Rabu, 15 Mei 2019

Buah Hati

“Ini siapa, Ayah?” tanyamu lagi, khas kanak-kanak, saat aku kembali membuka album foto masa silamku.
 
Aku pun merangkulmu, lantas menunjuk wajah perempuan yang tampak berdiri di samping kananku, “Ini Bibimu,” kataku, kemudian menunjuk wajah seorang lelaki yang tampak berdiri di samping kiriku, “Dan ini Pamanmu.”

Kau hanya mengangguk-angguk polos dan memercayai perkataanku begitu saja.

Seketika, aku kembali merasa berdosa telah membohongimu untuk ke sekian kalinya.

Sesaat kemudian, kau pun turun dari sofa, lantas duduk di lantai untuk bermain-main dengan seperangkat boneka.

Kau memang tak tahu apa yang terjadi. Kau tak tahu bahwa kau lahir secara prematur sekitar tiga tahun yang lalu. Kau lahir di hari ketika kedua orang tuamu meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang tragis. Ayahmu meninggal seketika, sedang Ibumu masih sempat bertahan beberapa jam, hingga kau berhasil menghirup udara dunia.

Kau tentu belum mengetahui kenyataan tentang kedua orang tuamu. Bahkan kau belum memahami tentang hubungan kekerabatan yang membuat seseorang bersedih atas kepergian orang-orang terkasih. Kalaupun kau mengerti, kau tak akan merasa kehilangan sebab kau belum sempat merekam kenangan bersama mereka.

Namun aku menduga bahwa kehidupan yang kau jalani saat ini tak akan membuatmu merasa kekurangan. Sejak kedua orang tuamu meninggal, aku dan istriku hadir sebagai orang tua pengganti bagimu. Sedang sebaliknya, kau pun hadir sebagai anak pengganti bagi kami yang tak kunjung dikaruniai buah hati di enam tahun usia pernikahan.

“Ralika…!” seru istriku, lalu mengangkat dan mengecup dahimu.

Lagi-lagi, aku merasa senang mendengar ia menyebut sepenggal nama yang kuberikan padamu. Sebuah nama yang persis dengan nama Ibumu.

Setelah memanjamu beberapa saat, ia lalu duduk di sampingku dengan raut wajah yang sayu.

“Ada apa?” tanyaku.

Ia lantas mengembuskan napas yang panjang, sambil memandang ke arahmu. “Apakah ia akan tetap bersama kita? Apa kelak ia tak akan membenci kita setelah mengetahui kenyataan yang sesungguhnya?”

Aku pun menatapnya lekat-lekat. “Dia pasti bisa mengerti,” kataku, lalu menggenggam tangannya. “Ia malah patut bersyukur atas kita. Ia patut berterima kasih kepadamu sebagai sosok ibu yang penuh perhatian.”

Ia pun mengangguk-angguk, sembari tersenyum canggung.

Perlahan-lahan, aku pun kembali larut di dalam menungan. Aku kembali terbayang masa-masa bersama ayah dan ibumu sebagai tiga orang teman baik semasa sekolah dan kuliah. Aku kembali terkenang pada seberkas kenangan yang barangkali tak akan kuutarakan sejujur-jujurnya kepadamu, juga kepada ibu angkatmu, istriku.

Bagaimana pun, demi keharmonisan kita, aku tak sepatutnya menuturkan bahwa lima tahun yang lalu, aku menyesal telah melewatkan kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku kepada ibumu, sang gadis pujaanku. Aku tak selayaknya mengungkapkan kepada kalian bahwa aku telah menggantungkan perasaanku sendiri, sampai ayahmu meminangnya terlebih dahulu, dan aku tak punya hak untuk memprotes.

Sampai akhirnya, mereka menikah, dan aku kehilangan dua hal yang berarti dalam hidupku: teman baik dan gadis pujaan. Aku lantas mengasingkan diri dan tak ingin merecoki kehidupan mereka yang tampak bahagia. Hingga aku pun memutuskan untuk menikahi seseorang yang kini menjadi istriku demi melepaskan diri dari belenggu harapan atas ibumu.

“Maafkan aku yang berangkali tak akan mempersembahkan buah hati untuk kita,” kata istriku, ibu angkatmu, sembari mengusap-usap perutnya yang telah tiga kali gagal mengandung bayi dengan selamat. 

Aku pun mendesis. “Jangan bilang begitu. Kau tak bersalah atas takdir yang telah digariskan Tuhan.”

“Tapi…”

“Tapi kenapa?”

“Apa kau akan tetap mencintaiku dengan kenyataan yang seperti ini?”

Aku sontak merasa terenyuh. Aku lantas membelai rambutnya yang menjuntai. “Aku akan tetap mencintaimu, apa pun yang terjadi! Kalaupun Tuhan tak menganugerahkan buah hati untuk kita lewat rahimmu, bagiku, dia sudah cukup,” kataku, sambil menuding padamu.

Ia pun tersenyum haru.

Sesaat kemudian, kau lantas menghampiri kami. Dari balik wajahmu yang ceria, aku pun kembali membaca raut wajah teman baikku, juga raut wajah gadis pujaanku, pada masa dahulu, dan aku kembali larut di dalam kekalutanku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar