Hujan
deras turun ketika Risma sampai di pekarangan rumahnya. Hujan disertai angin
kencang, bersilang-silang. Membuat ia enggan turun dari ruang kemudi mobil
cepat-cepat. Takut terkena percikan air atau terpaan debu yang bisa membuat
pakaian mewahnya tampak kumal. Ia menunggu saja sampai keadaan tenang, sembari mengurai
pakaian dan melepas sepatunya, untuk diamankan.
Ketika
hujan mengambil jeda, Risma segera keluar dari mobil. Menginjakkan kakinya pada
lantai yang basah, kemudian berlari-lari kecil. Tetap bersikap awas,
kalau-kalau ada benda yang menjegal kakinya yang halus. Tapi belum juga sampai
di depan pintu, bulir hujan yang menyerong akibat tiupan angin, sempat menjilati
roknya. Maka dengan perasaan kesal, ia bergegas melampaui pintu, kemudian
menutupnya rapat-rapat.
Setelah
berada di ruang tamu, mata Risma sontak tertuju pada lantai yang kotor. Ada
bekas kaki bercetak tanah di mana-mana. Keadaan yang membuatnya tambah suntuk.
Ia pun mencari keberadaan sang anak yang mungkin telah puas bermain petak umpet
tanpa batas. Sesekali ia menyahut, setengah berteriak. Tapi sia-sia. Tak ada
tanda-tanda kalau sang anak akan segera datang menghampirinya.
Jadilah
Risma geram. Dengan emosi yang melunjak, ia bertekad menemukan seseorang yang
harus bertanggung jawab. Ditelusurinya jejak langkah di lantai untuk segera memberi
hukuman pada si pelaku. Sampai akhirnya, ia terhenti di depan lemari yang terbuka dan
berantakan. Kenyataan yang membuat ia mulai curiga, bahwa ia telah kemalingan.
Hingga tak berselang lama, didapatinya sejumlah uang dan perhiasan di antara
pakaian, lenyap entah ke mana.
Atas
harta benda yang telah raib, Risma pun dirundung kesedihan. Sungguh berat ia
terbayang-bayang, bahwa di pesta pernikahan tetangga dua hari ke depan, ia akan
hadir tanpa perhiasan yang memadai. Wibawa sebagai wanita berkasta, jelas akan
keok. Maka disampaikannyalah kabar buruk itu kepada sang suami, sembari
berharap ada langkah jitu demi mengembalikan perhiasan miliknya.
Setelah
berkabar dan berkeluh kesah, Risma lalu menyeret tubuhnya ke ruang makan. Duduk
menghadap ke meja makan yang menampilkan hidangan tak lengkap. Hanya ada nasi dan
sayur, sisa sarapan pagi. Keadaan yang membuatnya jadi semakin lesu, hingga
untuk memasak saja, ia ogah. Hanya kuasa menggoyang-goyangkan segelas air putih,
meneguknya sesekali, sambil memikirkan nasibnya di pesta nanti, dua hari lagi.
Dan
dari arah luar rumah, terdengarlah suara sahutan seorang perempuan. Berpikir
itu sesuatu yang penting, Risma pun bergegas mengecek dengan perasaan malas. Ia
kemudian mengintip di balik jendela. Sampai terlihat olehnya, seorang wanita
tua berdiri lesu di depan pagar rumah, sambil bertumpu pada tongkat. Perempuan
itu, terlihat menenteng keranjang berisi keripik. Tipe penjual yang dianggap
Risma seperti pengemis. Penjaja yang berharap jajanannya dibeli atas rasa
kasihan.
Risma
pun memerhatikan si nenek tua sejenak. Mengawasi kalau-kalau si tua itu
menunujukkan gelagat mencurigakan, seumpama hendak melakukan tindakan kriminal.
Sebagaimana anggapan umum yang juga ia benarkan, orang semacam nenek tua,
kadang hanyalah pencuri yang berkedok penjual sembari mengemis-ngemis.
Mendatangi rumah orang untuk mencuri, atau sekadar mengamati keadaan untuk
melakukan perampokan di lain waktu.
Tanpa
ingin menunggu lama, Risma pun mengambil tindakan. Ia kemudian keluar ke teras,
memberikan tanda pengusiran pada si nenek yang telah berkali-kali mendentingkan
gembok pagar. Berharap adegan itu segera lenyap dari pandangannya, sehingga ia
bisa merenung tenang. Dan setelah memastikan si nenek pergi, Risma pun masuk ke
dalam rumah. Membentangkan gorden jendela, juga memastikan pintu terkunci.
Dan
sebagaimana inginnya, ia kembali
termenung pada satu kursi di ruang makan, tanpa mau memusingkan keadaan dan
akhir perjalanan si nenek yang akan melangkah entah ke mana, di tengah hujan
yang masih deras. Ia tak mau peduli, bahwa di tengah hujan dan angin ribut,
payung tak akan mampu menepis bulir air sepenuhnya. Ia tak mau peduli,
bagaimana basah dan dingin akan mengepung tubuh si nenek, sampai menggigil.
Setengah
jam berlalu sejak kedatangannya, Risma masih malas saja melakukan apa-apa. Ia
hanya duduk berkhayal, menyetel siaran radio silih berganti, sambil meneguk air
sedikit demi sedikit. Hanya beranjak jika tubuhnya terdesak ingin buang air
kecil, kemudian kembali lagi pada posisi semula. Semangat hidupnya hilang, kecuali
untuk berharap perhiasannya kembali, atau menunggu suaminya pulang dan
memberikan solusi jitu.
Setengah
jam berikut, suaminya, Milan, tiba dengan pakaian setengah basah. Ia datang
dengan napas terburu-buru, seakan baru saja berlari jauh. Segera ia meminta
maaf untuk kedatangannya yang lambat, kemudian bergegas mengecek isi rumah. Ia
hendak memastikan, kalau informasi tentang pencurian, bukanlah khayalan Risma yang
kadang terlalu paranoid kehilangan harta benda. Dan akhirnya, ia pun yakin, itu
adalah kebenaran.
Segera,
Milan kembali ke hadapan istrinya, lalu berusaha memberikan ketenangan. “Ibu
sabar saja. Pasti ada cara agar perhiasan Ibu kembali. Kalau perlu, kita lapor
ke polisi,” kata Milan, sambil menggenggam tangan istinya. “Ya, kalau pun
tidak, besok-besok, biar aku belikan yang baru.”
Risma
tetap memberengut. Menegaskan keinginannya agar perhiasan itu kembali dengan utuh,
seperti semula.
Beberapa
detik, mereka saling mendiamkan. Larut dalam menungan masing-masing.
Melihat
keadaan istrinya yang semakin lesu, di antara hidangan sisa yang tak
mengggairahkan, Milan pun menyodorkan sekantong plastik yang berisi lebih dari
sepuluh bungkus keripik. “Ibu kelihatannya lapar. Makanlah. Ini baik sebagai
pengganjal perut sementara. Nanti setelah hujan reda, aku belikan makanan
berat di warung kesayangan Ibu,” tutur Milan, kemudian menyobek sebungkus
keripik pisang untuk istrinya. “Hari ini, Ibu tak usah masak.”
Risma
menyambut sodoran suaminya. “Beli keripik banyak begini di mana?” tanya Risma,
lesu, sambil melahap potongan pisang rasa keju, satu per satu.
“Aku
beli dari seorang nenek tua di jalan, sepulang aku ke sini. Aku kasihan melihat
ia yang harus menjajakan jualannya di tengah hujan yang deras. Dia terlihat
lemah dan menggigil. Pakaiannya basah,” cerita Milan.
Sontak,
Risma menyimak dengan serius.
“Ia
tampak lemah. Kuduga, ia sakit. Aku pun menawarinya ke puskesmas. Tapi ia
menolak. Maka kuputuskanlah untuk memberi tumpangan hinggga sampai di
rumahnya,” lanjut Milan, sembari turut menyantap keripik bawaannya. “Ia sangat
berterima kasih padaku, sampai memaksa agar aku menerima keripik jualannya
secara cuma-cuma. Jelas saja aku menolak.”
Risma
merasa terenyuh, sembari terus menyimak kelanjutan cerita yang dituturkan suaminya.
“Aku
lalu memberinya bayaran untuk keripik yang ia berikan padaku. Aku memberinya
bayaran yang lebih. Tapi ia menolak, dan hanya bersedia mengambil bayaran yang
sewajarnya. Aku tak bisa memaksa,” sambung Milan lagi, lalu tersenyum,
terkenang.
Seketika,
Risma merasa terkutuk atas prasangka buruknya sendiri, beberapa saat lalu.
“Aku
sangat kasihan padanya,” tutur Milan, dengan sepenuh hatinya. “Aku kadang
heran, bagaimana orang tak mau peduli pada orang tua semacam itu. Orang-orang tampak
tak berselera menyedekahi atau sekadar membeli jajanan mereka. Bahkan kukira, nenek
tadi terpaksa menerobos hujan sebab tak ada orang yang sudi memberinya teduhan.
Sungguh ironis, semakin maju kehidupan, ternyata membuat orang semakin abai
pada sesama. Mudah-mudahan keluarga kita dihindarkan dari sikap semacam itu.”
Cerita
penuh amanat dari sang suami, sontak membuat Risma merasa bersalah setengah
mati. Bahkan rasa bersalahnya itu, mampu mengalahkan rasa kehilangan yang
sedari tadi melandanya.
Risma
jadi tak kuasa berkata-kata. Ada pergolakan di dalam batinnya, tentang memberi
dan kehilangan, atau soal ego pribadi dan kepedulian sosial. Ia merasa telah
kehilangan dirinya sendiri. Hilang, bersama rasa cintanya pada benda yang
lenyap entah ke mana.
Mereka
tak saling bercakap untuk beberapa saat. Hanya terpaku pada alur pikirannya
masing masing.
Seketika, Milan memecah keheningan. Ia menuturkan satu langkah jitu demi menemukan si pencuri dan mengembalikan perhiasan sang istri. “Setahuku, tetangga sebelah telah memasang CCTV beberapa hari yang lalu,” katanya, semringah. “Aku yakin, identitas para pencuri akan segera terkuak dengan rekaman CCTV itu.”
Risma
tampak terkejut.
“Kukira,
meminta rekaman CCTV pada tetangga sebelah, lalu diserahkan kepada pihak kepolisian,
adalah langkah terbaik,” kata Milan, tegas.
Mendengar
soal rekaman, membuat Risma teringat sikapnya di teras rumah, pada lebih dari
satu jam yang lalu. Itu jelas membuatnya berat hati menerima rencana sang suami.
Ada sesuatu yang harus disembunyikannya di saat ia seharusnya mencari sesuatu
yang lain.
Milan
beranjak, mungkin untuk memulai rencananya.
Dan
lagi, Risma masih terdiam. Hanya termenung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar