Di
balik layar laptop, Jusran mengulik peristiwa yang sedang
hangat diperbincangkan para warganet. Sebagai wartawan, ia merasa kalau berita yang
baik bukan tentang apa yang sebaiknya perlu diketahui masyarakat, tapi tentang
apa yang menggelitik rasa penasaran mereka. Maka tampaklah informasi terkait
beberapa tindak kejahatan, kenakalan, atau asusila di beranda media sosialnya. Ia
pun ikut arus dengan memilih salah satu di antara kasus penyimpangan itu sebagai bahan beritanya.
Yang
berhasil mencuri perhatiannya kali ini adalah soal tersebarnya video mesum yang
diduga diperankan seorang mahasiswi sebuah kampus ternama. Hal itu menarik
baginya, sesuai dengan prinsipnya selama ini, bahwa nilai berita terbaik dan
patut ditonjolkan adalah seksualitas. Baginya, pemenuhan kepentingan publik
atas informasi, tergantung pada bagaimana sebuah informasi menarik bagi banyak
pembaca. Tak ada pembaca, mengindikasikan sebuah berita tak berguna.
Demi
mengejar target postingan, sebagaimana tuntutan atasannya di ruang redaksi,
maka kerja-kerja jurnalistik yang dilakoninya, dibuat sesimpel mungkin. Tak
perlu memilah dan memilih narasumber yang kiranya kompoten bicara soal perilaku
sosial, semisal para sosiolog atau kriminolog yang teruji. Ia hanya perlu
mengontak dan meminta pendapat satu-dua kenalan perempuannya yang berpenampilan
menarik, agar mampu meningkatkan daya jual beritanya di mata para pembaca yang
labil. Ia hanya ingin pendapat seseorang pengutuk, tanpa perlu ada solusi untuk
memperbaiki keadaan sosial.
Tanpa
harus berpeluh-peluhan ke sana-sini dan menguras waktu berlama-lama, sebuah
berita yang menggelitik rasa penasaran pembaca, akhirnya berhasil ia selesaikan.
Ia meramunya sesuai dengan selera redaktur dan pemimpin redaksi, sehingga
dilansir tanpa perlu revisi, apalagi ditimbang dari segi etika jurnalistik.
Maka, dalam hitungan beberapa menit saja, berita karangannya dengan judul yang
sensasional, terpampang di media siber. Dan untuk kesekian kalinya, ia merasa
bangga.
Kala
malam masih panjang dan kopi di gelasnya baru terkuras seperlima, maka
nalurinya sebagai penyebar kabar-kabar, kembali bekerja. Ia masih harus
menyelesaikan empat berita lagi, sesuai tuntutan redaksi. Semua itu demi
memastikan bahwa ia akan mendapat bonus kerjanya di awal bulan. Akhirnya,
taktik yang sama pun, kembali dilakoninya. Kali ini, ia yang lihai mencari
sudut pandang isu yang menarik bagi pembaca, kembali membuat dua ulasan tentang
video asusila tersebut, dengan memperdalam pada soal identitas terduga pelakon
dan tentang keluarganya.
Dan
soal bahan ramuannya kali ini, ia juga tak perlu mencari narasumber semacam
ahli hukum atau telematika. Yang dibutuhkan cuma jaringan internet untuk
menyusun kepingan-kepingan kabar burung yang berserakan di media sosial. Entah
dengan mencomot informasi absurd dari portal berita lain, atau mengambil
komentar-komertar para warganet soal video itu, lalu dijadikannya kutipan tanpa
perlu konfirmasi.
Dalam
sekejap saja, ia telah berhasil meramu dua berita selanjutnya. Berita yang
selesai tanpa satu pun wawancara langsung. Berita yang kemudian segera ia kirimkan ke
surel redaksi, tentu dengan ramuan judul bombastis. Sebuah judul yang kira-kira
bisa menggelitik kelabilan atau kebodohan para pembaca, lalu mengklik tautan
berita itu di media sosial, sehingga
rupiah pun mengalir deras untuknya dan perusahaan. Dan untuk ke sekian kalinya,
ia merasa menang.
Sebagai
wartawan yang berpendirian, sindiran beberapa orang tentang profesionalitas dan
nuraninya, tak berarti apa-apa. Soal dampak berita gubahannya pun, ia tak mau
ambil pusing. Ia merasa para warganet yang dihuni orang tua hingga kanak-kanak,
bisa menentukan pilihannya sendiri untuk membaca atau tidak membaca sebuah
berita. Hitung-hitung, menurutnya, laporan soal video asusila, akan membuat para anak labil berpikir ulang untuk melakukan tindakan serupa, apalagi
menyebarkannya. Ya, ia sebagai penyebar kabar, berharap konten tak senonoh
semacam itu, tak menyebar.
Atas
keletihannya yang ringan, ia pun meregangkan otot, sambil menunggu ilham soal hal-hal
menggelitik apa lagi yang perlu ia beritakan. Ia masih menanggung kewajiban dua
berita, dan kopinya masih tersisa dua per lima gelas. Dan sebagaimana alur pikirnya kemarin-kemarin, ia kemudian terdorong untuk mewawancarai seorang
gadis cantik nan modis, yang masih duduk di bangku kelas I SMP. Mereka saling
mengenal setelah gadis itu kerap mengunjungi kafe yang sama, sekadar untuk
berleha-leha dengan teman-temannya. Ia pun sigap melakukan perbincangan ringan yang
dianggapnya sebagai wawancara. Ia meminta pendapat si gadis soal Hari
Anak, juga meminta alamat akun media sosialnya sebagai bumbu berita.
Tanpa
menunggu lama, berita ke empatnya pun tandas. Berita soal pendapat seorang gadis
tentang mental dan perilaku anak di negara ini. Lagi-lagi, tentu dengan judul yang
menantang. Hingga akhirnya, berita itu dilansir beserta foto sang gadis
yang dipilihnya sendiri, untuk kemudian disebar layaknya virus di ruang media
sosial. Si wartawan pun berhasil melaksanakan pekerjaannya, sedangkan si
narasumber senang kebanjiran pengikut di dunia maya. Dan atas berita itu, si
wartawan merasa wajar-wajar saja. Bahkan ada kebanggaan di hatinya, sebab telah
mewadahi suara seorang anak untuk kepentingan anak-anak sendiri.
Dan
ia pun mengalami kebuntuan. Ia sulit menemukan ide menarik untuk berita terakhirnya
hari ini. Memecah berita soal siswi dan Hari Anak, dipikirnya terlalu
berlebihan. Bagaimana pun juga, ia tetap berusaha agar beritanya tak dianggap
murahan atau gampangan. Hingga akhirnya, sebuah petunjuk, masuk di telepon
genggamnya. Ada pesan singkat dari kantor kepolisian, tempatnya kerap memperoleh
bahan berita kriminal dan kenakalan remaja. Pesan itu mengabarkan bahwa polisi
baru saja mengamankan pelaku kejahatan seksual yang masih di bawah umur. Jelas,
peristiwa itu memenuhi nilai berita yang ia idamkan.
Setelah
menandaskan kopinya, ia pun bergegas pergi dengan hati yang gembira. Sebagai
seorang penyebar kabar, ia merasa punya bahan lagi untuk berkontribusi bagi
perlindungan anak di negeri ini. Menyebar berita-berita asusila untuk
memberikan efek jera bagi para pelaku, juga sebagai pelajaran yang penting bagi
masyarkat umum.
Sesampainya
di kantor polisi, ia sedikit kesal. Sial baginya, setelah terjebak macet di
tengah hujan deras yang terus mengguyur, ia datang terlambat. Si pelaku, telah
meninggalkan kantor kepolisian, sehingga ia harus mencarinya di tempat yang
lain, demi foto dan kutipan. Tapi sebagai langkah taktis, ia pun terlebih dulu
mewawancarai pihak kepolisian dengan sikap yang profesional, demi menjaga citra
di mata para mitra kerjanya.
Dan
setelah mendapat kabar tentang identitas pelaku yang masih sumir dan samar, kronologi
kejadian, juga proses hukum ke depan, sang wartawan pun bertanya soal bagaimana
langkah identifikasi tindak kriminal remaja dan upaya pencegahan yang dilakukan
pihak kepolisian. Ia tahu, setiap narasumber yang berpangkat, selalu suka jika
diberikan wadah untuk menyampaikan ceramahnya kepada masyarakat.
“Bagaimana
hubungan pelaku dan korban,” tanya Jusran.
“Mereka
sebenarnya bukan sahabat juga. Mereka baru berkenalan beberapa hari melalui
media sosial. Dari pengakuan pelaku, si korban dikenalnya melalui sebuah portal
media online yang melansir profilnya. Dan mereka pun sepakat berkenalan di
dunia nyata,” jawab si polisi yang bertindak sebagai kepala operasi dalam
kejadian tersebut.
“Dari
pemeriksaan tadi, apa yang mendorong pelaku sampai tega melakukan pelecehan
terhadap korban?” tanya Jusran, dengan mimik yang serius dan tangan
yang kokoh menyodorkan alat perekam.
“Dari
pengakuan pelaku, dia terpengaruh tayangan-tayangan porno. Lebih spesifiknya,
ia terdorong setelah menyaksikan video mesum seorang mahasiswi yang belakangan
menyebar di media sosial. Seperti yang sama-sama kita ketahui, anak-anak yang
terpapar tanyangan semacam itu, jelas berdampak sangat buruk bagi emosi dan
perilakunya,” kata sang aparat kepolisian.
Jusran
lanjut bertanya, “Dari mana si pelaku mendapatkan tayangan video mesum itu?”
“Dari
pengakuannya, ia mencarinya sendiri si internet, setelah banyak akun media
sosial dan portal berita yang menggembar-gemborkannya. Apalagi sebagai anak-anak, ia
jelas punya rasa penasaran yang menggebu-gebu untuk setiap hal yang belum ia
ketahui,” jawab si polisi dengan suara jelas dan lantang.
Dan
untuk terakhir kalinya, si wartawan meminta harapan atau imbauan si aparat.
“Terakhir, Pak, sebagai pengayom masyarakat, apa yang Bapak harapkan bagi perlindungan
anak-anak di negara ini, apalagi hari ini bertepatan dengan Hari Anak?”
Sang
polisi pun menjawab, “Ya, perlindungan anak merupakan tanggung jawab semua
pihak. Harus ada peran bersama antara pemerintah, orang tua, pihak pendidik di
sekolah, termasuk juga para wartawan,” katanya.
Setelah
merasa bahannya lengkap, Jusran pun segera beranjak mencari pelaku pelecehan
yang berada di kantor lembaga bantuan hukum khusus anak dan perempuan. Jelas, ia
hendak mengambil seberkas foto si pelaku sebagai bumbu penyedap berita, juga
tambahan wawancara alakadarnya. Dengan begitu, ia akan optimis bahwa ramuan
beritanya mendulang banyak pembaca, sebagai faktor pendapatan yang penting.
Apalagi atasannya di redaksi sepaham dengannya soal berita yang baik, bahwa
kadang-kadang perlu juga memuat identitas dan foto pelaku kejahatan, tanpa
perlu mempertimbangkan umur dan kode etik jurnalistik. Langkah itu, demi
menumbulkan efek jera, katanya.
Dan
sesampainya di kantor bantuan hukum, tersentaklah Jusran kala menyaksikan
istrinya meraung-raung sambil tersedu sedan di hadapan anaknya sendiri. Khayalan
tinggi tentang berita yang fenomenal pun, luluh seketika. Lenyap, seiring
kesadarannya, bahwa rancangan berita soal kasus asusila yang membuatnya menggebu-gebu,
menempatkan anaknya sebagai objek, juga akan menyeret ia dan istrinya. Dan tingkah lihainya mengambil gambar pun, lenyap seketika. Tangannya
gemetar, tak terkendali. Seketika, ia memahami satu hal, meski tak memahami
satu persoalan yang lebih besar atas tindak-tanduknya sebagai seorang wartawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar