Sebelumnya,
aku tak punya pengalaman menulis cerita pendek. Terpaksa saja, karena
perasaanku pada seseorang, tentang kami, yang masih sekadar harapan. Demi melindungi
harga diri, kupikir, tak ada pelampiasan paling aman selain menyiratkan
perasaan dalam cerita fiksi dan frasa bermajas. Bisa ditafsirkan sesuai
kepentingan. Jika seseorang ataupun dia mengetahui benar bahwa aku sedang
bercerita tentang perasaanku sendiri, maka dengan mudah aku mengelak dengan penafsiran
berbeda.
Ambiguitas
kata dan cerita memang bisa membuat maksud meleset dari sasaran. Tapi itu lebih
baik daripada diam tanpa kata. Setidaknya aku telah mengungkapkannya lewat
tulisan, walau hanya aku yang mengerti, sedangkan dia tak tahu atau malah menafsirkannya
secara melenceng. Bisa juga karena ketidakjelasan itu, dia jadi bertanya-tanya,
lalu memberikan tanda-tanda yang kudambakan. Mengirimkanku pesan serupa kode
morse, kubaca, lalu kuambil langkah yang tepat. Di situlah kesempatan terbaikku
untuk menjelaskan satu arti kepadanya, sejujur-jujurnya.
Tentang
tokoh cerita cerpen itu, kupikir, lelaki pecundang sepertiku tak layak menjadi
pemenang, walaupun itu dalam cerita fiksi sekalipun. Karena itu, cerita gubahanku
seminggu lalu, bukan berkisah tentang diriku, tetapi tentang perempuan yang
kumaksud, teman dekatku, Reni. Penulisannya menggunakan sudut pandang orang
ketiga. Dialah yang menjadi tokoh utama ceritaku. Tak terlalu sulit menuliskannya.
Bahan ceritanya sudah ada. Apalagi dia sering menjadikanku tong untuk menampung
sampah-sampah hidupnya, termasuk cerita tentang persoalan asmaranya. Agar tak kentara,
aku tak akan membuatnya sepolos diary. Kubuat alur yang apik dan mencengangkan.
Intinya, dipelintir sedikit agar saat membacanya, ia tak menyadari itu tentang
dirinya.
Cerita
nyata tentang Reni sebenarnya biasa saja. Kalau sering-sering menyaksikan FTV,
pasti ada episode yang mirip dengan ceritanya itu. Intinya, si A menyukai si B.
Tapi sialnya, si B malah menyukai si C yang nota bene menyukainya juga. Kalau
dari curhatan Reni, seseimpel itulah jalan ceritanya. Kini, dia terlihat berkabung
setelah pujaan hatinya dekat wanita lain. Dua sejoli yang membuat Reni cemburu
itu adalah teman sekantor kami di penerbitan majalah remaja. Namanya Arif dan
Sophia. Aku akrab dengan Arif, sedangkan Sophia adalah teman “sepermainan”
Reni. Nahas memang.
Demi
mengaburkan kenyataan dalam cerita pendek gubahanku, tentu aku tak akan menulis
cerita Reni sesederhana itu. Jadi aku putuskan untuk memberi sedikit bumbu.
Kuimajinasikan, ceritanya akan semakin menarik jika B (Arif) ternyata sebenarnya
menyukai A (Reni). B hanya mendekati si C (Sophia) untuk membuat A cemburu. Lama-kelamaan,
A pun tahu kalau itu hanya taktik B. Tapi karena C adalah teman baik A, ia
memilih menghindar dan membiarkan mereka bersama. Begitulah ceritanya. Dalam
cerita itu, aku tak menyebutkan nama tokoh.
“Adit,
ini cerpen untuk terbitan minggu ini. Sebagai ilustrator, buat gambar yang tepat. Karena itu, kau harus membacanya terlebih dahulu. Hayatilah
ceritanya baik-baik,” perintah Reni kepadaku. Ia bertindak sebagai redaktur rubrik
fiksi. Tentu saja aku tak perlu membacanya. Dia benar-benar tak tahu kalau itu
adalah cerpen karanganku sendiri.
“Lakon Inisial Pesandiwara Hati. Dari
banyak cerpen yang masuk di e-mail, kau pilih ini? Ceritanya memang menarik?
Judulnya saja tak menarik,” balasku, pura-pura tak tahu.
“Kalau
menurutku sih menarik. Cocok untuk pangsa pasar majalah kita. Ya, biasalah,
masalah cinta bersegi-segi. Entah hanya akukah, tapi kurasa setiap orang akan
merasa terlibat dalam cerita itu setelah membacanya. Siapa sih yang tak pernah
mengalami cinta bersegi-segi? Kau pasti setuju denganku. Tapi sudahlah, kau
baca saja dulu!” pungkasnya, lalu pergi dengan senyumannya yang begitu membekas
di benakku.
Akhirnya,
dua hari lagi, cerpen gubahanku dengan nama pena Sudiran Raja, akan
diterbitkan. Tak kusangka, ternyata aku punya bakat menulis cerpen. Setidaknya,
telah diakui redaktur yang sok perfect
itu, si Reni. Entahlah. Bisa jadi dia memilih cerpenku karena karapuhannya
saja. Kuduga ia merasa hanyut dalam cerita cerpenku. Yang pasti, aku
benar-benar merasa menang.
Seperti
biasanya, kala penat menjalani rutinitas, Reni akan datang ke desk-ku dan meminta untuk ditemani bersantai
di sebuah kafe. Sebagai junior, aku terpaksa harus hormat padanya, yang lebih
senior. Walau bisa kupastikan, ia hanya akan mengkritisi dan memberi masukan
macam-macam untuk ilustrasi cerpen yang kubuat. Dia memang suka mengomentari lukisanku.
Padahal, untuk membuat garis linear saja, dia tak mampu. Sebaliknya, aku sama
sekali tak berhasrat mengomentari seleranya terhadap cerita fiksi.
“Ilustrasi
untuk cerpen tadi sudah kau buat?” tanyanya, terlihat santai.
“Belum,”
jawabku singkat. Kuduga ia akan mengaduh dan menggerutu.
“Oh,
tak mengapa. Buat sebaik-baiknya. Aku tak ingin mengatur-aturmu kali ini. Aku
percayakan padamu. Sebelumnya, kau sudah baca cerpennya kan?
Aku
tak menduga responsnya berbeda dari biasanya. Tampak lebih jinak dan anggun. “Sudah.”
Matanya memandangiku lamat-lamat. Seperti berharap aku mengeluarkan komentar
yang panjang lebar. “Dan, biasa saja menurutku.”
Kupikir,
dia pasti menggerutu dalam hatinya: Woi,
bagaimana mungkin kau tak merasakan cerita itu menyinggungku? Aku kan sering
curhat padamu? Tapi, aku bukan lelaki yang sok pengertian lewat kata-kata.
“Aduh!
Kepekaanmu memang cetek,” tuturnya sambil berdecak dan menggeleng-gelengkan
kepala. Hening beberapa menit. Sampai akhirnya ia mengeluarkan pernyataan yang
tak kusangka sebelumnya. “Karena kau lelaki batu, jadinya kau tak pernah merasa
kalau Sophia selama ini menaksirmu. Akhirnya, kini dia bersama Arif. Cerita cerpen
itu seperti kisahmu kawan. Kau bak tokoh A dalam cerita itu.”
Ternyata
dugaanku tentang keampuhan cerita fiksi dahulu, benar. Dia membuka kesempatan
untukku mengorek informasi tentang perasaannya. “Kau juga batu, sampai tak
sadar kalau Arif menaksirmu. Kaulah
tokoh A dalam cerita,” balasku, sambil tertawa kecil.
“Tidak
mungkin. Aku tak akan mengorbankan perasaanku hanya untuk seorang teman. Itu
hanya ada di dunia fiksi. Kaulah tokoh A!” balasnya dengan nada tinggi.
Wajahnya sangat serius.
“Aku
juga sama sepertimu. Perasaan tak bisa ditawar-tawar, apalagi diperjualbelikan,”
tuturku. “Ok, begini saja. Perhatikan. Aku adalah tokoh A. B adalah Sophia,
sedangkan C adalah kekasihnya, Arif, yang temanku itu. Nah, aku kan sudah
bilang aku tak akan merelakan perasaanku demi seorang teman. Buktinya, aku tak
masalah dengan hubungan mereka.”
“Jadi
kau tak ada niat pada Sophia? Kau teman baik dengan Arif kan? Jadi bagaimana
kalau kau tetap toko A, sedangkan aku adalah tokoh B yang tak kau inginkan jika
bersama si C?” sergahnya segera.
Aku
terenyuh dengan kesimpulannya. Tapi aku masih terlalu enggan untuk berkata
jujur. “Apa? GR! Kau yakin aku menyukaimu? Jadi kau ingin mengatakan kalau aku tak
ingin kau bersama Arif, dan aku ingin kau bersamaku? Begitu?”
“Seharusnya
begitu Pak Sudiran,” balasnya, tampak meledek.
Selang
dua detik, aku baru sadar. Kau panggil
aku apa? Aku benar-benar merasa kalang kabut. Mukaku pasti aur-auran terlihat
olehnya karena rasa malu. Degub jantungku mengencang.
“Sebelumnya
kau pernah menerorku dengan alamat e-mailmu itu. Aku tahu itu akunmu setelah
suatu hari meminjam laptopmu. Saat itu aku hendak log in ke akun e-mailku. Setelah loading ke alamat email, aku malah masuk ke akun rahasiamu itu. Kau
lupa log out kawan,” jelasnya dengan
wajah semringah. Terlihat senang memojokkanku. “Ah, sudahlah Pak Sudiran, bilang
saja kalau kau menyukaiku.”
Entah
apa yang harus kukatakan. Tapi sudahlah. Mungkin baiknya aku diperangkap
begini. Sudah waktunya aku keluar dari dunia fiksi.
“Ok.
Aku akan mengaku jika aku menyukaimu. Tapi kau tak ada niat dengan Arif kan?”
tuturku penuh kepasrahan saat keberanianku pulih.
Kau
hanya terdiam. Menatapku dalam-dalam, kemudian tertawa lepas. “Kau sudah
mengakuinya!”
Kulihat,
kau tertawa sambil terharu. Seperti sangat bahagia.