Setelah
seorang perempuan berambut poni, gadis harapanku, pergi entah ke mana, aku jadi
terpasung dalam kehidupan yang semu. Aku betah hidup di dalam dunia imajinasi dan
merasa cukup dengan kehidupan khayali. Aku tak peduli lagi pada segenap kemungkinan
untuk kembali menyatakan perasaanku pada yang lain, dan aku merasa cukup begini
saja.
Lambat-laun,
aku pun kebal dari siksaan sepi. Aku jadi terbiasa menyendiri di kamar sunyiku tanpa
berhasrat untuk mencari seorang teman. Aku terus saja berkutat dengan
huruf-huruf demi mengukir harapanku yang tinggal kenangan. Sampai akhirnya, aku
jatuh hati pada seorang gadis berkacamata yang seketika saja menjadi harapan
baruku.
Dan
pagi ini, aku kembali melakukan kebiasaan terselubung seperti kemarin-kemarin.
Aku kembali menerawang di balik kaca jendela, sembari berharap si gadis
berkacamata melintas di depan rumahku. Pasalnya, aku merasa haus fantasi, dan
aku perlu melihat penampakan barunya untuk membangkitkan imajinasiku.
Sudah
seminggu berlalu sejak pertama kali aku melihatnya. Namun seiring waktu, aku malah semakin berhasrat menatapnya
lagi, dan lagi. Kurasa, cuma dengan menatapnya, aku bisa melanjutkan serangkaian
cerita gubahanku yang sedang tersesat di tengah alur, tentang aku yang jatuh
hati padanya secara diam-diam.
Aku
tahu, Koki, bentuk perasaanmu sama dengan bentuk perasaanku. Sebelum seminggu
yang lalu, pada hari yang sama dengan hari kedukaanku, kau pun turut berputus
asa atas dambaan hatimu, Kiki. Hingga, setiap kali aku menanti kehadiran gadis
berkacamata di balik jendela, kau akan duduk di kusen dan turut menatap ke
jalan bawah sana.
Belakangan
ini, atas luka hatimu, aku melihat jelas bahwa kau tak lagi sesemangat saat kau masih melalui
hari-hari bersama Kiki di jalan lorong. Kau tak lagi terdengar mengeong
keras seperti kala pejantan dari sebangsamu mencoba menggoda betina pujaanmu itu,
atau ketika hasrat cintamu sedang menggebu-gebu terhadapnya. Entahlah.
Yang
pasti, untuk hari kedelapan ini, kita adalah dua sosok yang kehilangan gairah hidup
setelah ditinggal pergi pujaan hati masing masing. Sampai akhirnya, kita tak
lagi berbagi keceriaan dengan saling mengusap seperti dahulu, kala aku
merasa senang mendapatkan senyuman dari si gadis berponi, dan kau pun senang telah puas
bermain bersama Kiki.
Namun
hari ini, doaku kembali terkabul saat kau belum juga menemukan betina barumu di antara banyak betina yang hidup liar. Di bawah terpaan sinar matahari
pagi yang lembut, si gadis berkacamata tampak lagi di pangkal lorong. Langkahnya
pelan sambil memandang ke depan dengan sikap biasa, dan aku sungguh terkesima.
Tetapi sesaat
kemudian, langkahnya terhenti saat ia hampir berada di depan rumahku. Lambat-lambat,
ia pun melangkah ke jejeran bunga di samping jalan. Tanpa kuduga, kau yang
kukira pergi untuk mencari pujaan hati yang baru, telah berada di dalam
pelukannya dengan sikap manja. Kau tampak menikmati usapan tangannya, dan kau berhasil
membuatku cemburu.
Lalu
tiba-tiba saja, hujan turun di bawah langit yang cerah. Ia pun bergegas
berteduh di bawah teritis rumah indekos yang tepat berada di depan rumahku,
sembari membawamu juga. Ia lantas mendudukkanmu di sampingnya, di atas sebuah
bangku, sambil mengelus-elus sekujur tubuhmu dengan penuh perhatian.
Di
tengah perasaan yang penuh pengharapan, aku pun berkhayal menjadi dirimu, sementara mataku terus memerhatikan dirinya di balik bulir-bulir hujan. Perlahan, berkas-berkas
wajahnya pun tersusun di dalam benakku secara utuh. Aku pun merasa semakin terpikat, dan semangatku jadi bergelora untuk melanjutkan kisah khayalanku
tentang kami.
Sesaat
kemudian, hujan pun reda, dan aku merasa sangat beruntung telah mengamatinya
dalam waktu yang cukup. Aku telah berhasil merancang alur cerita yang utuh
tentang kami. Aku berencana mengakhirinya dengan adegan yang mengesankan, kemudian
beralih pada cerita-cerita selanjutnya.
Namun
akhirnya, imajiku hancur-lebur. Seorang lelaki datang menjemputnya dengan sikap
yang mencurigakan, dan ia tampak menyambut dengan senang hati. Mereka saling
bercakap beberapa waktu dengan begitu akrab, lantas masuk ke dalam kabin depan
mobil dan menghilang di tengah perasaanku yang berkecamuk.
Akhirnya,
aku kembali duduk di belakang meja. Aku kemudian merangkai cerita kami dengan
penuh kegetiran. Tanpa ragu, aku lantas menuliskan akhir cerita yang sebaliknya
dari yang kurencanakan sebelumnya. Tanpa pikir panjang, aku lalu menuliskan bahwa
aku tak pernah jatuh hati dan tak pernah berharap padanya.
Berselang
beberapa saat, kau kembali masuk ke dalam kamarku. Kau lantas melompat ke atas
meja, lalu menatapku dengan penuh keprihatinan, seolah-olah kau pun merasakan
keputusasaanku saat ini.
Akhirnya,
pikiranku kembali pada peristiwa delapan hari yang lalu, saat Kiki pergi
meninggalkanmu setelah seorang perempuan yang telah membuatku jatuh hati, membawanya
ke sisi dunia yang lain.
“Kiki!
Kemari! Kita harus pergi sekarang!” seru sang pujaanku, sang gadis berponi, di
hari itu, saat Kiki, kucing kesayangannya, terpikat oleh pesonamu.
Aku
pun jadi kelimpungan.
Sang
gadis pujaanku akhirnya menghampiri kalian berdua, lantas merenggut Kiki
darimu.
Demi
harga diri, aku pun segera menjemputmu.
Tiba-tiba,
ia bertanya, “Namanya siapa?”
Aku
pun gelagapan. “Kiko!” jawabku, berusaha menyama-nyamakan nama kalian, dan kau
pun memiliki sebuah nama.
“Kebetulan
sekali, nama keduanya serasi,” katanya, sambil tersenyum.
Aku
hanya tersenyum mendengkus.
“Sepertinya,
kucing kita sama-sama merasa berat untuk berpisah.”
Aku
pun berusaha bertutur dengan sekuat hati, “Sepertinya mereka saling jatuh
hati.”
Ia
kembali tersenyum, lantas bergegas mengemas barang-barangnya ke atas mobil.
Dalam sekejap, ia pun pergi entah ke mana setelah sebulan lebih tinggal di rumah
indekos yang berada tepat di depan rumahku. Ia pergi bersama Kiki, meninggalkan
aku bersamamu.
Akhirnya,
saat ini, dengan hati yang terpuruk lagi, aku kembali memandang jalan bawah
sana sambil berharap ada seseorang yang kembali mengalihkan harapanku dari
gadis berponi, juga dari gadis berkacamata.
Aku
ingin harapan yang baru untuk kembali berkisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar