Rabu, 08 Februari 2017

Anak Angkat

Subandi beruntung terlahir dalam keluarga yang mapan. Ibunya bidan. Ayahnya seorang guru, tokoh masyarakat, sekaligus pekebun yang memiliki beberapa petak tanah. Soal keuangan, jelas tak pernah menjadi permasalahan dalam keluarganya. Apalagi, ia adalah anak tunggal. Karena itu, meski terlahir di daerah yang terbilang kampung, ia enteng dalam memenuhi segala kebutuhannya, termasuk soal pendidikan.
 
Setelah lulus sekolah menengah atas, Subandi berangkat ke kota untuk kuliah. Ia dinyatakan lulus di  fakultas hukum sebuah perguruan tinggi favorit. Mengalahkan para pesaingnya di jalur seleksi tertulis. Tentunya, itu adalah kebanggaan tak terkira. Satu keberhasilan yang hanya jadi mimpi pemuda desa lainnya. Sebuah prestasi yang membuat keluarganya semakin dielu-elukan sebagai panutan yang baik.

Belum genap empat tahun, Subandi pun dinyatakan lulus sebagai sarjana dengan predikat cum laude. Lagi-lagi, itu adalah pencapaian yang membuatnya, semakin dipuja-puji. Tak pelak, banyak yang menaruh hormat padanya. Bahkan, banyak warga desa yang mencitrakannya serupa dengan sang ayahnya, seorang teladan warga desa dalam menjaga nilai-nilai luhur dari gempuran zaman yang penuh anomali.

Subandi memang dikenal berbeda dengan pemuda desa lainnya. Ia tak banyak tingkah dan patuh pada pesan orang tua. Dahulu, kala teman sebayanya gemar mempertontonkan kenakalan, ia sama sekali tak tertarik untuk melakukan kesia-siaan yang sama. Entah itu berhubungan dengan barang berbahaya, gaya hidup hedonis, ataukah soal perempuan. Karena itulah, ia punya jalan hidup yang berbeda pula. Dan terbukti, Subandi telah sarjana kala teman sebayanya di kampung hidup dalam ketidakpastian.

Yang lebih membanggakan lagi, selepas sarjana, Subandi tak pulang seorang diri. Bersamanya, ikut serta seorang wanita berparas menawan, khas gadis kota yang stylish. Kepada orang tuanya, ia pun menyampaikan keinginan agar segera dinikahkan dengan gadis pujaannya itu. Tentu saja orang tuanya merestui, demi menjaga nama baik keluarga dari gosip-gosip miring. Terlebih lagi, mempersunting perempuan kota, juga sebuah keberuntungan yang patut dibanggakan di mata warga kampung.

Waktu cepat bergulir. Dua tahun setelah menikah, Subandi tak juga dikaruniai anak. Orang tuanya pun terkesan sudah tak sabaran untuk menimang cucu. Atas semua itu, Subandi pun menyampaikan kesepakatannya dengan sang istri untuk mengadopsi seorang anak laki-laki, penghuni sebuah panti asuhan. Posisinya di kota, tak jauh dari kampusnya dahulu. 

“Bagaimana pendapat Ibu?” tanya Subandi, setelah bercerita panjang lebar tentang rencananya itu.

Ibunya tersenyum sepintas. “Tak usah dipaksakan, Nak. Aku dan ayahmu, memang ingin segera menimang cucu. Tapi mengadopsi anak sepertinya bukan keputusan yang tepat.”

“Tapi Ibu pasti tak menolak jika melihat paras anak itu. Sangat tampan. Aku telah melihatnya beberapa kali, saat mengunjungi panti untuk mengantar sumbangan dari mahasiswa dahulu. Kini, umurnya kira-kira beranjak tiga tahun,” tawar Subandi. Namun  ia kemudian sadar kalau apa yang diungkapkannya, bukanlah alasan jitu. Ia lalu menuturkan argumentasi baru, “Lagi pula, mengadopsi seorang anak di usia balita, saya kira aman. Secara emosional, ia akan terikat dengan kita. Jadi seperti anak sendiri.”

“Aku tahu, Nak. Tapi itu kan tetap beresiko. Bagaimana pun juga, saat dewasa, anak perlu tahu tentang identitas dirinya yang sejati. Bagaimana jika ia bersikeras menemukan orang tuanya? Bagaimana jika akhirnya dia menyesal jadi anak adopsi, lalu ia menemukan dan memilih tinggal bersama orang tua kandungnya?” tangkis sang ibu.

Ayahnya yang duduk di lingkaran sofa yang sama,  turut dalam percakapan, “Tak usah gegabah begitu. Usia kalian masih muda. Di dunia ini, bahkan ada yang harus menunggu puluan tahun untuk dikaruniai seorang anak. Kalian bersabar saja dulu. Kalau memang ada rezeki, dua atau tiga tahun ke depan, kalian pasti dikarunia momongan,” kata ayahnya. “Apalagi, mengadopsi anak juga memiliki dampak ke depan. Pasti sulit memperlakukan anak adopsi dan anak kandung secara adil. Mana lagi dalam soal warisan, itu pasti lebih ruwet.”

“Aku sanggup bertanggung jawab secara adil padanya, Ayah. Entah anak kandung atau anak angkat, aku akan memperlakukannya secara baik. Itu tak perlu menjadi kekhawatiran Ayah dan Ibu. Apalagi, penghasilanku, ditambah penghasilan istriku, pasti cukup untuk menjamin kesejahteraan anak-anak kelak,” tegas Subandi. Kali ini, ia tampak semakin berkeras dengan keinginannya. “Yang lebih penting dari semua itu, menyayangi anak yatim-piatu adalah perbuatan yang mulia. Ayah-ibu selalu mengajariku tentang itu dahulu."

Ayah-ibunya pun tampak meluluh mendengar penegasan terakhir Subandi. Dan akhirnya, orang tuanya pun mengalah. Ia berhasil mendapatkan restu untuk mengadopsi seorang anak panti yang ia tahu betul asal-usulnya. Seorang anak yang akan berstatus anak angkat di hadapan ayah-ibu kandungnya sendiri. Seorang anak yang lahir dengan menentang nilai-nilai kepatutan. Seorang anak yang identitasnya harus dikaburkan demi menjaga nama baik satu keluarga besar.

Subandi tersenyum lebar. “Oh ya, Nama anak itu Risto Pradika. Aku yang memberikannya nama saat berkunjung ke panti dahulu,” katanya.

Ibunya semringah. “Nama yang bagus.”

Ayahnya menimpali, “Ya, kedengarannya bagus.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar