Aku
terpenjara sekian lama. Sejak kecil, aku tak bisa bermain sebebas anak-anak yang
lain. Kini, di usia dewasa, aku pun tak bergaul sebebas pemuda-pemudi yang
lain. Aku hanya berada di dalam rumah, kecuali ada hal-hal penting yang harus
kulakukan di luar sana. Hingga akhirnya, aku jadi terbiasa mengurung diri dan
harus menerima keterasingan.
Semua
karena ibuku. Sejak dahulu, ia membatasi gerak-gerikku. Ia memaksaku menjauh
dari orang-orang, dan ia pun melarang orang-orang untuk bergaul denganku.
Hingga pernah sekali waktu, ketika aku masih kelas 2 SMP, ia menghardik aku,
seorang teman lelakiku, dan seorang teman perempuanku, sebab kami pulang dari
petualangan saat hari hampir malam.
Setelah
peristiwa itu, aku berusaha membatasi pergaulanku demi menunaikan perintah ibu.
Orang-orang terdekatku pun mulai menjauh setelah mereka memahami keadaanku.
Sampai akhirnya, kini, ketika aku telah duduk di bangku kuliah, aku hanya
mengenal banyak orang dan tak mengakrabi salah seorang pun di antara mereka.
Atas
ketertutupan hidupku, sesekali, aku mengajukan protes kepada ibu. Apalagi
setelah dewasa, aku merasa punya hak untuk mengatur pergaulanku sendiri. Namun ibu
tetap berkeras agar aku tidak bergaul dengan siapa pun. Ia pun tetap pada
kesimpulannya, bahwa semua orang selain dirinya, selalu punya kecenderungan
untuk menyakiti diriku.
”Kini,
kau sudah dewasa. Kau harus bisa menjaga diri baik-baik,” katanya, enam bulan
lalu, di tengah perdebatan kami tentang caranya mengatur kehidupanku. “Kau
harus berhati-hati dengan orang-orang di sekitarmu. Tak usah berteman dan
mengakrabi siapa pun.”
“Kenapa
harus begitu? Aku bukan anak kecil lagi, Bu!” sergahku.
Ia
lalu menoleh padaku dengan tatapan yang tenang. “Karena berteman dengan orang-orang,
hanya akan membuka jalan bagi mereka untuk menghancurkan kehidupanmu,” katanya,
tanpa mengurai alasan atas kesimpulannya itu. “Aku ingin kau baik-baik saja dan
terbebas dari tipu daya orang-orang jahat.”
“Begitu
terus yang Ibu bilang!” tanggapku, kesal. “Bukankah tidak semua orang jahat,
Bu? Bukankah aku bisa menemukan orang baik untuk menjadi teman baikku?”
Ia
pun menggeleng-geleng, lalu memalingkan wajah dariku. “Terlalu sulit untuk menemukan
orang baik, Nak, sesulit membaca isi hati orang lain. Orang-orang yang tampak baik
padamu, barangkali hanya penipu yang ingin menjermuskanmu ke dalam jurang
kepedihan,” balasnya, kemudian menoleh padaku sejenak. “Lebih baik kau menjaga
jarak dengan siapa pun, demi kebaikanmu juga.”
Aku pun mendengus pasrah atas kekerasan hatinya.
Ia
lantas menghela-embuskan napas yang panjang, kemudian melontarkan penegasan
yang lain, “Apalagi soal hubungan dengan lawan jenis. Kau harus berhati-hati. Kau
tak boleh terperdaya dengan ucapan dan perlakuan laki-laki terhadap dirimu. Kau
harus bisa meredam perasaanmu yang berbahaya,” katanya, dengan tatapan kosong
ke arah jendela. “Lebih baik, kau jangan dekat-dekat dengan seorang lelaki,
apalagi memiliki hubungan yang spesial dengan mereka.”
“Kenapa
tidak boleh?” sergahku lagi, tak habis pikir. “Bukankah Ibu pernah juga dekat
dengan lelaki? Bukankah Ibu memiliki hubungan yang spesial dengan Ayah? Kenapa
aku tak boleh melakukan hal yang sama?”
Ia
pun terdiam. Untuk beberapa saat, pikirannnya seperti menerawang ke masa lalu. “Karena
aku yakin, tidak ada seorang lelaki pun yang benar-benar mencintai seorang
perempuan. Semua lelaki hanya mencintai diri mereka sendiri. Mereka hanya
mengatasnamakan cinta untuk memabukkan perempuan, untuk menaklukkan perempuan,
demi memuaskan hasrat mereka sendiri!” jawabnya, dengan suara yang penuh
penekanan.
Aku
semakin bingung dengan pendapatnya. “Apakah begitu juga dengan almarhum Ayah?
Apakah Ibu meragukan cinta Ayah kepada Ibu?”
Seketika,
bibirnya terkatup rapat. Ia pun tampak semakin larut di dalam menungan. Hingga
akhirnya, ia menuturkan balasan yang bukanlah jawaban, “Aku hanya ingin kau
baik-baik saja.”
Aku
pun tak berkata-kata lagi demi menyudahi perdebatan kami yang tak akan
menemukan titik temu.
Akhirnya,
sampai sekarang, aku tak tahu alasan ibu hingga menjadi sangat protektif
terhadap diriku, bahkan cenderung posesif. Sebagaimana selalu, ia tak pernah
menguraikan alasannya setiap kali aku berontak. Tetapi setelah
kutimbang-timbang, aku pun menyimpulkan kalau ibu begitu takut kehilangan
diriku setelah kehilangan ayahku yang mati dibunuh, sebagaimana ceritanya sendiri.
Apalagi, ia memang tak punya siapa-siapa setelah kami berada jauh dari keluarga
besar tak lama sepeninggal ayahku itu, saat aku masih di dalam kandungan.
Setelah
waktu yang panjang, aku pun jadi terbiasa dengan kehidupan yang terkurung. Aku
bahkan tak lagi resah berada di dalam dunia yang terbatas. Setidaknya, aku
masih punya ibu yang telah menjadi segala-galanya bagiku, yang telah berjuang
keras untuk membesarkan diriku, dan aku sepatutnya membalas kebaikannya itu
dengan mematuhi segala perintahnya.
Apa
yang baru kusadari dan kuikhlaskan belakangan ini, akhirnya membawaku pada
ujung cerita yang sungguh kusyukuri. Setelah berbulan-bulan mendampingi ibu menghadapi
komplikasi penyakit yang tak lagi tersanggupi para ahli di rumah sakit, ia pun
meninggal, ketika aku berada tepat di sampingnya. Dan kenyataan itu membuatku
merasa telah menjadi anak yang baik untuknya.
Namun
baru setelah ibu meninggal, aku akhirnya tahu alasan-alasan di balik tindakannya
membatasi kehidupanku. Hari ini, saat aku mengemas kamar yang telah ia
tinggalkan, aku pun menemukan sebuah buku tulis. Sebuah buku catatan harian.
Dan, dari lembaran-lembaran itulah, aku akhirnya tahu kalau aku terlahir dari
seorang ibu setelah menjadi korban pemerkosaan seorang lelaki, setelah seorang
teman perempuannya tega menjebaknya demi uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar