Senin, 06 Februari 2017

Tak Berbalas

Seperti semester sebelumnya, nilai rapor Ardin masih di bawah rata-rata. Ia tak bisa diandalkan pada semua mata pelajaran, apalagi yang berhubungan dengan hitung-hitungan. Ia hanya bisa bersaing pada pelajaran bahasa Indonesia. Kelihaiannya pun spesifik pada sastra, khususnya dalam menggubah puisi. Kemampuan itu ia peroleh dari kegemarannya menebar gombalan.
 
Karena persoalan rapor, Ardin pun dilanda kegalauan. Tapi akar masalahnya bukan karena serangkaian nilai memalukan yang ia peroleh. Jauh-jauh sebelumnya, ia tak pernah malu dicap siswa yang bodoh dan bandel. Bahkan ia malah suka dilebeli demikian, sebab itulah yang membuatnya tenar selingkungan sekolah. 

Kelakutan Ardin kali ini, tak lain karena ayahnya dilibat-libatkan dalam persoalan rapornya. Ia diminta mengambil rapor didampingi sang ayah. Wali kelas sepertinya sudah muak melihat prestasi belajarnya yang terus merosot. Apalagi tak ada tanda-tanda bahwa ia akan mengubah sikapnya yang gemar keluyuran di tempat bermain games atau di pusat perbelanjaan, daripada belajar dengan khidmat di kelas. 

Jelas saja, Ardin menolak keras keputusan wali kelas. Ia pun melakukan lobi-lobi terbaik agar ayahnya tak dihadirkan di lingkungan sekolah. Bahkan ia berani berjanji untuk mengubah sikap pada semester depan jika diperbolehkan mengambil rapor tanpa kehadiran sang ayah. Tapi wali kelas tetap bersikeras. Karena itu, Ardin pun mengancam tak akan mengambil rapornya. 

Setelah diplomasi buntu dan tak ada kompromi lagi, Ardin lalu beranjak dengan penuh kelesuan. Menuntun langkah menuju ke tempat perenungannya, di sebuah kafe, untuk menyusun strategi. Membawa khayalan menakutkan, tentang bagaimana sikap ayahnya jika tahu tentang kondisinya yang tak keruan di sekolah. Apalagi, citranya di depan sang ayah selama ini baik-baik saja.

Akal bulus Ardin akhirnya berbuah hasil. Ia menemukan jalan terbaik agar ayahnya tak harus menginjakkan kaki di lingkungan sekolah demi rapor. Caranya, ia akan menghadap langsung bersama ayahnya di rumah sang wali kelas pada malam nanti. Dengan begitu, teman-temannya, khususnya yang perempuan, tak akan melihat kebersamaan mereka bedua. Harga dirinya sebagai lelaki “terpandang” di sekolah pun, tak akan jatuh ke titik nadir dan mengenaskan. 

Pikiran Ardin kini kembali jernih. Tak ada lagi sesuatu yang ia cemaskan. Dan menjelang sore, setelah bosan di kafe dan seusai mengunjungi beberapa teman segengnya, ia pun pulang tanpa beban. Hingga akhirnya, semua rencananya, buyar setibanya di rumah. Rapor miliknya, tampak tergeletak di atas meja, di depan sang ayah.

“Dari mana saja kamu, Nak?” tanya ayahnya dengan intonasi yang lemah lembut. Seperti sebelumnya, lelaki tua dan penyakitan itu, memang tak suka membentak.

Ardin jadi kikuk. Ia jelas bingung menemukan jawaban yang tepat. Apalagi, kondisi itu tak pernah diperhitungkannya. “Ban motorku bocor di tengah jalan Ayah. Aku harus mendorongnya beberapa jauh dan menunggu perbaikannya di bengkel,” tuturnya tanpa hendak menyinggung soal rapor. Setelah itu, ia mengambil ancang-ancang untuk segera menuju ke dalam kamar, untuk menghindar.

Ayahnya berdeham. “Sini dulu, Nak. Ada sesuatu yang ingin ayah bicarakan.”

Dengan langkah hati-hati dan perasaan yang penuh ketegangan, Ardin pun menghampiri ayahnya yang duduk di sofa. Sambil memampang wajah lugu, ia lalu mengambil posisi duduk di samping kiri sang ayah. Berhadap-hadapan adalah pilihan terburuk. “Ada apa Ayah?”

Ayahnya kemudian mengambil rapor yang tergeletak di meja. Memegangnya dengan kedua tangan. Dan dengan sikap khidmat, ia memulai nasihatnya. “Begini, Nak. Tadi wali kelasmu datang kemari. Ia membawakan rapormu. Ia banyak bercerita bahwa kau tak mengikuti pelajaran dengan baik di kelas.”

Seketika, kamuflase Ardin, buyar. Ia bak maling yang tertangkap basah tengah melaksanakan operasi haram. “Maafkan jika nilai raporku sangat buruk, Ayah.”

Dengan bertumpu pada kedua tangan, ayahnya pun bergeser, mendekat padanya. “Oh, tak mengapa, Nak. Sekolah memang adalah tempat belajar. Tempat memperbaiki kesalahan. Salah di sekolah itu wajar, asalkan tetap mau belajar dan mengubah diri. Yang salah itu kalau tak mau belajar dan suka berbuat kesalahan, menganggap kesalahan itu sebuah kebanggaan.”

Ardin takzim. Hanya terdiam merenungi singgungan ayahnya. Rasa-rasanya, sang ayah tahu betul bagaimana watak kekanak-kanakannya saat ini. “Maafkan aku Ayah,” ucapnya lagi.

Sang ayah lalu mengusap punggung Ardin. Seperti memberikan sugesti agar tak memusingkan segala apa yang telah terjadi. “Tak apa-apa Nak. Aku juga pernah muda seperti dirimu. Aku paham bagaimana perasaanmu saat ini. Tak usah kecewa atas nilai rapor yang kau dapat. Nilai yang tertulis juga tak mencerminkan dirimu yang sesungghnya. Aku tahu kau telah berusaha mendapatkan nilai yang lebih baik. Tetaplah belajar.”

“Baik Ayah. Aku janji akan menjadi anak yang lebih baik,” tutur Ardin dengan penuh kesungguhan.

“Terima kasih sudah bersedia menjadi kebanggaanku, Nak. Aku yakin kau tak akan mengecewakan aku di masa mendatang,” tutur ayahnya sambil tersenyum. “Kau tahu, suatu saat, kau pun akan menjadi sesosok ayah. Dan bagi seorang ayah, anak adalah segalanya. Apa pun dilakukan demi kebaikan anak. Aku yakin kau tahu itu.” 

Ardin yang tak tahu harus berkata apa lagi, terenyuh. Ia hanya terdiam merenungi sikap durhakanya selama ini. Besarnya kasih-sayang sang ayah, tak ia balas dengan bakti yang terpuji. Nasihat ayahnya cuma serupa nyayian tidur yang tak berlaku di luar rumah. Pengorbanan sang ayah, termasuk membelikanya fasilitas dari uang santunan perusahaan setelah mengalami kecelakaan kerja, juga tak dihargainya sepadan. Diam-diam, Ardin telah berkhianat. 

“Nak, kalau kau punya masalah di sekolah, atau masalah apa pun, ceritalah,” pinta ayahnya. 

Ardin hanya mengangguk takzim.

Setelah saling mendiamkan beberapa saat, ayahnya pun memecah kekakuan. “Aku ke belakang dulu ya. Mau memahat lemari pesanan tetangga. Segeralah makan. Setelah itu, sempatkan untuk membantuku. Kita harus giat bekerja Nak, demi hidup kita dan masa depan pendidikanmu,” pungkas ayahnya, kemudian beranjak dengan senyuman.

Lagi-lagi, Ardin hanya mengangguk. Tak kuasa berucap.
 
Tak berselang lama, ayahnya pun berlalu dengan bertumpu pada dua tongkat yang menyangga ketiaknya. Menopang langkahnya di atas kaki kiri. Membawa kaki kanannya yang puntung setelah mengalami kecelakaan kerja. Sebuah keadaan yang membuat Ardin tak sudi jika ayahnya menampakkan diri di sekolah. Sungguh.

Atas semua pengkhianatannya, dan setelah menyaksikan sang ayah berlalu dengan cara yang tak biasa untuk kesekian kalinya, Ardin pun bergegas menuju ke dalam kamar. Rencananya mengganti pakaian, dan mungkin juga meratapi dosa-dosanya dengan air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar