Sudah
sekian lama kau menuliskan kesepianmu di ruang maya. Kau mengaku sendiri, dan
tak ada tempat berbagi keluh. Kau mengaku membutuhkan kehadiran seseorang, dan
aku sangat mengerti. Aku ingin menjadi seseorang yang kau butuhkan. Aku ingin
manjadi malaikat yang menembus ruang, menuju ke sampingmu, setiap kali kau
terperangkap sunyi.
Namun
segenap ilusi yang tak berdasarkan kenyataan, membuatku enggan mengambil
tindakan. Aku hanya mengenalmu di dunia maya, sehingga tak ada alasan yang patut
untuk memberimu perhatian, atau bahkan untuk sekadar bertanya kabar. Aku hanya
seorang pendoa ulung yang berharap kau baik-baik saja, sebelum kita bersama,
meski kau tak akan pernah tahu.
Tetapi
di malam kemarin, ketenanganku akhirnya goyah. Kesepianmu semakin memuncak, dan
kau kembali menuliskannya di halaman media sosial. Kau menuliskan bahwa kau merasa
tidak dianggap oleh siapa-siapa. Pasalnya, kau berada di penghujung hari ulang
tahunmu, sebagaimana yang telah lama tercatat di dalam kepalaku, tetapi kau tak
mendapatkan kado atau ucapan apa pun dari orang-orang.
Atas
kisah hidupmu yang penuh kehampaan, perasaanku pun terdesak untuk segera mengambil
langkah yang berarti. Aku takut seseorang mendahuluiku, hingga perhatianku tak
lagi berarti untuk mengisi kekosonganmu. Sampai akhirnya, aku pun menuliskan
komentar pada unggahan cerita hidupmu. Sebuah ucapan selamat, beserta harapan,
semoga segala yang terbaik untukmu:
Selamat ulang tahun. Kau telah
melalui masa-masa yang mengagumkan. Nikmatilah kehidupanmu di waktu-waktu
mendatang!
Tentu
saja aku tak menyertakan identitas diriku pada rangkaian kata komentar itu.
Selain karena alasan kepatutan, aku juga takut kalau niat baikku untuk
memberikan semangat hidup kepadamu, malah tertolak karena distorsi keakuanku.
Bagaimana pun, aku bukanlah siapa-siapa bagimu, dan aku tak ingin
memperkenalkan diri secara tiba-tiba, hingga merusak rencana besarku tentang
kita.
Namun
tanpa kuduga, pagi ini, aku menemukan kenyataan yang begitu menyesakkan
perasaanku. Kau mengirimkan balasan untuk komentarku, dan memperjelas semua kesalahpahamanku
selama ini:
Terima kasih atas doa dan harapanmu
untukku, Rul. Terima kasih untuk kejutan kecil ini, yang sungguh berarti besar
untukku di sini. Aku berharap, segala yang terbaik, juga untukmu di sana, dan
untuk kita di masa depan, tentunya.
Akhirnya,
aku harus menerima, bahwa di tengah langkahku yang mengayun pelan, kenyataan
pahit telah bersua lebih cepat. Aku harus menerima, bahwa kesepianmu selama
ini, ternyata bukan karena kau mengharapkan seseorang untuk datang, tetapi
karena kau merindukan seseorang untuk pulang. Seseorang yang telah berjarak
denganmu, si pemilik nama Rul, yang membuatmu tak sabar untuk segera bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar