Setelah
lima hari berlalu, kesedihan Nora belum juga tandas. Ia masih teringat pada almarhum
suaminya yang meninggal secara tiba-tiba setelah taksi yang ia tumpangi tertabrak
truk di tengah perjalanan. Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia harus
hidup tanpa kehadiran seorang lelaki yang begitu setia mendampinginya menjalani
kehidupan yang keras selama ini.
“Aku
berangkat ya, Bu,” kata sang suami sebelum beranjak ke luar kota di sore hari yang
nahas itu, beberapa menit saja sebelum ia meninggal. Ada urusan kantor yang
harus diselesaikan di sana, katanya.
Nora
mengangguk takzim, sambil menyodorkan sekantong bekal makanan yang ia minta
dengan sangat untuk dibawa oleh sang suami. “Bapak hati-hati, ya!” pinta Nora,
setelah mencium punggung tangan sang suami.
Sontak,
sang suami pun tersenyum, lantas mengecup dahi Nora, kemudian menatapnya dengan
hangat. “Ah, bagaimana aku bisa betah di luar kota jika tak bisa memandang wajah
cantik Ibu?”
Nora
pun tersipu, seolah-olah itu adalah kali pertama ia mendengar pujian dari sang
suami.
Kata-kata
manis semacam itu memang sudah jarang terdengar di usia mereka yang hampir setengah
abad, namun bukan berarti ada kerenggangan hubungan di antara mereka. Hanya saja,
mereka memahami kalau kata-kata cinta sudah tak ada harganya dibanding laku
saling peduli yang mereka lakoni sepanjang waktu.
“Berangkatlah,
Pak. Nanti malah ketinggalan pesawat kalau lama-lama,” kata Nora, sambil
mengulum senyuman senangnya.
Sang
suami pun mengangguk, sambil tersenyum. Ia lantas berpaling menuju pada sebuah
taksi yang kemudian membawanya menuju ke bandara.
Namun
tanpa firasat apa-apa, pada sore itulah, Nora mendengar pujian manis yang
terakhir kalinya dari sang suami.
Nora
benar-benar berduka atas kepergian seseorang yang sangat ia cintai. Sosok cinta
pertama baginya, yang ia pastikan sebagai cinta terakhirnya pula, sebab sang
suami adalah lelaki pertama yang membuatnya memahami cinta, dan ia yakin tak
akan menemukan cinta pada lelaki yang lain. Meskipun sebaliknya, ia sendiri bukanlah
cinta pertama bagi sang suami. Dari mulut orang-orang, ia pun tahu, bahwa suaminya
pernah memadu kasih dengan beberapa perempuan yang lain di masa mudanya.
Tetapi
bagi Nora, masa lalu adalah urusan masing-masing orang. Begitu pun dengan
suaminya. Karena itu, ia tak mau mencari tahu dan mempermasalahkan tentang perjalanan
cinta sang suami di masa lalu. Yang pasti, cinta sejati baginya hanya ada dalam
tali pernikahan, dan sang suami telah memilih untuk menikahinya. Malah,
kenyataan itu kadang-kadang membuatnya merasa spesial, bahwa ia adalah wanita
pilihan di antara wanita-wanita yang mungkin dipilih oleh sang suami sebagai
istri.
Pujian
terakhir sang suami pun telah mengukuhkan anggapannya. Ia semakin yakin bahwa
ia adalah wanita yang merajai hati sang suami, sampai di akhir hayatnya. Kenyataan
itu juga berhasil menepis prasangka buruknya bahwa perasaan sang suami
menyeleweng kepada perempuan yang lain. Hingga apa yang ia takutkan tentang
penggalan nama yang pernah diigaukan sang suami di tengah lelapnya ketika
mereka tengah tidur bersama, kini ia anggap sebagai kesesatan semata.
Atas
keyakinannya tentang keutuhan cinta sang suami kepadanya, dengan tanpa
ragu-ragu, ia pun terdorong untuk menyibak isi hati dan pikiran mendiang. Ia
berhasrat untuk mengetahui tentang rahasia cinta sang suami demi melenyapkan
benih keraguan di dalam hatinya sendiri. Ia berhasrat mengulas memori sang
suami yang telah tersimpan di dalam memori sebuah telepon genggam yang
menyertai hidupnya sebelum meninggal. Ia berhasrat untuk mencandui kesan-kesan dari
itu semua.
Dan
akhirnya, ia pun mengambil ponsel sang suami yang tersimpan di dalam laci
lemari, di samping kasur, semenjak hari berkabung itu. Ia lantas mengetik
kombinasi huruf nama sang suami di layar sebagai kata kunci, namun tidak
berhasil. Ia lantas mengetik kombinasi huruf namanya sendiri, namun tidak berhasil
juga. Ia lantas mencoba dengan kombinasi huruf nama kedua anak mereka, namun
keduanya gagal pula.
Dalam
beberapa saat, ia pun berusaha memikirkan kemungkinan-kemungkinan di tengah
sisa percobaan yang ia miliki, sebab ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk
mengetahui ungkapan rahasia sang suami terhadapnya. Sampai akhirnya, setelah
beberapa percobaan yang kembali gagal dan menyesakkan perasaannya, dengan niat
setengah tega, ia pun mengetik empat huruf yang menyusun ejaan sebuah nama yang
pernah diigaukan sang suami di tengah lelapnya: M-I-R-A
Lalu,
dalam sepersekian detik, kunci layar pun tersingkap. Dan tanpa kehendaknya, seketika,
layar pun menampakkan sebuah utas pesan singkat di antara sang suami dengan
sang pemilik nama kata kunci telepon genggam itu, beberapa menit sebelum
kecelakaan tragis terjadi:
…
Ah, bagaimana aku bisa betah berada
di kota ini jika tak bisa memandang wajah cantikmu?
Aku tak sabar menunggumu, sayang!
Perasaan
Nora pun tersentak setengah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar