Dosa-dosa
membuatku terkenang padamu. Membayangkan kau yang harus menanggung rasa
bersalah atas sikap diamku. Satu kejadian tentangku yang tak terjelaskan, sampai
membuatmu menyalahkan diri sendiri. Sebuah cerita pilu tentang diriku, yang tak
seharusnya kau ratapi dengan rasa iba, cinta, ataupun benci. Semua tak berkaitan
denganmu, dan kau berhak mengabaikan kisah itu, dan aku.
Kita
pernah berada di waktu yang sama, tapi dalam alur cerita yang berbeda. Kau
menyertakan aku dalam kisahmu, tapi aku tak membalas seperti yang kau mau. Aku
diam saja, sedang kau terus menghidupkan kita dalam angan-anganmu. Hingga akhirnya,
kau menafsirkan diamku sebagai jawaban, bahwa aku punya perasaan yang sama
padamu. Tapi sebenarnya, tidak. Aku tak mengharapkanmu. Dan aku diam, hanya
karena takut kau kecewa.
Kupikir,
jika sedari dulu aku sanggup menegaskan padamu kalau aku tak punya perasaan lebih
dari sekadar rasa persahabatan, mungkin akhirnya tak akan sesengkarut ini. Kau
hanya akan kecewa untuk sementara waktu, kemudian kita bersahabat lagi. Atau
paling tidak, kau cuma berjarak dariku karena perasaan malu, bukan karena
benci. Tapi tindakan bodohku yang terlanjur menggantungkan kebenaran itu, jadi rentan
mambuatmu benci padaku, sampai mati.
Hingga
tak terasa, hari demi hari terus berlalu, sedangkan anganmu tentang kita,
semakin menggunung dan membatu. Kau terikat padaku bukan hanya karena kenangan atas
cinta yang menggantung, tapi juga karena rasa bersalah atas apa yang telah
menimpaku. Kau mencintaiku dengan tulus sebagaimana dulu, sekaligus membenci
dirimu jika tak bisa mencintaiku apa adanya. Satu kondisi yang benar-benar
menjerat batinmu untuk tetap padaku.
Terkenang
lagi olehku, satu hari saat cintamu mulai dibalut rasa bersalah. Satu hari
ketika aku hendak bertemu dengan seseorang, sembari menyerahkan sekotak kado. Satu
hari yang bertepatan dengan hari ulang tahunmu. Dan di hari itu juga, aku yang
mengendarai sepeda motor seorang diri, mengalami kecelakaan tunggal di jalan
raya. Tragis. Indra penglihatanku terenggut seketika. Kau pun merasa
bersalah, sebab menduga aku hendak menyampaikan kado ulang tahun untukmu.
“Maafkan
aku, Reno,” katamu, sambil terisak, setelah kesadaranku pulih dan aku sadar hanya
bisa melihat gelap. “Kau tak seharusnya beranjak menemuiku hari itu, Ren. Tidak
seharusnya…”
Aku
menggenggam tanganmu. Menguatkan perasaanmu. Seakan apa yang kau duga adalah
kebenaran. “Livia, ini bukan salahmu. Keadaan ini telah menjadi takdirku. Tak
usah salahkan dirimu,” kataku, terbata-bata, tanpa kehendak melugaskan bahwa kau
bukanlah tujuanku hari itu, karena aku takut, hatimu jadi hancur lebur.
Seusai
kejadian nahas itu, ada rentetan waktu yang berlalu dengamu. Kau setia hadir
sebagai teman sejati, demi menguatkanku, agar ikhlas menerima keadaan. Bahkan
kau rela menuntunku ke segala arah, menyetel musik atau membacakan cerita fiksi
favoritku, sampai mengajariku menuntut langkah secara mandiri. Kau melakukannya
dengan senang hati, seakan hendak mengimpaskan rasa bersalah yang tak
seharusnya kau tanggung.
Sampai
akhirnya, sampailah waktu saat kau terpaksa meninggalkanku. Kau beranjak ke
negeri seberang untuk melanjutkan studimu. Pergi, dengan terlebih dahulu pamit
dan memohon maaf padaku. Dua tahun kepergianmu, dan kita hanya berbagi kabar di
bulan-bulan awal perpisahan. Pada sepanjang waktu yang lain, kau mampu bertahan
diri tanpa tahu kabarku. Kuduga, kau belajar melepaskan diri dari rasa
bersalah, hingga akhirnya melupakanku secara perlahan.
Ditinggal
pergi olehmu, jelas membuatku kesepian. Apalagi setelah sosok ibu menyusul
ayahku ke alam lain, juga setelah saudaraku satu-satunya merantau ke pulau
seberang. Hanya kegiatan dan hiruk-pikuk di panti sosial, tempat pembinaan
orang tuna untuk diberdayaakan, yang bisa menyita perhatianku untuk berpaling
darimu. Apalagi, ada beberapa pegawai yang kadang-kadang sudi menamaniku
mengobrol dan berbagi kisah.
Dan
hari ini, kala aku menerka-nerka keadaaanmu di sana, seorang pegawai kembali menghampiriku
di pojok ruang. Kudengarlah suaranya yang merdu dan menyenangkan. Suara indah
yang mengisyaratkan sosok wanita muda yang berparas cantik. Satu tipikal suara
yang baru kali ini kudengar. Hingga kupastikan, ia adalah seorang pegawai baru.
“Sedari
tadi, kau tampak murung saja. Memangnya, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya
dia, seorang wanita yang meminta dipanggil Pia, setelah kami melalui sesi
perkenalan.
Aku
menggeleng. “Tak ada apa-apa.”
Sontak,
ia protes. Seakan tahu kalau aku memendam kisah yang merisaukan. “Ceritakan
saja jika kau punya masalah, Reno. Menceritakan masalah pada orang lain akan
membuat perasaan lebih tenang. Dan yakinlah, aku akan menjadi pendengar yang
baik.”
Aku
menggeleng.
“Aduh,
jangan berdusta begitu,” sentilnya.
Aku
terdiam. Lidahku kelu.
Ia
menuntun lagi, “Berceritalah.”
Entah
bagaimana bisa, tiba-tiba, aku merasa ringan untuk bertutur. “Ada rasa bersalah
yang kupendam untuk seseorang, dan aku masih memikirkannya saat ini,” kataku,
lalu mengambil napas dalam-dalam.
“Tak usah sungkan. Teruskanlah,” pintanya.
“Dia
mencintaiku, tapi aku tak bisa membalas perasaannya. Sampai suatu ketika,
kecelakaan tragis merenggut penglihatanku, dan ia malah mempersalahkan dirinya
atas keadaan diriku sendiri,” uraiku, terbata-bata. “Di hari nahas itu, sebenarnya,
aku hendak menemui seseorang dan berencana memberinya sekotak kado. Dan
seketika, ia mempersangkakan tujuanku beserta kado itu, adalah untuk dirinya.”
“Tapi
sebenarnya…?” selanya, seakan tak sabar menunggu kelanjutan ceritaku.
Lagi,
aku menarik napas dalam-dalam. Menguatkan hati untuk mengutarakan inti
rahasiaku. “Yang sebenarnya, aku hendak memberi kado untuk seseorang yang lain,
yang hari itu, terbaring lemah di rumah sakit. Seorang wanita yang tepat
setahun menjadi kekasihku. Seorang wanita yang di hari itu juga, meninggalkanku
untuk selamanya, tanpa ada aku di sampingnya.”
Beberapa
detik berselang, kudengar suara tangis darinya. Aku jelas tak bisa menebak
alasan ia secengeng itu. Tapi aku yakin, cerita hidupku ini, mungkin sangat
menyentuh baginya.
Dan,
tak lama berselang, aku mendengar langkahnya pergi, menjauh dariku. Hingga beberapa
menit berlalu, ia tak kembali. Aku tak tahu ke mana ia pergi.
Akhirnya,
seseorang datang mendekatiku. Ia menyapa dengan lemah lembut. Dan dari
suaranya, aku kutahu, ia bukan Pia, tapi Alni, seorang pegawai yang betah
menjadi pendampingku selama ini.
“Apa
Pia, si pegawai baru, telah pulang?” tanyaku, penasaran, kala ia mendorong
kursi rodaku menuju ruang makan.
“Kalau
yang kau maksud adalah seorang wanita yang menemanimu mengobrol beberapa saat
yang lalu, ya, ia telah pulang. Ia pergi dengan tergesa-gesa. Katanya, ada
keperluan mendadak,” tutur Alni.
Aku
tiba-tiba merasa kehilangan.
“Tapi
ia bukan pegawai. Padaku, ia mengakui sebagai seorang wartawan. Apa ia tak
memperkenalkan dirinya padamu?” tanya Alni.
Seketika,
aku jadi bingung. Pikiranku jadi liar.
“Oh,
iya, tadi kau sebut siapa namanya?” selidik Alni lagi.
“Pia,”
jawabku.
Alni
tiba-tiba berhenti mendorong kursi rodaku. Seakan perlu mengecek sesuatu yang
penting dan mendesak. “Kamu pasti salah dengar. Di sini, tertulis, namanya
Livia Dinarti,” kata Alni. “Apa ia juga tak memperkenalkan namanya?”
Mendengar
nama itu, seketika membuat mulutku tersekat. Udara seakan membeku, menyesakkan
napasku.
Aku
teringat pada dirimu, lagi, seutuh-utuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar