Kehampaan
melingkupi jiwaku dalam waktu yang panjang. Mendewasa, tanpa cita-cita. Tak berhasrat
menggapai sesuatu, bahkan bingung harus melakukan apa. Kubiarkan saja waktu
berlalu, tanpa peduli pada banyak hal yang terlewatkan. Bak daun kering yang diombang-ambingkan
angin entah ke mana. Seolah hidup saja, tanpa alasan dan tujuan.
Hingga,
kutemukanlah dirimu yang sempurna apa adanya. Sesesok wanita yang membuatku
jatuh hati. Mengikat jiwaku, sebagaimana aku mengikat diriku sendiri. Menyatu,
begitu erat. Menjadi penghias waktuku di alam angan-angan. Sampai kau menjadi
alasanku untuk terus hidup demi harapan yang indah, pada akhir yang kutuju:
kita.
Karena
kau, hari-hariku jadi semakin berwarna. Jatuh hati padamu, telah membuat jiwaku
semakin berseni. Aku jadi bisa melukis, demi menghadirkan rupamu di ruang
rinduku. Aku jadi bisa bernyanyi dan memainkan alat musik, bahkan mencipta
lagu, setelah rasa-rasaku yang rahasia, terus kudendangkan dalam ruang-ruang
sendiriku.
Dan
perubahan paling drastis dalam hidupku adalah soal aksara, yang ogah kulakoni
di hari-hari yang lampau. Aku jadi seorang pencinta buku, sebab khawatir kekurangan
kata kala kita mengobrol di satu waktu nanti. Pun, aku giat menulis, sebab itu
adalah caraku menyampaikan dan meluruhkan perasaanku sendiri, padamu, sebelum
kita benar-benar berkenalan.
Betahun-tahun
berlalu, tanpa sadar, aku pun telah banyak mengukir jejak-jejak aksara. Aku
seperti menumbalkan diri sebagai penulis, tanpa peduli dapat apa, bahkan untuk
sekadar perhatian. Aku terus menulis tentang kita, tanpa peduli apa kau tahu,
atau sudi membacanya. Kulakukan saja, sambil meniatkan itu sebagai kado
terindah kala kita bersama, kelak.
Sampai
akhirnya, kegandrungan menulis cerita yang berbalut khayal, tentang kita, menjerumuskanku
pada kondisi psikologis yang aneh. Aku jadi kecanduan merangkai cerita di dalam
imajinasi. Jadi tersiksa setengah mati jika melalui tiga hari saja tanpa
menulis apa pun tentangmu. Aku ingin menulis, tanpa paduli pada siapa dan apa pun
yang lain.
Seiring
waktu, aku terus menumpuk gubahan cerita tanpa tahu bagaimana cara berhenti.
Kusambung, dan terus kusambung. Hingga beberapa cerita di antaranya, berseliweran
di ruang-ruang publik. Membuat diriku mulai dikenal sebagai seorang penulis muda
yang kreatif dan produktif. Dikenal sebagai diri yang tak pernah kubayangkan
sebelum kita bertemu.
Tersiarlah
juga berita-berita tentang karya tulisku. Orang-orang mulai merespons buah
tanganku dengan kesan-kesan yang beragam. Ada yang memuji, meski tak sedikit
pula yang menghina. Namun, aku tak akan risau dan terlena atas semua tanggapan
mereka, sebab aku hanya peduli jika itu soal dirimu, yang telah menjadi alasan
terbesarku dalam menulis sepanjang waktu.
Atas
popularitasku yang menanjak, orang-orang pun mulai mengincarku di berbagai
ruang. Entah menghampiriku di ruang publik, menyapaku di beragam lini media
sosial, atau bahkan mendatangiku di rumah. Tapi elu-eluan itu, terkadang
membuatku semakin sepi. Apalagi kala kusadari, kau tak juga memerhatikan diriku
atas apa yang telah kucipta, sebagaimana yang lain.
Keadaan
memang telah banyak berubah. Sebagian diriku, telah menjadi kepentingan orang
lain. Aku harus menghadiri beragam acara penulisan, sampai aku tak bisa lagi
menyendiri sambil bermain denganmu dalam imajinasi. Aku harus menjumpai mereka
yang memuja karyaku, menyebar tanda tangan, kala aku merasa terasing, sebab tak
menjumpaimu di antara mereka.
Sampai
akhirnya, jalan berliku dalam dunia penulisan, berhasil juga mendekatkan dirimu
padaku. Dan senanglah aku, sebab mulai terlihat tanda-tanda bahwa rencana
besarku untuk merengkuhmu melalui jalan aksara, akan terwujud.
“Nama
kakak sudah terkenal sebagai seorang penulis yang patut diperhitungkan.
Perasaan Kakak bagaimana? Apa ada yang berubah dalam hidup Kakak?” tanyamu, sembari
menatap mataku, dalam. Terlihat tegas dan penuh percaya diri, sebagaimana
biasa.
Kulayangkanlah
satu senyuman padamu, juga tawa yang pendek. Berharap kau tak terlalu serius
melakoni obrolan kita. “Sedikit risih, sebenarnya,” kataku, lalu menjeda untuk
berdeham, kemudian menyambung, “Yang berubah adalah, aku tak seutuhnya lagi
menjadi seorang penulis. Aku kadang harus tampil sebagai seorang artis, atau
pelayan. Dan, kau tahu, penulis hanya perlu menulis, bukan tampil pamer di
depan publik.”
Kau
tampak terkesiap mendengar jawabanku. Seperti tak menduga aku akan menjawab
begitu. Mungkin terdengar naïf menurutmu. “Tapi bukankah popularitas dan
penggemar adalah idaman semua penulis?” tanyamu lagi. Menyelidik.
“Aku
rasa, anggapan itu salah. Penulis tak butuh popularitas yang penuh
ingar-bingar. Ia butuh kesenyapan untuk menulis dengan hati,” kataku, sembari
memandang matamu dalam-dalam. “Penulis juga tak butuh penggemar, apalagi yang
fanatik. Ia hanya butuh para pembaca, yang syukur-syukur, terilhami pesan moral
tulisan untuk mereka terapkan dalam kehidupan nyata.”
Lagi-lagi,
kau tampak terkesima mendengar jawabanku. “Kalau dengan prinsip semacam itu,
apa yang menjadi motivasi dan inspirasi terbesar Kakak dalam menulis?”
Seketika,
mulutku tersekat. Aku terdiam beberapa detik. Bertanya pada diriku sendiri. Aku
butuh ketepatan kata untuk menjawab pertanyaan itu dengan sedikit diplomatis,
tapi tidak juga berbohong. “Kalau motivasi, tentu dari diri sendiri. Aku selalu
yakin bahwa sebesar apa pun semangat yang diserukan orang lain, tak akan sanggup
meyakinkan diri kita yang meragukan diri sendiri. Maka lakukanlah sesuatu untuk
diri sendiri, bukan untuk orang lain.”
Kau
termangu saja. Seakan-akan aku baru saja menuturkan kata-kata puitis.
“Kalau
inspirasi, bisa dari semua orang,” kataku. “Menulis itu butuh perasaan. Dan
kita mengerti soal rasa perjuangan, penderitaan, dendam, cinta, benci, dan
semuanya, bisa dari siapa saja,” sambungku lagi. Dan seketika, aku tak kuasa
untuk memberikan sedikit isyarat padamu, “Bisa jadi, kau juga adalah motivasi
dan inspirasiku dalam menulis.”
Kau
tampak tersipu.
Tak
lama kemudian, kau mengucapkan terima kasih, lalu mematikan alat perekam yang
sedari awal tergeletak di antara kita.
“Jujur, secara pribadi, aku suka cerita yang Kakak
tulis,” katamu, sambil menggaruk-garuk punggung tangan. Tampak segan. “Sejak
dulu, aku telah menjadi pembaca blog pribadi Kakak. Semua tulisan di situ,
mungkin telah selesai kubaca. Aku suka!”
Seketika,
aku merasa sangat tersanjung. Sungguh!
“Boleh
minta tanda tangan Kakak?” tanyamu, lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan
cerpen karanganku.
Aku
pun mewujudkan keinginanmu dengan senang hati. Lalu menyerahkan buku itu,
kembali padamu.
“Aku
yakin, Kakak tak akan terus menulis cerita yang menarik,” katamu, seperti
menyatakan kalimat permintaan dan penyemangat sekaligus. “Entah di mana dan
sibuk dengan apa pun, aku harap, Kakak terus menulis. Aku akan setia menanti dan
menjadi pembaca pertama untuk setiap gubahan cerita dari Kakak!”
Dan
tiba-tiba, aku seperti kehilangan diriku sendiri. Aku mulai curiga bahwa kau
seperti juga penggemarku yang lain. Aku mulai khawatir bahwa kau lebih
mendambakan apa yang kucipta, lebih dari diriku sendiri.
“Entahlah.
Kadang-kadang sebagai penulis, aku juga ingin menjalani hidup senyata-nyatanya,
bukan menikmati hidup dalam imajinasi,” balasku.
Kau
tertawa pendek. Seakan-akan aku bermaksud melucu, dan bukan sedang
mengungkapkan keinginanku padamu, tentang kita.
“Cetak
majalahnya, mungkin selesai dua minggu ke depan,” katamu, dengan sikap
profesional dan mimik yang tampak serius. “Hasil cetaknya, akan dikirimkan juga
ke alamat Kakak.”
Aku
mengangguk bodoh. “Baiklah.”
Kau
tersenyum, lalu beranjak, pergi.