Aku
telah menggantungkan perasaanmu tanpa khawatir. Kuyakin, hatimu telah terpaut
padaku, dan kau tak bisa berpaling. Kau serupa pendulum yang terikat. Sejauh
apa pun kau terhempas, kau tetap berada pada medan yang sama. Aku bebas kembali
kapan pun, dan masih akan menjumpaimu dengan perasaan yang sama. Bahkan perasaanmu
itu, bisa jadi semakin menderu, setelah dipacu rindu yang berkepanjangan.
Bukan
tanpa alasan hingga aku yakin perasaanmu tak akan berpaling. Aku telah menyusun
jalan cerita tentang kita. Dan semua, kupastikan, masih berada dalam kendaliku.
Kau pasti tak menyadari, kalau keputusanku meninggalkanmu untuk waktu yang lama,
sebab aku telah memberimu bekal yang cukup untuk bertahan. Aku telah
menancapkan kenangan tentang kita di memorimu, dan itu akan mengikatmu agar tak
pergi ke mana-mana.
Bisa
kupastikan, kau begitu menikmati setiap detik kebersamaan kita dahulu.
Menikmati saat kita berjalan di taman, toko buku, atau segala ruang yang lain.
Menikmati segala pemberianku, termasuk kata-kata yang aku ucapkan untukmu. Kau
pasti masih mengarsipkan di memorimu, sebuah kalimat yang kuucapkan dahulu, sebelum
pergi tanpa kabar: Jangan bosan merindu,
sebab rindulah yang mengikat kita saat jauh.
Belum
lagi tentang secarik surat yang kau sisipkan dalam tasku tempo dulu. Sebuah
surat dengan tulisan yang indah, yang kuyakini diukir oleh tangan lembut
milikmu. Seuntai pesan yang meyakinkanku, bahwa selama apa pun aku pergi, kau
tetap menunggu. Aku masih mengingat beberapa bait kalimatnya di luar kepala: Jika itu demi kita, berlama-lamalah di sana,
biar aku merindu. Aku ingin setelah kau pulang, dan kita hidup bersama, rindu
itu tak habis-habis, sampai akhir hayatku. Aku ingin ingin rindu itu selalu ada untuk
mengikatku padamu, selamanya.
Atas
semua alasan yang ada, aku tetap dengan kesimpulan bahwa kita tak saling
meninggalkan di titik yang terpisah. Kita hanya berjarak untuk sementara waktu,
sampai aku pulang menuntaskan rindu dan mengikat cinta kita. Aku pergi di kota
beserang untukmu, demi mendewasakan dan memantaskan diriku, hingga aku siap menjadi
pendamping hidupmu. Aku pergi demi pendidikan dan jaminan hidup, hingga aku
pulang sebagai kepala keluarga untukmu.
Dan
hari ini, adalah awal di mana aku yakin bahwa kisah kita yang menggantung, akan
berlanjut dalam dunia nyata. Hari ini, adalah momen kita mengulas kembali
kenangan yang lalu, dengan beberapa sahabat yang lain, yang pernah tergabung
sebagai pengurus organisasi kesenian di kampus. Semua hadir untuk memperingati
hari jadi organisasi, sembari bereuni ria dan membahas kisah masing-masing. Dan
aku sendiri, tak akan bisa berpaling dari kisah kita.
Hingga
seiring waktu yang terus berdetak, satu per satu mantan pengurus organisasi,
tiba dan menyesaki ruangan. Beberapa di antaranya menyapaku atau memberi salam.
Tapi tak ada yang menetap dan bersedia mengobrol panjang lebar denganku. Hanya
ada Reni, seseorang yang sangat dekat dengan aku dan kau dahulu, yang bersedia
menemaniku di antara orang-orang yang berlalu-lalang.
“Sibuk
apa sekarang?” tanya Reni, dengan kesan malu-malu, seakan kami baru
berkenalan kemarin sore. Tapi kuduga itu wajar, sebab perpisahan yang lama,
pasti melahirkan keseganan.
“Tak
ada kesibukan berarti selain urusan pekerjaan. Itu juga tak terlalu menyibukkan,”
jawabku, tanpa balas bertanya. Kehendakku bertemu denganmu, membuatku jadi tak
antusias bertele-tele dengan yang lain.
“Kalau
begitu, sudah waktunya kau menikah. Kau akan punya kesibukan yang berarti
setelah menikah,” katanya, sambil tersenyum dan memandang mataku sekilas.
“Apalagi kau sudah mapan sekarang. Bukankah sebaiknya kau menyegerakannya?”
Aku
mengangguk. “Ya, keinginan itu ada. Tapi aku merencanakannya tahun depan. Butuh waktu lama untuk mengenal baik seseorang calon
pendamping hidup.”
Lagi-lagi,
dia tersenyum tersipu, kemudian mengutarakan tanya yang tak sampai kucerna
secara utuh. Itu karena aku tak menghiraukannya lagi, setelah menyaksikanmu
masuk ke dalam ruang acara dengan tampilan yang sangat menakjubkan.
Detik
demi detik, jantungku berdebar semakin kencang. Ada ketidaksabaran di hatiku. Ada
banyak kisah yang ingin aku bagi denganmu, dan aku harus menahan diri. Ada
banyak cita-cita yang ingin kutegaskan padamu, dan aku harus menunggu waktu
yang tepat.
Hingga
akhirnya, kau berdiri tepat di depanku. Kau menyapaku lebih dulu, sebagai salah
satu teman terdekatmu, di antara banyak teman-teman kita yang lain.
“Bagaimana
kabarmu? Apa kalian?” tanyamu seketika, sambil melirik kami berdua, seakan tak sabar untuk mengajukan pertanyaan satu per satu padaku.
Aku
dan Reni saling berpandangan.
Reni
menggeleng sembari mengangguk. Tampak bingung. “Ya, kami baru saja tiba,” katanya.
Kuduga, kau cemburu melihat aku dan Reni duduk berdua.
“Oh,
begitu,” katamu, sambil tersenyum. Terlihat sangat menawan. “Oh, kenalkan, ini
suamiku.”
Seketika,
aku monoleh pada seorang lelaki yang berdiri di sampingmu. Dan perlahan, aliran
darahku terasa melambat. Jiwaku seakan melayang beberapa saat.
Beberapa
detik kemudian, etika kesopanan menyadarkanku untuk segera menyambut uluran
tangan seorang lelaki yang kau sebut suamimu.
Lelaki
itu pun menjabat tanganku, erat, sambil mengeja namanya yang kulupa sejak ia
mengucapkannya.
“Aku
permisi ke sebelah sana,” katamu, seperti hendak menjauh. “Aku tak ingin
mengganggu kalian.”
Dan
akhirnya, aku hanya melihatmu, bersama dia, berjalan beriringan, bergandengan
tangan, menjauh dariku. Ada rasa tak terima dalam hati, ketika rindu yang
kutumpuk, tak sempat kuluruhkan padamu.
Waktu-waktu
pun berjalan hampa. Aku tak menikmati lagi sesi acara setelah kau pergi dengan
penuh kemesraan dengan seorang lelaki. Bahkan Reni yang dengan betah mengobrol
denganku, harus menerima kenyataan, bahwa aku tak ingin basa-basi lagi malam
ini.
Aku
jadi dingin. Reni merasa terabaikan. Hingga, ia pun pergi dari sampingku, sebelum
acara usai.
Setengah
jam selanjutnya, rangkaian acara pun, berakhir sudah. Aku melewati semuanya,
tanpa merasakan sebuah perayaan yang patut dinikmati.
Dengan
kekalutan yang mendalam, aku pun memulai langkah pulang. Berusaha beranjak dari
ruang yang mulai ditinggalkan orang, satu per satu.
Tiba-tiba,
langkahku tertahan di depan sebuah stereofoam yang terpajang di dinding. Di
sana, tertempel lembar-lembaran kertas berisi harapan. Dan mataku, langsung tertuju pada selembar kertas. Di sana tertulis: Aku Ingin Menikah Tahun Depan – Reni.
Segera
kutilik kembali secarik kertas yang kukantongi sedari tadi. Sebuah
kenang-kenangan masa lalu yang rencananya kutunjukkan padamu, sebagai bukti
bahwa aku setia menjaga perasaanku, sampai saat ini. Dan kulihat, sekilas tapi
pasti, bentuk tulisan di kertas itu, serupa dengan bentuk tulisan tangan Reni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar