-abu, Jasri pun kehilangan wibawa di mata warga
desa. Jika dahulu ia dielu-elukan, maka sekarang, tidak lagi. Kata-katanya
sekadar jadi bahan pergunjingan. Tingkah lakunya yang aneh, bahkan kerap jadi
olok-olokan anak jail. Para warga sudah tak menyeganinya. Jika terpaksa
berpapasan dan bertutur sapa, mereka hanya berpura-pura hormat, mengingat Jasri
adalah tetua desa yang sangat berjasa pada pendirian desa.
Sikap
acuh tak acuh warga, membuat Jasri tampak tak memiliki arti apa-apa. Jasa baiknya, seakan terkubur oleh kenangan pahit warga desa dalam masa
pemerintahannya yang panjang. Jasri kini dipandang sebelah mata dan harus
menjalani hari tuanya dalam keterasingan. Di acara-acara keagamaan dan sosial,
ia bahkan harus tersisih di pojok ruangan, tanpa kesempatan untuk tampil
sebagai orang terhormat, kecuali ia mengajukan diri.
Dan
kini, aku lihat, ada sosok muda penuh semangat yang hadir di tengah warga desa.
Semangatnya lahir dari keinginan mencontoh para pendahulu desa. Sosok itu adalah Arifandi,
anakku sendiri. Ia yang menilai pembangunan desa berjalan di tempat kala bantuan
dari pemerintah pusat begitu memadai, menjadi prihatin dan bertekad mengubah
keadaan.
“Pak,
aku akan ikut dalam pemilihan kepala desa tahun ini. Aku yakin, bisa menjadi
pemimpin yang baik untuk warga desa,” katanya, dengan raut wajah yang tegas.
Tapi
sebagaimana dahulu, aku tak merestui ia menjadi kepala desa, dengan satu alasan
yang juga menjadi alasanku tak ingin menjadi kepala desa sejak dulu. “Sebaiknya
kau urungkan niatmu, Nak. Politik tingkat desa, sama kejamnya dengan politik
nasional. Aku tak pernah meragukan soal cita-cita baikmu. Tapi politik,
tetaplah politik. Kita harus memperhitungan kalkulasi dukungan.”
Dia
menggeleng-geleng. Seperti tak terima dengan pendapatku. “Apa yang perlu
ditakutkan, Pak. Aku punya sekolah yang tinggi. Kurasa, warga desa juga menilai
aku pantas menjadi pemimpin setelah aku sering tampil di acara dan rembuk warga.
Lagi pula, sejarah telah membuktikan kalau keluarga kita memiliki jasa besar
untuk desa ini.”
“Hitung-hitungannya, tak sesimpel itu, Nak. Politik itu kotor,” kataku, sembari berharap ia
mengurungkan niatnya. “Kau tahu sendiri, sejarah telah dipelintir. Yang seharusnya
jadi pahlawan, didramatisasi, sehingga ia dicap sebagai penjahat. Sejarah
pemerintahan kakekmu, telah dicap penuh noda. Dan anggapan itulah yang
diwariskan secara turun temurun di benak para warga. Dan sekeras apa pun kau
mengubahnya, warga tak akan mudah terpengaruh. Dan aku yakin, lawan-lawan
politikmu nanti, akan menggunakan cerita itu sebagai senjata.”
Ia
tetap tak terima. Dengan mimik yang serius, ia pun mengungkapkan tekadnya
dengan sebuah rencana besar. “Apa masalahnya? Kalau mereka menyerang kita
dengan cerita itu, maka sepatutunya kita besarkan nama kita dengan cerita itu
pula. Aku kira, Bapaklah yang selalu mengajariku bahwa kebenaran harus
diungkapkan, meskipun itu pahit. Dan sebagimana kenyataan yang Bapak ceritakan,
maka sudah seharusnya nama baik Kakek dipulihkan, demi keluarga kita juga.”
Aku
berkeras menolak, meski tanpa alasan yang memang patut diterima. “Aku masih
sulit merestuimu, Nak. Aku takut niat baikmu akan dikalahkan dengan cara-cara
politik yang busuk. Kau akan ditertawakan, hingga niat baik itu malah membuatmu
jadi gila, seperti kakekmu sendiri,” kataku.
Dia
hanya berdengus, lalu terdiam. Seperti tak ingin melanjutkan perdebatan di
posisi yang sama-sama berkeras.
Di
sela-sela keheningan kami, tersiarlah tayangan di layar televisi tentang ketua DPR
yang kembali ditetapkan sebagai tersangka, namun berusaha keras bebas dari proses
hukum dengan segala macam alasan. Tersiar juga kabar tentang tuduhan
pelanggaran yang dilakukan pimpinan lembaga pemberantasan korupsi soal pencekalan
“Si Papa” dahulu. Sederet tayangan itu, sungguh membuatku miris. Semua soal nama baik.
Dan aku dapat satu pelajaran dari sana, bahwa sejarah kita adalah sejarah
keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia; sejarah manusia.
Kupalingkanlah
wajahku ke luar jendela. Kulihat lagi Jasri, ayahku sendiri, yang telah
menanggalkan nama baiknya secara tragis. Seorang yang menjadi alasan anakku
bertekad kuat menjadi kepala desa. Seseorang yang telah kubentuk menjadi sosok
pahlawan di benak putraku sendiri.
Dan
jelas, kini Jasri telah menyadari, bahwa ratapannya di hari tua, juga
ratapan kami dan generasi selanjutnya. Tapi atas ratapannya itu, aku menanggung
rasa bersalah yang lebih, sebab mungkin demi keinginanku yang bermacam-macam
jugalah, dia kalap di masa dahulu. Rasa bersalah itu bertambah mengingat
dongeng kebohongan yang kuceritakan pada anakku tentang kakeknya sendiri.
“Kau
lihat tayangan di televisi, Nak, semua tentang pejabat dan nama baik,” kataku.
“Maksud
Bapak,” tanya anakku, seakan butuh
pemaknaan yang lebih jelas.
“Sebaiknya
kau tak jadi pejabat, Nak. Memerintah secara baik saja, kita bisa
disalah-salahkan. Apalagi kalau kita memang berbuat salah atau khilaf. Yang pasti, akibatnya sama,
bahwa nama baik kita jadi rusak. Dan genarasi kita selanjutnya, cucuku, anakmu,
juga akan menanggung noda sejarah itu,” kataku, kemudian menoleh padanya.
“Urungkanlah niatmu, Nak.”
Ia
tak membalas. Mimiknya datar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar