Dia
masih saja merenung di teras depan rumahnya seorang diri. Matanya kembali
terpaku pada jejeran bunga yang tak lagi ia rawat semanja dahulu, atau pada api
yang melahap dadaunan dan sesampahan. Sedang pada saat yang sama, pikirannya
malah tertuju pada beragam momentum di masa lalu, di kala ia masih bersama seseorang
yang ia cintai dan seseorang yang mencintainya.
Takdir
memang telah membawa ia pada kenyataan yang mengenaskan. Seminggu yang lalu, seorang
lelaki yang hadir untuk menemani hidupnya, juga seseorang lelaki yang
senantiasa mengisi relung hatinya, telah beralih ke dunia yang lain. Sajak saat
itu, semangat hidupnya pun menghilang, meski orang-orang terdekat telah berusaha
menghiburnya silih berganti.
Namun
sesungguhnya, di luar dari terkaan orang-orang, kesedihan hatinya yang mendalam
bukanlah karena ia kehilangan orang terkasih, tetapi karena ia merasa bersalah
kepada mendiang suaminya. Selama hidup bersama sang suami, ia merasa tak bisa
dan tak pernah meluruhkan cintanya setulus hati, dan ia mempersalahkan dirinya
atas kenyataan itu.
Semua
berawal dari tiga tahun silam, ketika keinginan yang ia doakan berbeda dari
kenyataan yang terjadi. Kala itu, di tengah waktu yang terus bergulir, ia tak kunjung
juga mendapatkan penegasan cinta dari seorang lelaki yang ia harapkan. Sampai
akhirnya, seorang lelaki yang kelak menjadi suaminya berhasil merenggut
harapannya yang menggantung.
Sejak
saat itu, setelah menikah, ia merasa berselingkuh dari sang suami. Ia merasa telah
mengkhianati sang suami yang tampak tulus menyayanginya hari demi hari. Meski
ia berhasil menyembunyikan penyelewengan hatinya, namun ia tetap tak bisa lepas
dari dosa-dosa hatinya yang tak terucap, dan ia merasa tersandera karena itu.
Kini,
setelah kenyataan membuatnya harus menyimpan rahasia hatinya sendiri, ia pun semakin
terpuruk. Sembari merenungi pengkhianatan hatinya sepanjang waktu, ia pun
kembali mengusap-usap karangan bunga bervas keramik yang merupakan pemberian sang
suami kala mereka mengikrarkan cinta untuk pertama kalinya. Sebuah benda yang telah menjadi memorial pernikahan
mereka selama ini.
Di
tengah perasan yang bergelora, ia lantas mencabut serangkaian bunga dari dalam vas.
Ia lalu membalik vas dan menarik selembaran kertas dari dalamnya. Dengan rasa
yang berkecamuk, ia pun kembali membaca surat dari sang lelaki pujaan hatinya
di masa lalu. Sebuah surat yang datang dari pulau seberang, sehari setelah hari
pernikahannya.
Seketika,
perasaannya kembali pilu mengeja kata-kata pengakuan dari sang pujaan yang
belakangan hari ia tahu punya perasaan yang sama terhadap dirinya. Seperti
kemarin-kemarin, hatinya pun kembali terenyuh saat membaca pesan inti dari serangkaian
paragraf yang tertulis:
…
Aku tahu semuanya sudah terlambat.
Aku tahu kau akan menikah dengannya. Namun sebelum itu terjadi, aku hanya ingin
kau tahu bahwa aku mencintaimu. Setidaknya, kau tahu.
Besok-besok, setelah kau menerima
surat ini, aku mohon, kirimkanlah balasan untukku. Katakanlah bentuk perasaanmu
kepadaku. Setidaknya, aku tahu.
…
Tiba-tiba,
air matanya berderai lagi untuk sebuah surat yang tak pernah ia balas sampai
saat ini.
Perlahan-lahan,
renungannya pun kembali ke masa lalu, dan terhenti di satu momentum yang
menjadi awal cinta segitiganya. Di saat itu, sang lelaki pujaan yang telah
menjadi teman baiknya di awal kuliah, memperkenalkannya dengan seorang lelaki
lain yang kelak menjadi suaminya.
Dan
lagi-lagi, memorinya kembali mengulang penggalan percakapan yang mengakhiri harapan
cintanya terhadap sang pujaan dan memulai kenyataan cintanya terhadap sang
suami.
“Apa
hubungan kalian…?” tanya seorang lelaki yang kelak menjadi suaminya, tanpa
kuasa melugaskan maksud.
Lelaki
pujaan hatinya pun menggeleng-gelengkan kepala, kemudian bertutur dengan raut yang
penuh keyakinan, “Kami hanya teman biasa. Tidak lebih.”
Sejak
saat itu, ia pun berusaha meredam perasaan cintanya terhadap sang lelaki
pujaan. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa hubungan mereka tak akan
beranjak ke tingkat yang lebih dari hubungan pertemanan. Sampai akhirnya, ia memasrahkan
diri untuk menerima pinangan sang suami di saat sang lelaki pujaan berada di
pulau seberang untuk melanjutkan studinya, tanpa pernah berbagi kabar.
Dan
akhirnya, seminggu yang lalu, terjadilah satu peristiwa yang membuat kenyataan
dan harapannya atas cinta, lenyap secara bersamaan: sang suami dan sang lelaki
pujaan meninggal di dalam sebuah kamar hotel dengan luka tikaman di tubuh
mereka masing-masing.
Tepat
di hari kejadian itu, ia pun mendapati telepon genggamnya telah berpindah
tempat. Ia lantas menemukan sebuah pesan yang telah terbuka di layar utama.
Sebuah pesan dari nomor kontak yang tak anak pernah ia lupakan:
Kau di mana? Aku di kotamu saat ini.
Aku merindukanmu! Boleh kita berjumpa?
Kini,
dengan perasaan yang berkecamuk, ia pun melangkah menuju kobaran api yang
tengah melahap dedaunan dan sesampahan di depan teras rumahnya. Dengan sekuat
hati, ia pun melayangkan sevas rangkaian bunga dari sang suami ke dalam api,
hingga akhirnya benda itu lenyap bersama selembar surat cinta dari sang pujaan
hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar