Sejak
aku kehilangan nama baik, aku telah kehilangan hidupku. Sebab tanpa nama baik,
hidup tak lebih baik daripada mati. Tanpa nama baik, hidup hanya memperpanjang
cerita tentang kehidupan yang penuh derita. Sungguh, aku benar-benar merasakan
itu. Di umur yang masih muda, aku telah kehilangan nama baik, dan aku harus
menanggung akibatnya sampai saat ini.
Nama
baikku hancur saat aku masih berumur 14 tahun. Kala itu, kampungku diterjang
ombak pasang yang sangat tinggi. Rumahku pun porak-poranda, seperti juga rumah
warga desa yang lain, yang berada di sepanjang dataran rendah. Aku sekeluarga pun
kehilangan tempat bernaung, seperti juga beribu warga yang lain, yang akhirnya
mengungsi ke tempat yang jauh dari titik bekas rumah mereka berada.
Setelah
ombak menyapu perkampungan, keadaan hidup seganap warga jadi sangat berbeda.
Setidaknya, untuk urusan pangan saja, setiap orang harus memiliki kesabaran yang
cukup untuk menanti. Makanan yang layak disantap,
juga air bening yang layak diminum, jadi sangat terbatas. Hingga nafsu
kekanak-kanakanku pun memuncak. Aku lalu mencuri sebuah nasi bungkus dan sebotol air minum kemasan di barak
mengungsian untuk mengisi perutku yang keroncongan.
Namun
sungguh nahas hidupku. Belum juga aku menyantap makanan hasil curian,
orang-orang malah memergokiku. Aku lalu diperlakukan sebagaimana pencuri kelas
bawah pada umumnya. Aku dihujat dan dipukuli sebagai orang yang hina, sambil
dipertontonkan di tengah kerumunan pengungsi. Sampai akhirnya, aku dibawa ke
kantor polisi dan diadili dengan cara yang khusus. Meski akhirnya aku tak
dibui, tapi nama baikku telah hancur saat itu.
Kini,
hiduplah aku sebagai manusia yang masih memikul beban yang kubawa dari usia
labilku di masa lalu. Puluhan tahun bergulir, gelar sebagai pencuri nasi
bungkus masih terus menyertai namaku. Setiap kali orang-orang berkisah tentang
diriku, mereka selalu menjadikan lakon pencuri nasi bungkus sebagai tanda
pengenal khusus untukku. Entah mereka menganggapnya sebagai cadaan semata, atau
mereka masih memandangnya sebagai celaan serius.
Akhirnya,
aku harus menerima kenyataan bahwa sebagian orang tak akan lagi menilai diriku
seperti anak manusia yang lain, yang mungkin saja berbuat salah dan semestinya
dimaafkan. Mereka akan terus menggaung-gaungkan kesalahan kecilku yang pernah
mencuri nasi bungkus, meskipun aku telah mendermakan harta-bendaku demi
mengenyangkan banyak orang yang kelaparan. Mereka akan terus mengutukku sebagai
anak iblis, meski Tuhan mungkin telah memaafkan kesalahan di masa labilku itu.
Namun
di tengah stigma negatif, aku terus membesarkan hati bahwa nama baik tidak
selamanya sejalan dengan pandangan orang-orang. Aku lebih tahu tentang diriku,
dan aku merasa memiliki sisi yang baik. Aku tak mencap diriku lebih baik dari
yang lain, tapi aku juga tak bisa menghinakan diriku lebih buruk dari yang
lain. Aku tetap menganggap diriku sama saja dengan anak manusia yang lain, yang
terus bergulat dengan nafsunya sendiri sepanjang hidup.
Atas
pandanganku yang manusiawi, aku pun pernah mencoba menawarkan namaku di tengah
khalayak. Dengan latar belakang sarjana teknik dari kampus ternama, aku pun
mencalonkan diri sebagai kepala desa, tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Aku
menjanjikan perbaikan kesejahteraan warga desa yang sebagian besar bekerja
sebagai nelayan, sembari tetap memberikan perlindungan bagi kelestarian alam.
Aku berani mengutarakan itu karena aku mengerti kalau bencana yang sangat
parah, terjadi karena kerusakan alam yang sangat parah, bukan malah sebaliknya.
Di
waktu itu, kukira, segenap warga akan sepakat dengan program yang aku tawarkan.
Mereka akan memilih diriku menjadi kepala desa agar harapan mereka tentang
keselarasan antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan,
terkabul. Tapi nyatanya, aku malah dikalahkan oleh seseorang yang kukira tak
lebih baik dari segi pengetahuan dan perilaku dibanding aku. Aku kalah karena
tak mau berkompromi dengan laku buruk warga yang gemar mabuk dan berjudi. Aku
kalah karena tak punya modal untuk menyenang-nyenangkan warga beberapa jam
sebelum pemilihan. Dan jelas saja, aku kalah setelah titelku sebagai pencuri
nasi bungkus kembali digaung-gaungkan.
Sampai
akhirnya, aku tak ingin menjadi siapa-siapa lagi hari ini. Aku tak ingin
semakin banyak orang yang mengenal diriku, sebab akan semakin banyak pula orang
yang akan mengolok-olokku sebagai pencuri nasi bungkus. Aku menguatkan tekad
untuk mengubur impianku menjadi sosok yang punya nama di tengah-tengah
masyarakat. Aku meyakinkan diri untuk berhenti mencari ucapan terima kasih dari
orang-orang, dan mulai menghargai diriku sendiri, seutuhnya.
Tapi
ketenanganku dalam penyendirian, kembali terusik hari ini, saat kepala desa dan
seorang calon pejabat bertandang ke kampungku. Sang kepala desa membawa seorang
calon anggota dewan untuk mengunjungi warga di tenda pengungsian setelah kampungku
kembali diterjang ombak pasang yang besar. Sang kepala desa datang
mengampanyekan sang calon dewan untuk menarik simpati warga pengungsi, sambil
membagi-bagikan nasi bungkus.
“Inilah
calon anggota dewan yang patut kita pilih, Pak Marjo,” kata Riman, tetanggaku
yang belakangan selalu mengeluhkan kehidupannya di pengungsian. “Apalagi ia
dekat dengan kepala desa kita.”
Aku
menggerutu di dalam hatiku. Mengutuki diriku sendiri yang tak punya harapan
lagi untuk menjadi seorang pejabat yang benar-benar berkerja untuk kepentingan
masyarakat. “Aku tak peduli lagi soal politik, Pak.”
“Lah!”
serunya, sambil memperbaiki posisi duduknya. “Kalau bapak tak peduli soal
politik, orang-orang bejat akan menjadi pejabat. Sudah seharusnya kita membantu
dan memilih orang-orang yang punya kepedulian terhadap masyarakat kecil seperti
dia,” katanya, sambil melahap nasi bungkus pembagian sang calon pejabat. “Coba
perhatikan, Pak, belum pernah ada calon anggota dewan yang berkunjung ke sini
dan memberikan bantuan. Hanya dia saja seorang. Nah, apa jadinya kalau
orang-orang yang tak memiliki kepedulian terhadap masayarakat malah terpilih?
Bahaya, Pak!”
Aku
lalu menyingkirkan sebuah nasi bungkus di tergeletak depanku, yang sedari tadi
tak menggugah seleraku. “Setidaknya, Bapaklah yang memilih,” kataku, kemudian
melayangkan pandangan ke arah para warga yang mengerumuni sang kepala desa dan
calon anggota dewan di tenda seberang. “Suara dari seorang mantan penjahat
sepertiku, mungkin tak ada artinya juga, Pak. Kalau aku memilih, bisa-bisa yang
terpilih malah koruptor.”
Ia
lalu berhenti mengunyah, “Jangan begitu, Pak,” katanya, dengan suara merendah,
seolah-oleh sedang menasehati. “Kalau kita merasa sebagai orang-orang kelas
bawah yang tak berdaya, setidaknya kita menyokong orang-orang kelas atas yang
akan melindungi kepentingan kita nanti.”
Aku diam dan tak menggubrisnya lagi.
Tak
berselang lama, sang kepala desa dan calon anggota dewan kemudian berdiri di
depan tenda tempatku bernaung. Beberapa warga kemudian berdiri memberi salam
dan bersorak-sosak. Begitu pun Pak Riman. Tapi aku tetap diam saja di balik
tenda, memandangi si calon anggota dewan; seorang pengusaha yang telah membabat
habis mangrove di tepi pantai untuk dijadikan sebagai objek wisata modern.
Sedang di sampingnya, kulihat kepala desa tersenyum semringah kepada para warga
yang telah berhasil ia perdaya untuk mendukung usaha sang calon anggota dewan
atas nama kepentingan masyarakat yang hanya berarti uang baginya sendiri.
“Bencana
ini adalah ujian dari Tuhan, Bapak-Bapak,” kata sang calon anggota dewan,
sambil merekahkah senyumannya. “Untuk itu, memohon ampunlah kepada Tuhan!
Berdoalah supaya berkah segera turun setelah ujian ini berlalu!”
Seketika,
hatiku dilanda kerusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar