Kamis, 19 Maret 2020

Luka Sempurna

Setelah mengecek pesan di telepon genggamnya, Rina bergegas keluar dari ruang kelas tanpa menoleh kepada siapa-siapa. Sambil menunduk, langkahnya cepat-cepat menuju ke sisi sudut lantai 6 gedung perkuliahan itu. Lekas setelah sampai, ia memencet tombol B, kemudian menunggu pintu elevator terbuka dan membawanya ke tempat parkir. Ia ingin segera menunggangi sepeda motornya dan pulang ke rumah secepat mungkin.
 
Namun lintasan elevator harus memuncak dan mendasar di antara delapan lantai. Ia mesti bersabar melewatkan detik demi detik selama proses bongkar-muat penumpang di lantai-lantai yang lain. Ia harus menunggu dengan tenang, karena ia tak mungkin sanggup melintasi anak-anak tangga, sebab ia enggan bertemu dengan teman-temannya, dan itu akan sangat melelahkan baginya.

Beberapa lama kemudian, dentingan pun terdengar. Perlahan-lahan, pintu elevator terbuka. Sontak, ia merasa tenang karena tidak menemukan seorang pun di dalam. Maka dengan cepat, ia melangkah masuk, kemudian memencet tombol penutup. Ia lantas bersandar di sisi samping bilik, sembari mengatur alur napasnya yang terengah-engah memikirkan ketakutannya sendiri.

Tetapi dalam hitungan sepersekian detik, kedua sisi pintu yang nyaris berekatan, malah kembali tersibak dan menunda pelariannya. Seketika juga, masuklah seorang lelaki, Rino, teman sekelasnya beberapa saat lalu. Sontak saja, perasaan dan pikirannya kembali berkecamuk. Tubuhnya menegap kaku dan kehilangan daya untuk menahan pintu dan segera keluar, meski ia akhirnya sadar akan terasa ganjil jikalau melakukan itu.

Akhirnya, pintu benar-benar tertutup. Elevator pun bergerak menurun. Mau tak mau, ia harus bersabar untuk menjalani beberapa detik keterjebakannya dengan Rino yang ia rasa bagai terpenjara berabat-abad lamanya. Yang bisa ia lakukan hanya berdoa, semoga perjalanannya terhenti di lantai mana pun juga, hingga ada penumpang baru yang masuk dan membuyarkan kekakuan di antara mereka. 

Tapi nyatanya, di tengah debar jantungnya yang menderu, elevator tak juga terhenti. Pergerakannya terus berlanjut dalam kecepatan yang ia rasa semakin melambat. Pergantian angka pada indikator penunjuk lantai seolah tersendat. Akhirnya, ia pun menunduk dan menutup mata, sembari berharap semoga keajaiban melarikannya secepat cahaya. Entah bagaimana pun caranya, ia hanya ingin terpisah dengan seorang lelaki yang berdiri tepat di samping kirinya.

Namun jauh di luar kemungkinan yang bisa ia perkirakan, kemungkinan terburuk malah terjadi. Cahaya dalam bilik elevator, tiba-tiba padam, serentak dengan pergerakan bilik yang terhenti, seolah-olah kehilangan daya. Sontak, ia pun menjerit singkat, seperti sangat ngeri. Namun ia lekas terpikir untuk bergegas mengambil langkah. Ia lalu menyalakan sorot cahaya dari telepon genggamnya, kemudian memencet-mencet tombol pintu. Namun usahanya itu tak berguna.

Sekejap kemudian, Rino bergerak maju, lantas berusaha menyibak dua belahan pintu yang saling merekat, seolah-olah ia punya kekuatan luar biasa untuk membuatnya berhasil.

Atas segala rupa perasaannya yang bercampur-aduk, Rina pun menggedor-gedor pintu, sambil berteriak meminta tolong.

“Sepertinya, kita harus menunggu. Orang-orang di luar sana pasti berusaha melakukan apa pun untuk mengeluarkan kita dari sini,” tutur Rino. 

Seolah tak menggubris, Rina kembali menggedor-gedor pintu, sambil berseru-seru. Namun sesaat kemudian, ia pun berhenti sendiri, seolah-olah sadar bahwa upaya itu tak mungkin mempercepat kelolosannya, kecuali dengan tindakan sigap dari orang-orang di luar elevator. 

Akhirnya, Rina pun berserah diri. Hanya duduk dan menangis.

“Bersabarlah! Kita pasti akan baik-baik saja!” nasihat Rino.

Sambil berusaha menenangkan diri, Rina pun sigap membuka daftar kontak di telepon genggamnya. Ia hendak menghubungi orang-orang yang mungkin perlu mengetahui keberadaan dan keadaan dirinya. Namun tiba-tiba, daya baterai telepon genggamnya habis.

Mereka pun kembali berada di dalam kegelapan dan keheningan. Hanya terdengar suara geletukan dan desas-desus di sisi luar pintu.

“Maafkan aku,” kata Rino kemudian, ketika mereka sama-sama menahan kata yang terhitung lama untuk dua orang yang sama-sama terjebak dalam ruang yang sama.

Rina bergeming.

“Maaf. Aku berharap, kau bisa mengerti bahwa aku sama sekali tak ada niat untuk…,” Rino terdiam untuk mencari kata-kata yang tepat. “Aku tak ada niat untuk merendahkanmu.”

Rina pun kembali melepaskan tangisnya, lebih kencang, seolah-olah apa yang telah Rino lakukan kepadanya, lebih menyesakkan perasaannya ketimbang keterjebakannya saat ini.

“Aku harap…” Rino menelan ludah di tenggorokannya, seperti tak kuasa berucap. “Aku harap kau menganggap itu bukan hal yang serius. Aku harap kau menganggapnya sebagai candaan belaka.”

“Apa? Jadi kau menganggap bahwa menghina fisik seorang perempuan adalah candaan?” sergah Rina, sambil terisak-isak. “Jadi kau hanya bercanda ketika kau mengatakan kepada orang-orang bahwa aku ini adalah perempuan yang jelek; bahwa aku ini gembrot, pesek, hitam. Kau hanya bercanda?”

“Maafkan aku, Rina,” mohon Rino lagi, dengan nada suara yang sendu, seolah penuh penyesalan. “Aku harap kau mengerti bahwa aku tak ada maksud menuliskan kata-kata semacam itu tentang dirimu. Aku hanya terlalu bodoh untuk merespons percakapan teman-temanku di grup WA itu.”

“Oh,” sergah Rina lagi. “Jadi kau menganggap boleh merendahkan rupa perempuan jika itu dilakukan di dalam grup percakapan yang tertutup?”

Mulut Rino pun tersekat.

“Untunglah aku dapat screenshot dari percakapan kalian itu. Setidaknya, aku tahu bahwa aku telah salah mengangumi seorang lelaki sepertimu; bahwa cintaku yang buruk rupa ini, memang tak pantas untukmu yang buruk hati,” sambung Rina, sambil terus menenangkan perasaannya yang telah terluka oleh seorang lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta.

“Maafkan aku, Rina,” pinta Rino untuk ke sekian kalinya, tanpa berusaha mencari alasan pembenar lagi.

Rina tak merespons dan hanya terus menumpahkan air matanya.

Tiba-tiba, keadaan genting menyusul. Asap mulai menyelinap melalui celah pintu.

Rino lalu mengurai baju kemejanya. “Asap sepertinya masuk ke sini,” katanya. “Ambillah kemejaku ini!” Ia lalu menyodorkan kemeja itu ke arah suara Rina. “Asap sangat berbahaya dalam keadaan seperti ini. Kau harus menyekap hidung dan mulutmu dengan kain.”

“Tak usah pedulikan aku!” balas Rina, membentak.

“Aku tahu, ini tak ada artinya untuk mengikis kesalahanku padamu. Tapi aku mohon, ambillah, demi hidupmu sendiri!” bujuk Rino.

“Tak usah pedulikan hidupku yang penuh kehinaan ini! Pedulikan saja hidupmu yang membanggakan itu!” bentak Rina, lalu menepis sodoran Rino.

Akhirnya, Rino menyerah.

Detik demi detik, bau asap pun semakin menyengat dan menyesakkan.

Di tengah kegelapan, Rina dan Rino berjuang menyambung napas.

Tiba-tiba, terdengar suara geletukan dari sisi Rina.

“Hai, Rina, kau tak apa-apa?” tanya Rino.

Rina tak menjawab.

Rino lalu menerka-nerka keberadaan Rina, lantas mendapatinya tengah terbaring. Lekas ia mengibas-ngibaskan kemeja miliknya di atas sisi badan Rina, kemudian menyelubungi sisi kepalanya dengan kemeja itu.

Dan  pada sisi lain, Rino sendiri berjuang setengah mati mempertahankan napas dari hidung dan mulutnya dengan sumpalan sisi bawah baju kaos oblongnya.

Namun akhirnya, di ujung harapan, tiba-tiba, lampu elevator kembali menyala.

Rino pun bangkit dan lekas memencet tombol pembuka pintu. 

Lalu, secepat mungkin, dengan daya yang tersisa, Rino lantas menggotong Rina keluar dari bilik elevator, menerobos asap yang pekat, menuju ke teras gedung, demi mendapat pertolongan sesegera mungkin.

Sampai akhirnya, orang-orang menyambut mereka dengan penuh keharuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar