Kamis, 12 Maret 2020

Aku dan Ibu

Aku terpenjara sekian lama. Sejak kecil, aku tak bisa bermain sebebas anak-anak yang lain. Kini, di usia dewasa, aku pun tak bergaul sebebas pemuda-pemudi yang lain. Aku hanya berada di dalam rumah, kecuali ada hal-hal penting yang harus kulakukan di luar sana. Hingga akhirnya, aku jadi terbiasa mengurung diri dan harus menerima keterasingan.
 
Semua karena ibuku. Sejak dahulu, ia membatasi gerak-gerikku. Ia memaksaku menjauh dari orang-orang, dan ia pun melarang orang-orang untuk bergaul denganku. Hingga pernah sekali waktu, ketika aku masih kelas 2 SMP, ia menghardik aku, seorang teman lelakiku, dan seorang teman perempuanku, sebab kami pulang dari petualangan saat hari hampir malam.

Setelah peristiwa itu, aku berusaha membatasi pergaulanku demi menunaikan perintah ibu. Orang-orang terdekatku pun mulai menjauh setelah mereka memahami keadaanku. Sampai akhirnya, kini, ketika aku telah duduk di bangku kuliah, aku hanya mengenal banyak orang dan tak mengakrabi salah seorang pun di antara mereka. 

Atas ketertutupan hidupku, sesekali, aku mengajukan protes kepada ibu. Apalagi setelah dewasa, aku merasa punya hak untuk mengatur pergaulanku sendiri. Namun ibu tetap berkeras agar aku tidak bergaul dengan siapa pun. Ia pun tetap pada kesimpulannya, bahwa semua orang selain dirinya, selalu punya kecenderungan untuk menyakiti diriku.

”Kini, kau sudah dewasa. Kau harus bisa menjaga diri baik-baik,” katanya, enam bulan lalu, di tengah perdebatan kami tentang caranya mengatur kehidupanku. “Kau harus berhati-hati dengan orang-orang di sekitarmu. Tak usah berteman dan mengakrabi siapa pun.”

“Kenapa harus begitu? Aku bukan anak kecil lagi, Bu!” sergahku.

Ia lalu menoleh padaku dengan tatapan yang tenang. “Karena berteman dengan orang-orang, hanya akan membuka jalan bagi mereka untuk menghancurkan kehidupanmu,” katanya, tanpa mengurai alasan atas kesimpulannya itu. “Aku ingin kau baik-baik saja dan terbebas dari tipu daya orang-orang jahat.”

“Begitu terus yang Ibu bilang!” tanggapku, kesal. “Bukankah tidak semua orang jahat, Bu? Bukankah aku bisa menemukan orang baik untuk menjadi teman baikku?”

Ia pun menggeleng-geleng, lalu memalingkan wajah dariku. “Terlalu sulit untuk menemukan orang baik, Nak, sesulit membaca isi hati orang lain. Orang-orang yang tampak baik padamu, barangkali hanya penipu yang ingin menjermuskanmu ke dalam jurang kepedihan,” balasnya, kemudian menoleh padaku sejenak. “Lebih baik kau menjaga jarak dengan siapa pun, demi kebaikanmu juga.”

Aku pun mendengus pasrah atas kekerasan hatinya.

Ia lantas menghela-embuskan napas yang panjang, kemudian melontarkan penegasan yang lain, “Apalagi soal hubungan dengan lawan jenis. Kau harus berhati-hati. Kau tak boleh terperdaya dengan ucapan dan perlakuan laki-laki terhadap dirimu. Kau harus bisa meredam perasaanmu yang berbahaya,” katanya, dengan tatapan kosong ke arah jendela. “Lebih baik, kau jangan dekat-dekat dengan seorang lelaki, apalagi memiliki hubungan yang spesial dengan mereka.”

“Kenapa tidak boleh?” sergahku lagi, tak habis pikir. “Bukankah Ibu pernah juga dekat dengan lelaki? Bukankah Ibu memiliki hubungan yang spesial dengan Ayah? Kenapa aku tak boleh melakukan hal yang sama?”

Ia pun terdiam. Untuk beberapa saat, pikirannnya seperti menerawang ke masa lalu. “Karena aku yakin, tidak ada seorang lelaki pun yang benar-benar mencintai seorang perempuan. Semua lelaki hanya mencintai diri mereka sendiri. Mereka hanya mengatasnamakan cinta untuk memabukkan perempuan, untuk menaklukkan perempuan, demi memuaskan hasrat mereka sendiri!” jawabnya, dengan suara yang penuh penekanan.

Aku semakin bingung dengan pendapatnya. “Apakah begitu juga dengan almarhum Ayah? Apakah Ibu meragukan cinta Ayah kepada Ibu?”

Seketika, bibirnya terkatup rapat. Ia pun tampak semakin larut di dalam menungan. Hingga akhirnya, ia menuturkan balasan yang bukanlah jawaban, “Aku hanya ingin kau baik-baik saja.”

Aku pun tak berkata-kata lagi demi menyudahi perdebatan kami yang tak akan menemukan titik temu.

Akhirnya, sampai sekarang, aku tak tahu alasan ibu hingga menjadi sangat protektif terhadap diriku, bahkan cenderung posesif. Sebagaimana selalu, ia tak pernah menguraikan alasannya setiap kali aku berontak. Tetapi setelah kutimbang-timbang, aku pun menyimpulkan kalau ibu begitu takut kehilangan diriku setelah kehilangan ayahku yang mati dibunuh, sebagaimana ceritanya sendiri. Apalagi, ia memang tak punya siapa-siapa setelah kami berada jauh dari keluarga besar tak lama sepeninggal ayahku itu, saat aku masih di dalam kandungan.

Setelah waktu yang panjang, aku pun jadi terbiasa dengan kehidupan yang terkurung. Aku bahkan tak lagi resah berada di dalam dunia yang terbatas. Setidaknya, aku masih punya ibu yang telah menjadi segala-galanya bagiku, yang telah berjuang keras untuk membesarkan diriku, dan aku sepatutnya membalas kebaikannya itu dengan mematuhi segala perintahnya.

Apa yang baru kusadari dan kuikhlaskan belakangan ini, akhirnya membawaku pada ujung cerita yang sungguh kusyukuri. Setelah berbulan-bulan mendampingi ibu menghadapi komplikasi penyakit yang tak lagi tersanggupi para ahli di rumah sakit, ia pun meninggal, ketika aku berada tepat di sampingnya. Dan kenyataan itu membuatku merasa telah menjadi anak yang baik untuknya.

Namun baru setelah ibu meninggal, aku akhirnya tahu alasan-alasan di balik tindakannya membatasi kehidupanku. Hari ini, saat aku mengemas kamar yang telah ia tinggalkan, aku pun menemukan sebuah buku tulis. Sebuah buku catatan harian. Dan, dari lembaran-lembaran itulah, aku akhirnya tahu kalau aku terlahir dari seorang ibu setelah menjadi korban pemerkosaan seorang lelaki, setelah seorang teman perempuannya tega menjebaknya demi uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar