Aku
sampai lagi di tempat yang dulu. Sebuah kedai kopi, tempat kita sering
menghabiskan waktu. Ruang yang kerap menjebak kita, untuk membahas tentang aku
dan kamu. Kala itu, sampai di masa depan. Hingga kebersamaan dan khayalan besar
kita, mengawet di sini. Menggantung pada segenap pembatas ruang, juga di udara.
Tak
banyak yang berubah. Deretan lampu kecil berwarna-warni, masih
menggantung dan menari di dinding atas. Menghasilkan cahaya temaram yang tenang
dan menyenangkan. Dari beberapa pengeras suara, juga masih terdengar alunan
musik klasik yang pelan. Masih menjadi pengiring yang pas untuk obrolan yang senyap dan serius.
Yang
kurasa berbeda, hanya karena kau tak lagi bersamaku. Tak ada kau yang duduk di
depanku dengan latar jendela yang berembun, serta pepohonan di bukit seberang.
Tak ada kau dengan senyuman manis dan tawa yang menggemaskan, kala kuceritakan
humor yang biasa saja. Kau menghilang tanpa kabar, seperti tetes embun yang
terserap terik matahari.
Dan
bodohnya, aku tetap saja mencarimu di sini. Aku datang dengan kehampaan, dan
yang kutemui hanyalah kesunyian. Duduk termenung, sambil bercengkrama dengan
bayang-banyangmu. Menerka-nerka takdir, sambil mengharapkan sebuah kebetulan.
Berharap kau datang menepuk pundakku dari arah belakang, seperti yang kau
lakukan dahulu, dan kita bisa melanjutkan kisah yang terhenti.
Tapi
hari ini, aku tak akan benar-benar sendiri. Aku telah mengikat janji dengan
seseorang wanita untuk bertemu beberapa saat lagi. Seorang sahabat lama, yang
kebetulan punya kepentingan di kota ini, hingga ia memintaku untuk bertemu. Aku
menyambut tawarannya dengan senang hati, sebab ada juga kepentinganku padanya.
Di
sela nostalgiaku denganmu, datanglah sosok yang kumaksud. Dia tampak semakin
dewasa dengan gaya berdandan yang kekinian. Tampak seperti seorang wanita yang
hendak bersua dengan orang yang spesial. Hingga, kami pun saling menyambut dengan
cara yang hangat. Bersalaman, berbagi senyuman, dan saling bertanya kabar.
Pada
sesi selanjutnya, kami berkutat pada perbincangan tentang masa lalu. Ia mengulas
banyak kebersamaan kami. Entah kenangan di masa-masa kuliah, kedekatan sebagai
seorang sahabat, hingga cerita-cerita di kedai kopi ini. Sesuatu yang ia
tuturkan dengan antusias. Perihal yang mungkin sangat menyenangkan baginya.
Tapi bagiku, itu biasa saja.
“Kau
masih ingat saat kali pertama kita ke sini?” tanyanya, dengan mata
berbinar-binar.
Aku
mengangguk. Jelas, aku masih ingat saat dia datang bersama seorang wanita yang
lain, adiknya sendiri. “Iya,” jawabku, tanpa berselera membahas tentang kami lebih
jauh.
Dia
lalu tertawa. “Cerita itu pasti berkesan bagimu, kan?” uliknya lagi.
Aku
hanya tersenyum, dan menganggukkan kesimpulannya. Terang saja, memoriku masih
menyimpan berkas-berkas kejadian itu dengan baik. Aku masih mengingatnya secara
detail, termasuk dandanan dan sikap tubuhnya. Dan, lagi-lagi, anganku malah semakin
terfokus pada bayang-bayangmu. Terpusat pada titik di awal kita bertemu, saat
pertama kali aku menatap raut wajahmu yang polos.
“Ya, bagaimana tidak. Waktu itu, akulah yang
mengajakmu bertemu di sini, tapi akhirnya, kaulah yang harus memanggung tagihan
yang tidak sedikit,” terangnya sendiri, dengan raut wajah yang riang-gembira.
Aku
melepaskan tawa yang pendek. Mencoba memberikan kesan bahwa aku suka mendengar
ulasan kenangannya.
“Kau
tahu, saat itu, aku pura-pura saja ketinggalan dompet. Sejujurnya, waktu itu,
bertepatan dengan hari ulang tahunku. Tapi kau tak tahu,” jelasnya lagi, tanpa
perlu kuminta. “Karena aku tahu kau bukan lelaki yang peka, maka terpaksa, aku
menggunakan akal bulusku.”
Aku
menanggapi dengan senyuman sekilas. Aku tak ingin memberinya kesan berlebihan,
sampai ia terus berceloteh tanpa henti. Jelas, aku tak berselera membahas
kenangan kami, jika kenangan kita, masih mengalahkannya begitu telak.
Dan
ketidaksabaran, memacu keberanianku mempertanyakan sesuatu di luar soal kami. “Bagaimana
kabar Adikmu?” tanyaku, segan, sebab itu rentan membuatnya merasa tak kupedulikan.
Dia
menatapku dengan raut yang jauh dari kesan antusias. “Dia sudah menikah,
setahun yang lalu. Memangnya kenapa?”
Seketika,
mulutku tersekat. Bayang-bayang dirimu, juga semua cerita tentang kebersamaan
kita di tempat ini, menyeruak seketika. Muncul seperti hantu yang sangat
menakutkan. Menusuk seperti belati, berulang-ulang. Aku mati, semasih hidup.
Kuingat
lagi pertemuan kita di sini, yang tak pernah ia ketahui. Kebiasaan yang kita lakukan
berulang ulang, sejak kau datang pertama kali bersamanya, dan berhasil mencuri
hatiku. Aku tak akan bisa melupakan semua berkas kenangan kita, bersama sembilu
yang akan kukecap juga sepanjang waktu.
Hingga, aku pun sadar, harus menjawab pertanyaan darinya, “Tak apa-apa,” kataku, salah tingkah, serasa jadi bodoh sendiri.
Mimiknya
menyiratkan keheranan.
Aku berharap, ia tak curiga secara berlebihan.
Tak
pelak, sikapku yang dingin, lambat laun membuatnya gusar sendiri. Semangat
bercelotehnya, sirna. Ia tampak menginginkan agar aku mengmbil kendali
perbincangan. Ia ingin agar aku yang bertanya
secara aktif, dan dia hanya perlu menanggapi secara pasif.
Tapi
jelas, aku tak ingin mewujudkan keinginan yang tersirat di wajahnya. Aku ingin
obrolan kami cepat selesai, dan aku punya waktu untuk menerima kenyataan bahwa
kau telah menjadi milik orang lain.
Detik
terus bergulir, sedang tak ada kata yang terucap.
Sampai
akhirnya, ia bertanya dengan raut penuh kekecewaan, “Apa kau merindukanku
selama ini?”
Aku
mengangguk. “Ya. Aku merindukanmu.”
Matanya menyorot mataku, tajam. “Rindu yang seperti apa?”
“Sebagaimana
sahabat pada umumnya,” balasku, lekas.
Bola
matanya terlihat basah. “Aku merindukanmu lebih dari itu,” pungkasnya, kemudian
berpaling, lalu beranjak, pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar