Kamis, 05 Maret 2020

Pujian Terakhir

Setelah lima hari berlalu, kesedihan Nora belum juga tandas. Ia masih teringat pada almarhum suaminya yang meninggal secara tiba-tiba setelah taksi yang ia tumpangi tertabrak truk di tengah perjalanan. Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia harus hidup tanpa kehadiran seorang lelaki yang begitu setia mendampinginya menjalani kehidupan yang keras selama ini.
 
“Aku berangkat ya, Bu,” kata sang suami sebelum beranjak ke luar kota di sore hari yang nahas itu, beberapa menit saja sebelum ia meninggal. Ada urusan kantor yang harus diselesaikan di sana, katanya.

Nora mengangguk takzim, sambil menyodorkan sekantong bekal makanan yang ia minta dengan sangat untuk dibawa oleh sang suami. “Bapak hati-hati, ya!” pinta Nora, setelah mencium punggung tangan sang suami.

Sontak, sang suami pun tersenyum, lantas mengecup dahi Nora, kemudian menatapnya dengan hangat. “Ah, bagaimana aku bisa betah di luar kota jika tak bisa memandang wajah cantik Ibu?”

Nora pun tersipu, seolah-olah itu adalah kali pertama ia mendengar pujian dari sang suami.

Kata-kata manis semacam itu memang sudah jarang terdengar di usia mereka yang hampir setengah abad, namun bukan berarti ada kerenggangan hubungan di antara mereka. Hanya saja, mereka memahami kalau kata-kata cinta sudah tak ada harganya dibanding laku saling peduli yang mereka lakoni sepanjang waktu.

“Berangkatlah, Pak. Nanti malah ketinggalan pesawat kalau lama-lama,” kata Nora, sambil mengulum senyuman senangnya.

Sang suami pun mengangguk, sambil tersenyum. Ia lantas berpaling menuju pada sebuah taksi yang kemudian membawanya menuju ke bandara.

Namun tanpa firasat apa-apa, pada sore itulah, Nora mendengar pujian manis yang terakhir kalinya dari sang suami.

Nora benar-benar berduka atas kepergian seseorang yang sangat ia cintai. Sosok cinta pertama baginya, yang ia pastikan sebagai cinta terakhirnya pula, sebab sang suami adalah lelaki pertama yang membuatnya memahami cinta, dan ia yakin tak akan menemukan cinta pada lelaki yang lain. Meskipun sebaliknya, ia sendiri bukanlah cinta pertama bagi sang suami. Dari mulut orang-orang, ia pun tahu, bahwa suaminya pernah memadu kasih dengan beberapa perempuan yang lain di masa mudanya.

Tetapi bagi Nora, masa lalu adalah urusan masing-masing orang. Begitu pun dengan suaminya. Karena itu, ia tak mau mencari tahu dan mempermasalahkan tentang perjalanan cinta sang suami di masa lalu. Yang pasti, cinta sejati baginya hanya ada dalam tali pernikahan, dan sang suami telah memilih untuk menikahinya. Malah, kenyataan itu kadang-kadang membuatnya merasa spesial, bahwa ia adalah wanita pilihan di antara wanita-wanita yang mungkin dipilih oleh sang suami sebagai istri.

Pujian terakhir sang suami pun telah mengukuhkan anggapannya. Ia semakin yakin bahwa ia adalah wanita yang merajai hati sang suami, sampai di akhir hayatnya. Kenyataan itu juga berhasil menepis prasangka buruknya bahwa perasaan sang suami menyeleweng kepada perempuan yang lain. Hingga apa yang ia takutkan tentang penggalan nama yang pernah diigaukan sang suami di tengah lelapnya ketika mereka tengah tidur bersama, kini ia anggap sebagai kesesatan semata.

Atas keyakinannya tentang keutuhan cinta sang suami kepadanya, dengan tanpa ragu-ragu, ia pun terdorong untuk menyibak isi hati dan pikiran mendiang. Ia berhasrat untuk mengetahui tentang rahasia cinta sang suami demi melenyapkan benih keraguan di dalam hatinya sendiri. Ia berhasrat mengulas memori sang suami yang telah tersimpan di dalam memori sebuah telepon genggam yang menyertai hidupnya sebelum meninggal. Ia berhasrat untuk mencandui kesan-kesan dari itu semua.

Dan akhirnya, ia pun mengambil ponsel sang suami yang tersimpan di dalam laci lemari, di samping kasur, semenjak hari berkabung itu. Ia lantas mengetik kombinasi huruf nama sang suami di layar sebagai kata kunci, namun tidak berhasil. Ia lantas mengetik kombinasi huruf namanya sendiri, namun tidak berhasil juga. Ia lantas mencoba dengan kombinasi huruf nama kedua anak mereka, namun keduanya gagal pula.

Dalam beberapa saat, ia pun berusaha memikirkan kemungkinan-kemungkinan di tengah sisa percobaan yang ia miliki, sebab ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk mengetahui ungkapan rahasia sang suami terhadapnya. Sampai akhirnya, setelah beberapa percobaan yang kembali gagal dan menyesakkan perasaannya, dengan niat setengah tega, ia pun mengetik empat huruf yang menyusun ejaan sebuah nama yang pernah diigaukan sang suami di tengah lelapnya: M-I-R-A

Lalu, dalam sepersekian detik, kunci layar pun tersingkap. Dan tanpa kehendaknya, seketika, layar pun menampakkan sebuah utas pesan singkat di antara sang suami dengan sang pemilik nama kata kunci telepon genggam itu, beberapa menit sebelum kecelakaan tragis terjadi: 


Ah, bagaimana aku bisa betah berada di kota ini jika tak bisa memandang  wajah cantikmu?

Aku tak sabar menunggumu, sayang!


Perasaan Nora pun tersentak setengah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar