“Ini
siapa, Ayah?” tanyamu lagi, khas kanak-kanak, saat aku kembali membuka album
foto masa silamku.
Aku
pun merangkulmu, lantas menunjuk wajah perempuan yang tampak berdiri di samping
kananku, “Ini Bibimu,” kataku, kemudian menunjuk wajah seorang lelaki yang
tampak berdiri di samping kiriku, “Dan ini Pamanmu.”
Kau
hanya mengangguk-angguk polos dan memercayai perkataanku begitu saja.
Seketika,
aku kembali merasa berdosa telah membohongimu untuk ke sekian kalinya.
Sesaat
kemudian, kau pun turun dari sofa, lantas duduk di lantai untuk bermain-main
dengan seperangkat boneka.
Kau
memang tak tahu apa yang terjadi. Kau tak tahu bahwa kau lahir secara prematur
sekitar tiga tahun yang lalu. Kau lahir di hari ketika kedua orang tuamu
meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang tragis. Ayahmu meninggal seketika,
sedang Ibumu masih sempat bertahan beberapa jam, hingga kau berhasil menghirup
udara dunia.
Kau
tentu belum mengetahui kenyataan tentang kedua orang tuamu. Bahkan kau belum memahami
tentang hubungan kekerabatan yang membuat seseorang bersedih atas kepergian orang-orang
terkasih. Kalaupun kau mengerti, kau tak akan merasa kehilangan sebab kau belum
sempat merekam kenangan bersama mereka.
Namun
aku menduga bahwa kehidupan yang kau jalani saat ini tak akan membuatmu merasa
kekurangan. Sejak kedua orang tuamu meninggal, aku dan istriku hadir sebagai
orang tua pengganti bagimu. Sedang sebaliknya, kau pun hadir sebagai anak
pengganti bagi kami yang tak kunjung dikaruniai buah hati di enam tahun usia
pernikahan.
“Ralika…!”
seru istriku, lalu mengangkat dan mengecup dahimu.
Lagi-lagi,
aku merasa senang mendengar ia menyebut sepenggal nama yang kuberikan padamu.
Sebuah nama yang persis dengan nama Ibumu.
Setelah
memanjamu beberapa saat, ia lalu duduk di sampingku dengan raut wajah yang
sayu.
“Ada
apa?” tanyaku.
Ia
lantas mengembuskan napas yang panjang, sambil memandang ke arahmu. “Apakah ia
akan tetap bersama kita? Apa kelak ia tak akan membenci kita setelah mengetahui
kenyataan yang sesungguhnya?”
Aku
pun menatapnya lekat-lekat. “Dia pasti bisa mengerti,” kataku, lalu menggenggam
tangannya. “Ia malah patut bersyukur atas kita. Ia patut berterima kasih
kepadamu sebagai sosok ibu yang penuh perhatian.”
Ia
pun mengangguk-angguk, sembari tersenyum canggung.
Perlahan-lahan,
aku pun kembali larut di dalam menungan. Aku kembali terbayang masa-masa bersama
ayah dan ibumu sebagai tiga orang teman baik semasa sekolah dan kuliah. Aku
kembali terkenang pada seberkas kenangan yang barangkali tak akan kuutarakan
sejujur-jujurnya kepadamu, juga kepada ibu angkatmu, istriku.
Bagaimana
pun, demi keharmonisan kita, aku tak sepatutnya menuturkan bahwa lima tahun yang
lalu, aku menyesal telah melewatkan kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku
kepada ibumu, sang gadis pujaanku. Aku tak selayaknya mengungkapkan kepada
kalian bahwa aku telah menggantungkan perasaanku sendiri, sampai ayahmu
meminangnya terlebih dahulu, dan aku tak punya hak untuk memprotes.
Sampai
akhirnya, mereka menikah, dan aku kehilangan dua hal yang berarti dalam
hidupku: teman baik dan gadis pujaan. Aku lantas mengasingkan diri dan tak
ingin merecoki kehidupan mereka yang tampak bahagia. Hingga aku pun memutuskan
untuk menikahi seseorang yang kini menjadi istriku demi melepaskan diri dari
belenggu harapan atas ibumu.
“Maafkan
aku yang berangkali tak akan mempersembahkan buah hati untuk kita,” kata
istriku, ibu angkatmu, sembari mengusap-usap perutnya yang telah tiga kali
gagal mengandung bayi dengan selamat.
Aku
pun mendesis. “Jangan bilang begitu. Kau tak bersalah atas takdir yang telah
digariskan Tuhan.”
“Tapi…”
“Tapi
kenapa?”
“Apa
kau akan tetap mencintaiku dengan kenyataan yang seperti ini?”
Aku
sontak merasa terenyuh. Aku lantas membelai rambutnya yang menjuntai. “Aku akan
tetap mencintaimu, apa pun yang terjadi! Kalaupun Tuhan tak menganugerahkan buah
hati untuk kita lewat rahimmu, bagiku, dia sudah cukup,” kataku, sambil
menuding padamu.
Ia
pun tersenyum haru.
Sesaat
kemudian, kau lantas menghampiri kami. Dari balik wajahmu yang ceria, aku pun
kembali membaca raut wajah teman baikku, juga raut wajah gadis pujaanku, pada
masa dahulu, dan aku kembali larut di dalam kekalutanku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar