Setelah
sekian lama menunggu waktu, akhirnya, aku memutuskan untuk bertemu denganmu di
hari ini, tepat sembilan tahun sejak suamimu meninggal. Sudah hampir sepuluh tahun
aku mengamatimu secara diam-diam, dan hari ini, saat kau datang lagi seorang
diri di sini, seperti yang kusaksikan beberapa hari belakangan, aku akan
menampakkan kehadiranku kepadamu.
Entah
bagaimana bentuk perasaanmu setelah bertatapan denganku di saat nanti. Barangkali
kau akan merasa aneh atas diriku yang asing dan muncul tanpa aba-aba. Namun
sebaliknya, aku akan merasa biasa saja, sebab aku merasa telah mengenalmu. Aku
mengetahui banyak hal tentang dirimu, bahkan untuk sesuatu yang kau sendiri
tidak tahu.
Untuk
keputusanku hari ini, juga atas sikapku terhadapmu di masa lalu, aku jadi tak
mengerti atas diriku sendiri. Aku merasa bodoh telah menghanyutkan diri ke dalam
persoalan hidupmu yang pelik. Aku telah melibatkan diri begitu saja tanpa
kepentingan apa-apa pada awalnya, kecuali bahwa aku dilanda kesepian.
Namun
bagaimana pun, aku telah terjerembap ke dalam kubangan misteri kehidupanmu, dan
aku merasa punya tanggung jawab untuk menyampaikan kesaksianku. Bagaimana pun, aku
tak selayaknya terus-menerus menahan perasaanku untuk berterus terang kepadamu
atas rahasia yang kusimpan tentang persoalan yang semestinya kau tahu.
Sampai
akhirnya, ketika hari telah berada di ujung pagi, kau pun muncul di pangkal
jalan setapak. Kau muncul dengan bedak kunyit di wajahmu, juga simpul sarung di
kepalamu. Kau muncul sembari menenteng rantang makanan sebagai bekalmu dalam mengurus
tanaman jagung dan kacang, hingga lewat tengah hari, sebagaimana biasa.
Seperti
tahun-tahun sebelumnya, di hari peringatan kedukaanmu, kau pun kembali turun ke
tepi sungai melalui lintasan penyeberangan. Kau lantas berjongkok sembari merenungi
almarhum suamimu yang hanyut entah ke mana, tepat sembilan tahun silam. Untuk
beberapa saat, kau akhirnya menengadahkan tangan dan berkomat-kamit dengan
penuh kekhidmatan.
Berselang
kemudian, kau pun kembali menanjak ke lahan tanimu, hingga kau melihat
keberadaanku di bawah kolong rumah panggung peristirahatanmu. Detik demi detik pun
bergulir, dan kau semakin mendekat padaku dengan raut keheranan, sebagaimana
kesan seseorang yang menyaksikan orang asing masuk ke dalam kawasan pribadinya
tanpa permisi.
“Bapak
siapa?” tanyamu seketika.
Aku
pun menyalamimu. “Aku Rahim.”
Dahimu
berkerut. Kau seperti mencoba membaca wajahku yang jelas tak kau kenal. “Ada
urusan apa di sini?”
Aku
berdeham dan tak tahu harus memulai penuturanku dari mana. Tetapi demi
meluruhkan segala kerisauan yang kupendam sesegera mungkin, aku pun memutuskan
untuk mengarahkan pembicaraan pada inti persoalan, “Aku teman almarhum suami Ibu
dari pulau seberang.”
Kau
pun sontak tercengang. “Bapak ada urusan apa dengan Almarhum?”
Aku
mendengkus dan tersenyum untuk menampakkan kesan bersahabat. “Aku rindu
padanya, dan aku tahu kalau ia meninggal di sini, tepat di hari ini.”
“Bagaimana
Bapak bisa tahu?” sergahmu dengan raut penuh tanda tanya.
Tiba-tiba,
lidahku kelu untuk menuturkan inti rahasiaku terhadapmu. Aku lalu berpaling
pada jejeran gedung lembaga pemasyarakatan dari jarak sekitar dua ratus meter. Mataku
lantas terpaku pada jerjak ventilasi ruangan yang menjadi celah bagiku meneropong
segenap hal tentang kehidupanmu di sini selama hampir sepuluh tahun.
“Apa
yang Bapak tahu tentang kematian suamiku?” desakmu lagi, seperti tak sabaran.
Aku
pun menelan ludah yang tertahan di tenggorokanku, sembari menguatkan hati untuk
bersaksi.
Namun
tanpa kuduga, seorang lelaki yang kupastikan telah menjadi suamimu, muncul dan
tampak menghampiri kita dengan langkah pincang.
Akhirnya,
aku kembali menelan kata-kata yang nyaris saja kuutarakan.
“Aku
tak tahu apa-apa soal itu, Bu,” kataku, berkilah, dengan senyuman terpaksa. “Yang
aku tahu dari cerita orang-orang, ia hanyut terseret arus sungai. Bukankah
begitu?”
Kau
pun mengangguk lemah dengan raut kecewa.
Tanpa
menjeda lagi, aku pun memutuskan untuk segera pulang. “Maaf, Bu, aku ada urusan
mendadak. Aku harus pulang.”
Kau
kembali mengagguk dengan raut yang masih menyiratkan tanda tanya.
Aku
lantas bergegas pergi sebelum suamimu sampai pada kita dan menjeratku ke dalam
percakapan yang rumit. Aku sudah tak punya nyali untuk bersaksi, apalagi dengan
penuh tendensi, sebab sebelum-sebelumnya, kesaksianku yang tanpa bukti, hanya
menjadi bumerang untuk diriku sendiri.
Akhirnya,
aku mengurungkan niat untuk bercerita bahwa almarhum suamimu meninggal sembilan tahun silam setelah
ditikam di tengah pertarungan yang sengit, kemudian jasadnya dihanyutkan ke sungai yang tengah banjir.
Aku batal menuturkan bahwa pelakunya adalah seseorang yang selama ini tampak
membuatmu bahagia; seseorang yang saat ini menjadi suamimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar