Pilihan
Alim untuk kembali ke kampung setelah memperoleh gelar sarjana, benar-benar di
luar dugaan. Sebagaimana pandangan warga kampung pada umumnya, seorang sarjana
akan dianggap gagal jika akhirnya pulang ke kampung, apalagi kembali untuk menjadi
seorang petani. Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Lelaki bergelar sarjana
ekonomi itu, lebih memilih mengurus kebun kelapa, daripada menjadi pegawai di
kantor dengan pendingin ruangan.
Almarhum
Sudi, seorang lelaki yang telah membesarkan dan mengumpulkan bekal dana yang
cukup untuk pendidikannya hingga selesai kuliah, jelas tak ingin Alim kembali
mengais rezeki di kampung. Sudi bahkan sengaja menyekolahkan Alim jauh-jauh
dari kampung sejak di bangku sekolah menengah pertama, agar ia mengenal
pergaulan yang lebih luas. Namun apa boleh buat, mungkin malah atas kerinduan akibat terpisah
jarak di waktu yang lama itulah, Alim tak kuasa lagi untuk pergi.
Keputusan
Alim, juga begitu mengagetkan bagi istri alamarhum Sudi, Linda, sosok perempuan
yang telah membesarkannya sejak kecil. Perempuan itu, jelas mengharapkan supaya
Alim mencari penghidupan yang lebih baik di kota, dengan bekal gelar sarjana.
Tapi setiap kali kerisauan itu ia ungkapkan, Alim akan punya sejuta alasan
untuk mengelak. Salah satunya demi menjaga ia yang mulai renta; sebuah alasan yang membuatnya terharu ketimbang kecewa.
Dan
di satu sore, pada hari kedua Alim tiba di kampung, peristiwa tak terduga pun
terjadi. Alim terjatuh semasih menanjaki takik-takik di tengah pohon kelapa. Sebuah
kejadian yang membuat Linda heran dan keget setengah mati. Apalagi, sedari
kecil, Alim memang tak pernah diajar, bahkan dilarang untuk memanjat pohon
kelapa. Linda dan suaminya, memang telah bersepakat bahwa Alim tak akan mereka
biarkan melakukan pekerjaan yang membahayakan semacam itu.
“Apa
yang kau lakukan, Nak? Untuk apa kau panjat-panjat pohon kelapa? Kan sudah
kubilang, kau tak boleh sekali pun melakukannya,” gerutu Linda pada Alim, sambil
mengecek serta mengobati luka di lutut dan siku lelaki itu.
Alim
yang hanya meringis kesakitan, mencoba memelas. “Apa salahnya, Bu? Toh,
tingginya kelapa memang untuk dipanjat. Tak ada yang salah, kecuali aku memang
salah, sebab tak belajar memanjat kelapa dari dulu.”
Linda
jadi kesal mendengar jawaban Alim yang terkesan berguyon. “Nak, aku mohon untuk
satu hal saja, jangan anggap memanjat kelapa sebagai permainan yang patut
dicoba-coba. Jangan lakukan lagi!” tegasnya, dengan mimik yang serius.
“Apanya
yang salah, Bu? Ayah pun melakukannya. Masa aku tidak boleh?” tanya balik Alim,
seakan menganggap penegasan Linda belum cukup untuk membuatnya diam dan
menerima aturan tersebut begitu saja.
“Iya!
Sebab Ayahmu meninggal karena itu!” tegas Linda. “Aku tak mau kehilangan orang
yang kusayangi hanya karena persoalan panjat kelapa!”
Seketika,
Alim terperanjat. “Apa? Bukannya kata Ibu dahulu, Ayah meninggal karena serangan
jantung saat mengurusi ladang?”
Linda
menggeleng. “Bukan, Nak,” katanya, sembari menatap mata Alim dengan penuh
kesedihan. “Maaf karena telah merahasiakan kenyataan itu darimu, Nak. Tapi kurasa,
memang sudah saatnya kau tahu.”
Tiba-tiba,
air mata Alim menetes. Ia tak meragukan lagi dugaannya sedari dulu, bahwa
memang ada rasa bersalah yang harus ia tebus pada Sudi, seorang lelaki yang
dipanggilnya “ayah” sedari dulu. Ia tahu betul bahwa kepergian lelaki tangguh
itu, terkait erat dengannya.
Kala
itu, hujan rintik-rintik sedang turun. Dan Alim tahu, Sudi memanjat kelapa
bukan untuk mendapatkan buah yang hendak dijual atau ditanak. Ia tahu, sikap
manjanyalah sebagai penyebab lelaki bertubuh kekar itu pergi untuk selamanya. Hanya
karena tak ingin memarut buah kelapa, ia pura-pura sakit perut usai memakan tangkapan ikan dari sungai, seakan-akan keracunan. Tanpa pikir panjang, Sudi pun segera mendaki pohon kelapa dengan takik-takik yang licin. Hingga sampailah kabar
duka itu. Sudi terjatuh dari pohon kelapa, dan kepalanya
terbentur pada sebongkah batu. Ia meninggal beberapa jam kemudian.
Atas
dosa-dosa yang telah membawanya pulang, Alim pun bertekad mendamaikan
diri dengan rahasia besar itu. “Maafkan aku, Ibu. Kuduga, meninggalnya Ayah
ada hubungannya denganku.”
Tanpa
melanjutkan penuturannya, Linda seketika memeluk Alim.
“Akulah
yang membuat Ayah meninggal. Aku…,” katanya Alim, disusul tangisnya yang pecah.
Linda
kemudian menyela. “Tak usah lanjutkan penjelasanmu, Nak. Aku sudah tahu soal
itu. Sebelum ayahmu pergi memanjat kelapa untukmu, waktu itu, ia telah
mengutarakan tujuannya padaku,” tutur Linda, kemudian mengurai pelukannya. “Aku
tak pernah sedikit pun menyalahkanmu, Nak. Itu memang sudah jalan takdirnya.”
Tangis
Alim pun menjadi-jadi.
Linda kembali memeluknya.
Diam-diam,
Linda menyimpan rahasia besar yang tak akan mungkin diketahui Alim. Sebuah
rahasia yang juga menjadi alasannya, sampai tak sedikit pun berani menyalahkan
Alim atas kepergian suaminya. Sebuah alasan yang terkait dengan suaminya, juga
asal-usul Alim.
Linda
terkenang lagi beberapa tahun yang lampau, ketika Alim belum tertarik merekam
peristiwa apa pun dalam memorinya. Kala itu, ayah kandung Alim dari desa yang
jauh, datang berserta Alim, tanpa sosok ibu yang kabarnya telah meninggal. Ia
tiba tanpa perbekalan apa pun, sambil memohon dijadikan pekerja di kebun.
Dan
Linda tahu betul, meninggalnya ayah Alim disebabkan oleh dirinya. Di tengah
hujan gerimis, suaminya memerintahkan ayah Alim untuk memanjat pohon kelapa.
Kala itu, Linda membutuhkan kelapa muda untuk mengatasi gejala keracunan yang
ia alami. Ayah Alim yang tak ubahnya babu, akhirnya manut saja tanpa banyak
kata. Dan ketika itu juga, ayah Alim jatuh dari pohon kelapa, lalu meninggal
setelah dirawat selama dua hari di rumah sakit.
Kini,
Linda masih terkurung dalam kenangan pahitnya. Sebuah cerita yang masih akan ia
rahasiakan, entah sampai kapan.
“Nak,
sudikah kau memaafkan aku atas segala sesuatu yang tidak kau ketahui?” tanya
Linda.
Alim
menatap Linda penuh keheranan. Seakan ada yang ganjil dengan permintaan maaf
itu. “Ibu tak punya salah apa-apa padaku. Akulah yang banyak salah pada Ibu, dan
mungkin tak pantas untuk dimaafkan. Kalau pun Ibu punya salah, aku telah
memaafkannya, bahkan sebelum Ibu melakukan kesalahan itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar