Setelah
mengecek pesan di telepon genggamnya, Rina bergegas keluar dari ruang kelas tanpa
menoleh kepada siapa-siapa. Sambil menunduk, langkahnya cepat-cepat menuju ke sisi
sudut lantai 6 gedung perkuliahan itu. Lekas setelah sampai, ia memencet tombol
B, kemudian menunggu pintu elevator terbuka dan membawanya ke tempat parkir. Ia
ingin segera menunggangi sepeda motornya dan pulang ke rumah secepat mungkin.
Namun
lintasan elevator harus memuncak dan mendasar di antara delapan lantai. Ia mesti
bersabar melewatkan detik demi detik selama proses bongkar-muat penumpang di lantai-lantai
yang lain. Ia harus menunggu dengan tenang, karena ia tak mungkin sanggup melintasi
anak-anak tangga, sebab ia enggan bertemu dengan teman-temannya, dan itu akan
sangat melelahkan baginya.
Beberapa
lama kemudian, dentingan pun terdengar. Perlahan-lahan, pintu elevator terbuka.
Sontak, ia merasa tenang karena tidak menemukan seorang pun di dalam. Maka
dengan cepat, ia melangkah masuk, kemudian memencet tombol penutup. Ia lantas
bersandar di sisi samping bilik, sembari mengatur alur napasnya yang
terengah-engah memikirkan ketakutannya sendiri.
Tetapi
dalam hitungan sepersekian detik, kedua sisi pintu yang nyaris berekatan, malah
kembali tersibak dan menunda pelariannya. Seketika juga, masuklah seorang
lelaki, Rino, teman sekelasnya beberapa saat lalu. Sontak saja, perasaan dan
pikirannya kembali berkecamuk. Tubuhnya menegap kaku dan kehilangan daya untuk
menahan pintu dan segera keluar, meski ia akhirnya sadar akan terasa ganjil jikalau
melakukan itu.
Akhirnya,
pintu benar-benar tertutup. Elevator pun bergerak menurun. Mau tak mau, ia harus
bersabar untuk menjalani beberapa detik keterjebakannya dengan Rino yang ia
rasa bagai terpenjara berabat-abad lamanya. Yang bisa ia lakukan hanya berdoa,
semoga perjalanannya terhenti di lantai mana pun juga, hingga ada penumpang
baru yang masuk dan membuyarkan kekakuan di antara mereka.
Tapi nyatanya,
di tengah debar jantungnya yang menderu, elevator tak juga terhenti. Pergerakannya
terus berlanjut dalam kecepatan yang ia rasa semakin melambat. Pergantian angka
pada indikator penunjuk lantai seolah tersendat. Akhirnya, ia pun menunduk dan
menutup mata, sembari berharap semoga keajaiban melarikannya secepat cahaya.
Entah bagaimana pun caranya, ia hanya ingin terpisah dengan seorang lelaki yang
berdiri tepat di samping kirinya.
Namun
jauh di luar kemungkinan yang bisa ia perkirakan, kemungkinan terburuk malah terjadi.
Cahaya dalam bilik elevator, tiba-tiba padam, serentak dengan pergerakan bilik yang terhenti,
seolah-olah kehilangan daya. Sontak, ia pun menjerit singkat, seperti sangat
ngeri. Namun ia lekas terpikir untuk bergegas mengambil langkah. Ia lalu menyalakan
sorot cahaya dari telepon genggamnya, kemudian memencet-mencet tombol pintu.
Namun usahanya itu tak berguna.
Sekejap
kemudian, Rino bergerak maju, lantas berusaha menyibak dua belahan pintu yang
saling merekat, seolah-olah ia punya kekuatan luar biasa untuk membuatnya
berhasil.
Atas
segala rupa perasaannya yang bercampur-aduk, Rina pun menggedor-gedor pintu,
sambil berteriak meminta tolong.
“Sepertinya,
kita harus menunggu. Orang-orang di luar sana pasti berusaha melakukan apa pun
untuk mengeluarkan kita dari sini,” tutur Rino.
Seolah
tak menggubris, Rina kembali menggedor-gedor pintu, sambil berseru-seru. Namun
sesaat kemudian, ia pun berhenti sendiri, seolah-olah sadar bahwa upaya itu tak
mungkin mempercepat kelolosannya, kecuali dengan tindakan sigap dari
orang-orang di luar elevator.
Akhirnya,
Rina pun berserah diri. Hanya duduk dan menangis.
“Bersabarlah!
Kita pasti akan baik-baik saja!” nasihat Rino.
Sambil
berusaha menenangkan diri, Rina pun sigap membuka daftar kontak di telepon
genggamnya. Ia hendak menghubungi orang-orang yang mungkin perlu mengetahui
keberadaan dan keadaan dirinya. Namun tiba-tiba, daya baterai telepon genggamnya
habis.
Mereka
pun kembali berada di dalam kegelapan dan keheningan. Hanya terdengar suara geletukan
dan desas-desus di sisi luar pintu.
“Maafkan
aku,” kata Rino kemudian, ketika mereka sama-sama menahan kata yang terhitung
lama untuk dua orang yang sama-sama terjebak dalam ruang yang sama.
Rina
bergeming.
“Maaf.
Aku berharap, kau bisa mengerti bahwa aku sama sekali tak ada niat untuk…,”
Rino terdiam untuk mencari kata-kata yang tepat. “Aku tak ada niat untuk
merendahkanmu.”
Rina
pun kembali melepaskan tangisnya, lebih kencang, seolah-olah apa yang telah
Rino lakukan kepadanya, lebih menyesakkan perasaannya ketimbang keterjebakannya
saat ini.
“Aku
harap…” Rino menelan ludah di tenggorokannya, seperti tak kuasa berucap. “Aku harap
kau menganggap itu bukan hal yang serius. Aku harap kau menganggapnya sebagai candaan
belaka.”
“Apa?
Jadi kau menganggap bahwa menghina fisik seorang perempuan adalah candaan?” sergah
Rina, sambil terisak-isak. “Jadi kau hanya bercanda ketika kau mengatakan
kepada orang-orang bahwa aku ini adalah perempuan yang jelek; bahwa aku ini
gembrot, pesek, hitam. Kau hanya bercanda?”
“Maafkan
aku, Rina,” mohon Rino lagi, dengan nada suara yang sendu, seolah penuh
penyesalan. “Aku harap kau mengerti bahwa aku tak ada maksud menuliskan
kata-kata semacam itu tentang dirimu. Aku hanya terlalu bodoh untuk merespons
percakapan teman-temanku di grup WA itu.”
“Oh,”
sergah Rina lagi. “Jadi kau menganggap boleh merendahkan rupa perempuan jika itu
dilakukan di dalam grup percakapan yang tertutup?”
Mulut
Rino pun tersekat.
“Untunglah
aku dapat screenshot dari percakapan
kalian itu. Setidaknya, aku tahu bahwa aku telah salah mengangumi seorang
lelaki sepertimu; bahwa cintaku yang buruk rupa ini, memang tak pantas untukmu
yang buruk hati,” sambung Rina, sambil terus menenangkan perasaannya yang telah
terluka oleh seorang lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta.
“Maafkan
aku, Rina,” pinta Rino untuk ke sekian kalinya, tanpa berusaha mencari alasan
pembenar lagi.
Rina
tak merespons dan hanya terus menumpahkan air matanya.
Tiba-tiba,
keadaan genting menyusul. Asap mulai menyelinap melalui celah pintu.
Rino
lalu mengurai baju kemejanya. “Asap sepertinya masuk ke sini,” katanya. “Ambillah
kemejaku ini!” Ia lalu menyodorkan kemeja itu ke arah suara Rina. “Asap sangat
berbahaya dalam keadaan seperti ini. Kau harus menyekap hidung dan mulutmu
dengan kain.”
“Tak
usah pedulikan aku!” balas Rina, membentak.
“Aku
tahu, ini tak ada artinya untuk mengikis kesalahanku padamu. Tapi aku mohon,
ambillah, demi hidupmu sendiri!” bujuk Rino.
“Tak
usah pedulikan hidupku yang penuh kehinaan ini! Pedulikan saja hidupmu yang
membanggakan itu!” bentak Rina, lalu menepis sodoran Rino.
Akhirnya,
Rino menyerah.
Detik
demi detik, bau asap pun semakin menyengat dan menyesakkan.
Di
tengah kegelapan, Rina dan Rino berjuang menyambung napas.
Tiba-tiba,
terdengar suara geletukan dari sisi Rina.
“Hai,
Rina, kau tak apa-apa?” tanya Rino.
Rina
tak menjawab.
Rino
lalu menerka-nerka keberadaan Rina, lantas mendapatinya tengah terbaring. Lekas
ia mengibas-ngibaskan kemeja miliknya di atas sisi badan Rina, kemudian menyelubungi
sisi kepalanya dengan kemeja itu.
Dan pada sisi lain, Rino sendiri berjuang setengah
mati mempertahankan napas dari hidung dan mulutnya dengan sumpalan sisi bawah baju
kaos oblongnya.
Namun
akhirnya, di ujung harapan, tiba-tiba, lampu elevator kembali menyala.
Rino
pun bangkit dan lekas memencet tombol pembuka pintu.
Lalu,
secepat mungkin, dengan daya yang tersisa, Rino lantas menggotong Rina keluar dari
bilik elevator, menerobos asap yang pekat, menuju ke teras gedung, demi mendapat
pertolongan sesegera mungkin.
Sampai
akhirnya, orang-orang menyambut mereka dengan penuh keharuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar